Dilema Pelik Saat Nyaris Terjerat Bisnis Rokok Ilegal
Permintaan nomor rekening mulai menimbulkan dilema. Tak mungkin melanjutkan akting lalu uang masuk rekening kami.
Menyamar bak juragan hingga memacu adrenalin kami tempuh demi bersua para pemain rokok ilegal. Saat akting bak aktor itu berhasil dan mereka percaya, kami malah nyaris terjerat dalam lingkaran bisnis gelap nan menggiurkan itu.
Baca juga: Rokok Ilegal Kian Merajalela
Penelusuran Tim Investigasi Kompas Juli-Agustus 2024 demi menguak bisnis gelap rokok ilegal membawa kami sangat dekat dengan para pemain hingga juragan rokok ilegal. Di Pamekasan, Jawa Timur, kami bahkan menyaksikan langsung proses pengemasan rokok tanpa cukai atau polos di rumah-rumah warga.
Batangan rokok yang dikemas di rumah warga itu rupanya rokok filter yang proses pelintingannya menggunakan mesin rokok. Mesin itu, dari beragam petunjuk yang kami punya, diduga kuat milik sejumlah pabrik rokok.
Kami juga bertemu seorang penjual pita cukai rokok palsu di Malang, Jawa Timur, akhir Juli 2024. Orang itu menawarkan kertas mirip pita cukai rokok dengan harga puluhan juta rupiah per rim atau berisi 60.000 keping pita cukai.
Upaya mendekati penjual pita cukai ini pun kami tempuh dengan menyamar sebagai juragan penjual rokok ilegal. Cara ini berhasil. Pita cukai palsu yang ditawarkan harga jutaan rupiah itu akhirnya kami peroleh cuma-cuma (sebagai sampel?).
Pita cukai palsu itu jadi salah satu bukti penting untuk menunjukkan bahwa pita cukai memang diperjualbelikan di pasar gelap. Penjualan pita cukai di pasar gelap melanggengkan peredaran rokok ilegal, terutama rokok yang beredar dengan pita cukai palsu, hingga pita cukai milik perusahaan rokok lain.
Terbentur pagar hidup
Pengalaman cukup mendebarkan kami alami saat harus bertransaksi dengan seorang penjual rokok ilegal di Jepara, Jawa Tengah, awal Agustus 2024. Transaksi dengan penjual rokok tanpa cukai itu terpaksa kami tempuh setelah upaya masuk ke salah satu kampung yang terkenal memproduksi rokok ilegal di Jepara terbentur pagar hidup warga kampung itu.
”Kalian bisa masuk, tapi saya tidak jamin bisa keluar. Setiap orang baru yang masuk ke sana pasti ketahuan,” kata IR, salah satu warga lokal yang kami temui di Jepara.
IR merupakan orang yang awalnya dipercaya membawa kami masuk kampung yang dikenal dengan nama Robayan. Namun, IR akhirnya mengalah. Dia mengurungkan niatnya membantu setelah beberapa warga lokal yang diajak berkomunikasi keberatan.
”Saya juga diancam. Kami putus pertemanan dan mau diusir kalau membantu kalian. Mohon maaf, saya tidak bisa,” ucap IR.
Bukan hanya IR yang tidak berani. Sekelas petugas di bidang penindakan Bea Cukai Kudus, Jawa Tengah, pun mengakui hal serupa. Menurut salah satu petugas yang bisa dibilang intelijennya Bea Cukai pun tak bisa serta-merta datang, lalu dengan percaya diri menunjukkan surat tugas, dan menangkap para pemain rokok ilegal di sana. Mereka harus menggunakan beragam taktik, termasuk menggandeng aparat bersenjata.
Lalu, bagaimana dengan kami? Tak mungkin putar balik, lalu kembali ke Jakarta. Benar, tak ada berita seharga nyawa. Namun, tak elok dan sedikit memalukan, harus melapor, ”Kami pulang karena takut.”
Seperti beli narkoba
Saat tak mungkin membentur pagar hidup, kami mengubah rencana. Kampung Robayan tak perlu didatangi jika rokok yang diproduksi di kampung itu bisa kami miliki.
Caranya? Kami meminta IR berkomunikasi dengan produsen rokok ilegal di Robayan untuk membeli rokok yang mereka produksi. IR setuju, penjual rokok di Robayan pun welcome.
Rokok yang dijual oleh produsen itu dihargai Rp 1,4 juta per bal. Adapun satu bal rokok berisi 20 slof atau 200 bungkus rokok.
Rasanya terlalu banyak membeli satu bal rokok. Toh, untuk apa membeli rokok sebanyak itu? Tak mungkin, kan, kami jual lagi. He-he-he.
Produsen rokok di sana pun melunak dan bersedia menjual setengah bal rokok dengan harga Rp 700.00. Dari harga itu, dapat disimpulkan bahwa Robayan merupakan tempat rokok ilegal diproduksi. Sebab, harga rokok ilegal dari tingkat produsen biasanya berkisar Rp 1,05 juta-Rp 1,4 juta per bal.
Proses komunikasi hingga pengiriman uang sepenuhnya melalui perantara, yakni IR. Saat uang Rp 700.000 kami transfer, IR memberi kabar. ”Barangnya bisa diambil malam. Di sini begitu, kurirnya mulai gerak malam,” kata IR melalui pesan singkat.
IR kemudian mengirim lokasi tempat kami bertemu kurir yang bakal mengantar rokok yang telah dibayar. Lokasinya berada di salah satu SPBU, di wilayah perbatasan Jepara-Kudus.
Malam tiba. Kami berangkat dari hotel menuju lokasi pengambilan rokok. Komunikasi dengan IR tak terputus. Dia meminta kami mengirim jenis hingga warna mobil yang kami kendarai. Di saat bersamaan, produsen rokok itu juga mengirim ciri-ciri fisik hingga jenis sepeda motor yang digunakan kurirnya melalui perantara, yakni IR.
Perjalanan dari hotel kami menginap ke titik perjumpaan yang waktu tempuhnya hanya sekitar 20 menit mendebarkan. Ada perasaan waswas. Bayangkan, bisa saja itu jebakan dan justru kami yang ditangkap petugas lantaran terlibat jual beli rokok tanpa cukai.
Beruntung, perjalanan dan perjumpaan kami dengan kurir itu lancar meski hampir tanpa komunikasi. Kurir itu menghindar saat diajak berbincang. Saat barang berpindah tangan, kurir yang kami perkirakan masih berusia sekitar 20 tahun itu berputar dan tancap gas.
Kurir pergi, kami kembali ke mobil. Sembari menarik napas dalam-dalam, kami berusaha menghilangkan ketegangan dengan sedikit guyonan. ”Harusnya bukan hanya rokok yang kita ambil. Orangnya juga kita tangkap. Kurir itu alat bukti kita paling kuat. Ha-ha-ha....”
Nyaris terjerat
Ragam cara yang kami tempuh termasuk menyamar demi mendekati para pemain rokok ilegal hampir antiklimaks. Suatu hari pada awal Agustus 2024, di Surabaya, Jawa Timur, seorang juragan berinisial GL dari salah satu daerah di Indonesia timur yang kami dekati sejak Juli 2024 menghubungi kami.
”Saya sudah sepakat dengan penjual rokok yang kalian kenalkan kemarin. Saya beli lima karton. Tugas kalian pastikan barang itu asli. Uang segera saya kirim, Rp 40 juta,” kata GL.
Juragan itu sebenarnya sudah berbisnis rokok ilegal lebih dari lima tahun. Rokok yang dia jual diproduksi salah satu pabrik berizin di Jepara. Namun, dia berniat merambah ke merek rokok lain setelah kami kenalkan dengan seorang penjual pita cukai sekaligus broker rokok ilegal bernisial VA di Jawa Timur.
Perjumpaan GL dengan VA awalnya kami tempuh sebagai sandaran agar akting kami meyakinkan. Artinya, kami punya relasi, terutama juragan rokok, yang siap memberi modal untuk meyakinkan VA bahwa kami punya modal kuat alias bukan kaleng-kaleng. Di satu sisi, kami pun punya produk yang bisa ditawarkan kepada GL.
Langkah itu rupanya berhasil meyakinkan sang juragan dan si broker. Mereka mencapai titik temu. Namun, di titik ini, kami mulai terjebak.
GL telanjur percaya kepada kami. Rokok yang dia pesan hanya akan dibayar jika kami mengecek dan memastikan produk milik VA asli. Uang dari juragan itu pun hanya boleh sampai ke tangan si broker melalui kami sebagai perantara.
”Segera kirim nomor rekening, ya. Barangnya ada di dua gudang di Surabaya. Tolong cek dan kalau produk itu asli, segera bayar. Jatah kalian menyusul setelah barang dikirim,” ucap GL.
Permintaan mengirim nomor rekening mulai menimbulkan dilema. Kami bimbang. Tak mungkin kami melanjutkan akting dan membiarkan uang puluhan juta rupiah masuk rekening kami demi memuluskan transaksi rokok ilegal.
Di saat bersamaan, kami masih membutuhkan GL karena dia memiliki petunjuk mumpuni untuk melacak peredaran rokok ilegal di wilayah Kudus dan Jepara.
Di tengah kebimbangan, GL menyadari ada yang aneh dari produk rokok milik VA. Keanehan itu muncul saat VA mengirim video rokok melalui pesan singkat ke GL. Dari video itu, ada produk VA yang ternyata menggunakan pita cukai palsu.
”Rokok VA ini rokok palsu. Pita cukainya pakai pita palsu. Rokok buatan pabrik berizin itu pasti pita cukainya asli. Hubungan bisnis kami tidak berlanjut,” kata GL.
Meskipun berbisnis rokok ilegal, GL hanya mau menjual rokok dari pabrik berizin. Rokok pabrik berizin itu menggunakan pita cukai dengan tarif yang lebih rendah atau dikategorikan Bea Cukai sebagai rokok ilegal karena menggunakan pita cukai salah peruntukan. Artinya, produk rokok yang dilinting dengan mesin (sigaret kretek mesin atau SKM), tapi dilekati pita cukai asli jenis sigaret kretek tangan (SKT) yang bertarif cukai jauh lebih rendah.
Singkatnya, siasat tersebut semacam modus spanyol alias separuh nyolong. Modus inilah yang sangat populer saat ini selain rokok bodong tanpa pita cukai sama sekali.
Saat komunikasi mereka buntu, kami justru kian paham bahwa bisnis rokok ilegal tidak sederhana. Rupanya, tak cukup mengakali aturan pemerintah tentang cukai rokok atau licin meloloskan diri dari petugas. Ada banyak risiko yang setiap saat menanti, yakni tertipu pemain lain yang lebih lihai.