JAKARTA, KOMPAS—Penerima atau resepien transplantasi ginjal rentan terkena berbagai infeksi. Hal ini karena daya tahan tubuh menurun, terutama pada satu tahun pertama pascatransplantasi dilakukan. Pemeriksaan rutin dan deteksi dini menjadi penting agar dampak infeksi bisa diminimalkan.
Dokter spesialis penyakit dalam konsultan penyakit tropik dan infeksi dari Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo-Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (RSCM-FKUI) Robert Sinto menyatakan, pasien penerima transplantasi organ ginjal rentan terkena infeksi. Sebab, obat yang dikonsumsi pascatransplantasi menekan sistem imun tubuh agar tubuh tidak menolak organ yang diterima atau disebut rejeksi organ.
“Obat ini memang diperlukan untuk menekan penolakan tubuh terhadap ginjal transplantasi. Di sisi lain, itu bisa meningkatkan risiko infeksi, baik infeksi baru bersumber dari lingkungan sekitar maupun infeksi lama yang aktif kembali,” ujarnya dalam seminar bertema “Infeksi Pasca Transplantasi Ginjal” yang diprakarsai Yayasan Komunitas Cangkok Ginjal Indonesia (YKCGI) di Jakarta, Sabtu (27/10/2018).
Obat ini memang diperlukan untuk menekan penolakan tubuh terhadap ginjal transplantasi. Di sisi lain, itu bisa meningkatkan risiko infeksi.
Infeksi ini biasanya bersumber pada virus, jamur, dan bakteri. Penyebab utamanya, yakni virus Cytomegalovirus (CMV) yang merupakan virus keluarga herpes; jamur candida yang biasanya memengaruhi area kulit, mulut, dan kelamin; serta jamur Pneumocystis pneumonia. Selain itu, sumber infeksi lain yang juga rentan didapat berasal dari bakteri tuberkulosis.
Jumlah penderita penyakit ginjal kronik di Indonesia hampir 100.000 orang. Sementara, mereka yang melakukan transplantasi ginjal sekitar 15 persen. Dari jumlah tersebut, sekitar 30 persen di antaranya mengalami infeksi pascatransplantasi.
Pencegahan
Robert menjelaskan, risiko infeksi ini bisa dicegah melalui beberapa cara. Pasien pascatransplantasi dianjurkan untuk menjauhi lokasi proyek pekerjaan bangunan dan lokasi yang dikerumuni banyak orang. Tempat itu banyak sumber bakteri serta virus.
Pasien juga diminta menjauhi hewan peliharaan serta unggas. Selain itu, pasien dianjurkan meminimalkan kontak dengan orang lain, terutama ketika membesuk atau dibesuk di rumah sakit. Hindari pula kontak dengan bayi karena kondisi tubuhnya masih rentan.
“Hal penting lagi adalah selalu memakai masker saat beraktivitas, rajin membersihkan tubuh minimal dua kali mandi sehari, dan mencuci tangan setelah beraktivitas. Pastikan pula selalu mencuci buah dan sayur yang akan dikonsumsi, juga diutamakan mengonsumsi makanan yang dimasak,” katanya.
Deteksi dini
Menurut dokter spesialis penyakit dalam konsultan ginjal hipertensi RSCM-FKUI Bonar Marbun, upaya lebih penting untuk diperhatikan pascatransplantasi adalah pemeriksaan rutin. Setidaknya, sebulan sekali pasien harus memeriksakan diri ke dokter agar kondisi tubuhnya selalu dikontrol.
Pemeriksaan rutin ini jadi cara efektif mencegah infeksi yang muncul dengan deteksi dini. Jika sejumlah gejala infeksi dialami pasien, sebaiknya periksa ke dokter. Gejala itu berupa demam lebih dari 37,8 derajat celsius, batuk tak reda lebih dari tiga hari, perubahan warna pada dahak, perubahan warna urin, merasa nyeri dan timbul nanah pada bekas luka operasi, serta ada benjolan besar pada leher, ketiak, ataupun lipat paha.
“Alternatif lain bisa melalui konsumsi obat pencegah virus CMV atau pemeriksaan virus, namun biayanya memang cukup besar. Obat itu bisa mencapai Rp 20 juta. Untuk itu, melalui pemeriksaan, dokter bisa mengecek apa yang terjadi pada pasien sehingga tatalaksana berikutnya bisa diputuskan berdasarkan pemeriksaan tersebut,” kata Bonar.