Mengakali Cukai, Pebisnis Rokok Ilegal Untung Miliaran Per Bulan!
Pemain rokok ilegal meraup untung besar karena mengakali cukai.
Pernyataan: liputan dan laporan investigasi ini diprakarsai dan dibiayai sendiri oleh Kompas dan tidak dalam rangka mempromosikan konsumsi rokok jenis apapun, termasuk legal atau ilegal.
Artikel ke-9 dari 15 tulisan
Rokok ilegal termasuk bisnis kotor yang menggiurkan. Produsen, distributor, hingga pengecer meraup untung besar. Kok bisa?
Pemilik warung rokok di Duren Sawit, Jakarta Timur, menjual rokok ilegal bermerek Luxio dan Dubai. Harganya Rp 13.000 per bungkus. ”Ini pas lagi ada, tadinya, mah, kosong,” kata pemilik warung yang lokasinya tersuruk dari jalan raya, ini, Minggu (18/8/2024).
Luxio dan Dubai ia simpan di dalam kardus, tidak terpajang di etalase seperti rokok resmi. Rokok tanpa pita cukai ini jelas tak terlihat dari depan warung.
Jika pemilik warung membeli dari distributor, margin yang diperolehnya sekitar Rp 4.500 per bungkus. Ini tergambar dari katalog harga rokok yang didapat dari distributor rokok ilegal, Sinar Bintang, yang berlokasi di Jepara, Jawa Tengah.
Baca juga: Rokok Ilegal Kian Merajalela
Di katalog tertulis harga Dubai dan Luxio Rp 85.000 per slof atau Rp 8.500 per bungkus. Status Sinar Bintang sebagai distributor rokok ilegal sudah terverifikasi. Kompas pernah membeli dua slof rokok ilegal merek Saga Bold dari Sinar Bintang dan barangnya tiba dengan selamat di Jakarta.
Baca juga: Perusahaan Rokok Nekat Produksi dari Mesin Tak Terdaftar
Si pemilik warung bisa lebih besar lagi keuntungannya jika membeli langsung dari produsen di Jawa Timur atau Jawa Tengah. Berdasarkan penelusuran di Pamekasan, di Madura, Jatim, harga rokok di sana Rp 5.000-Rp 7.000 per bungkus.
Untung Rp 1 miliar
Jojo, nama samaran, seorang bos rokok ilegal di Pamekasan melepas produknya Rp 1.050.000 per bal (200 bungkus). Biaya produksi sekitar Rp 750.000. Terdiri dari bahan baku, sewa mesin, dan upah pengemasan. Jadi, setiap bal, ia untung Rp 300.000.
Dalam sebulan, dia memproduksi 120 bal dengan untung Rp 36 juta. Sebagai catatan, Jojo baru bos rokok ilegal skala ”cilik” di Pamekasan. Ia baru memulai bisnis tujuh bulan lalu.
Baca juga: Rokok Ilegal Merambah Kelas Menengah
Jojo belum punya pabrik. Untuk membuat rokok, ia menyewa mesin milik pabrik, mirip seperti petani yang membawa padi ke penggilingan. ”Kapasitas produksi saya itu hanya untuk memasok satu pelanggan (distributor) di Tangerang, Banten. Kalau sudah banyak pelanggan tidak cukup segitu,” kata Joko, saat ditemui di rumahnya akhir Juli 2024.
Cuan lebih besar tergambar dari distributor besar, seperti LB (32) di Nusa Tenggara Timur (NTT). Lebih dari lima tahun pria ini memasarkan rokok ilegal di dua kabupaten di NTT.
Saat ini, ia menjual sebuah rokok sigaret kretek mesin (SKM) warna putih dengan klaim rasanya menyerupai salah satu rokok resmi yang sangat populer di masyarakat, yakni Sampoerna A Mild. Rokok yang dijual LB dibuat sebuah pabrik di Jepara, Jateng.
Nilai perputaran dananya sangat signifikan.
Kompas kemudian meminta seseorang di NTT untuk membeli rokok yang dijual LB dan mengirimnya ke Jakarta. Setelah dicoba, rasanya memang mendekati Sampoerna A Mild. Rokok ilegal milik LB dijual Rp 15.000, sementara rokok resmi Sampoerna A Mild rerata Rp 35.000 per bungkus. Rasa nyaris sama, tapi harganya beda jauh.
Tak ada pungutan
Oleh karena pasarnya tersebar di dua kabupaten, LB bisa menjual 500 karton per bulan. Jumlah ini setara 2.000 bal atau 400.000 bungkus. Untuk 500 karton ini, ia membayar ke pabrik sekitar Rp 2 miliar lalu mendapat untung Rp 1 miliar.
Bagi pedagang eceran, keuntungan penjualan rokok ilegal bisa lebih besar dibanding rokok resmi. Pengecer hanya mendapat selisih Rp 1.000-2.000 per bungkus untuk rokok resmi. Sementara rokok ilegal marginnya bisa mencapai Rp 5.000.
Perbedaan keuntungan antara rokok ilegal dan rokok resmi berkaitan dengan pungutan negara. Menurut Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan, Nirwala Dwi Heryanto, dari harga sebungkus rokok resmi, 68 persen merupakan pungutan negara. Pungutan itu terdiri dari cukai, pajak rokok, dan pajak pertambahan nilai hasil tembakau (atau PPNHT).
Ilustrasinya, jika rokok resmi dijual Rp 10.000, jumlah pungutan negara Rp 6.800. Lalu sisa Rp 3.200 baru dibagi untuk biaya produksi, tenaga kerja, serta margin. Sebaliknya, rokok ilegal tidak membayar pungutan ke negara. Harga rokok sebesar Rp 10.000 itu langsung dibagi untuk biaya produksi, tenaga kerja, serta keuntungan.
Cuci uang
Gurihnya cuan dari bisnis rokok ilegal juga dikonfirmasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Selama periode 2019-2023, PPATK mengerjakan sejumlah kasus terkait rokok ilegal. Lembaga intelijen keuangan ini pun sudah melakukan analisis dan pemeriksaan terhadap berbagai transaksi keuangan mencurigakan pada bisnis terlarang ini.
”Nilai perputaran dananya sangat signifikan,” ujar Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, Minggu (1/9/2024), tanpa menjelaskan angkanya.
Baca juga: Truk Ekspedisi Edarkan Rokok Ilegal hingga ke Luar Jawa
Para pelaku industri rokok ilegal, lanjutnya, terindikasi melakukan tindak pidana korupsi dan juga tindak pidana pencucian uang. ”Beberapa modusnya adalah penggunaan nominee dan juga pembelian aset, khususnya kendaraan bermotor, dengan menggunakan nama orang lain,” ungkapnya.