Masyarakat Dijadikan ”Pagar Hidup” Industri Rokok Ilegal
Rokok filter ”telanjang” dibawa ke dusun-dusun. Warga dilibatkan untuk mengemasnya sebelum dilepas ke pasaran.
Pernyataan: liputan dan laporan investigasi ini diprakarsai dan dibiayai sendiri oleh Kompas dan tidak dalam rangka mempromosikan konsumsi rokok jenis apa pun, termasuk legal dan ilegal.
10 dari 15 tulisan
PAMEKASAN, KOMPAS — Produsen rokok ilegal ditengarai sengaja melibatkan masyarakat di perkampungan dalam rantai produksi. Warga di Jawa Timur dan Jawa Tengah diupah untuk membungkus rokok filter bikinan mesin. Pola tersebut mempersulit pemberantasan rokok ilegal karena warga merasa terancam kehilangan mata pencarian.
Salah satu kawasan produksi rokok ilegal terlacak akhir Juli 2024 lalu di kawasan Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Lokasinya berjarak sekitar 15 kilometer dari pusat kota, melewati jalan desa yang hanya bisa dilalui satu mobil.
Jika kebetulan berpapasan dengan mobil lain, salah satunya harus mundur ke lahan kosong yang tersedia di beberapa titik. Bisa juga menyorongkan mobil ke pekarangan rumah warga. Kontur jalannya pun menanjak. Tak ada kendaraan lain melintas siang itu.
Di desa tersebut, salah satu warga yang turut terlibat dalam pembungkusan rokok ilegal tanpa pita cukai adalah Jono—bukan nama sebenarnya. Di ruang tamu di rumahnya terlihat dua genggam rokok sigaret kretek mesin (SKM) yang masih telanjang atau belum dibungkus. Saat dicoba, ada sensasi dingin khas mint menyapa tenggorokan.
Baca juga: Rokok Ilegal Kian Merajalela
Tak lama berselang, warga lainnya, Joni (bukan nama sebenarnya), datang dan ikut nimbrung dalam obrolan. Dari obrolan terungkap, rokok yang akan dibungkus itu milik salah seorang pengusaha rokok ilegal di sana yang akrab disapa ”haji”.
Pengemasan rokok digarap secara berkelompok. Jono satu kelompok dengan ibu dari Joni. Sementara Joni sendiri hanya membantu, tidak terlibat langsung dalam pekerjaan tersebut.
Jono kemudian menunjukkan cara membungkus rokok. Ternyata teknologi yang digunakan tak terlalu rumit. Alatnya hanya setrika yang dilengkapi tatakan kayu sehingga posisinya menghadap ke atas. Gunanya untuk melekatkan plastik yang menutup bagian luar kotak rokok.
Sementara itu, proses memasukkan rokok ke dalam kotak dilakukan dengan tangan. Jono terlihat lihai mengemas rokok ilegal yang isinya 20 batang per bungkus itu. Ia merengkuh rokok-rokok batangan di hadapannya. Dalam sekali ambil, jumlahnya langsung pas 20 batang, tidak lebih dan tidak kurang. Setelah itu, rokok yang sudah dalam kemasan dibalut dengan plastik. Lalu plastik dilekatkan dengan cara ditempel ke bagian setrika yang panas.
Baca juga: Truk Ekspedisi Edarkan Rokok Ilegal hingga ke Luar Jawa
Dari merek dan bungkusnya dapat diketahui rokok yang dikemas Jono juga banyak beredar di media sosial. Rokok itu ada di aplikasi Tiktok dan masuk dalam katalog berbagai distributor rokok ilegal yang mempromosikan jualannya di Facebook.
Selama penelurusan rokok ilegal, produk rokok tersebut juga pernah terlihat beredar di Jalan Raya Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara. Di wilayah itu ada tiga lapak pedagang rokok ilegal yang berjualan setiap malam. Demi keamanan Jono, merek rokok yang dikemasnya tidak disebutkan dalam laporan ini.
Setiap hari, Jono mengerjakan dua bal (400 bungkus) dengan upah Rp 80.000 atau Rp 40.000 per bal. Istrinya juga bekerja di sektor yang sama. Penghasilan Jono dan istri mencapai Rp 4 juta per bulan. ”Cukuplah. Ada sisanya juga untuk disimpan di Baitul Maal Wat Tamwil (semacam koperasi),” kata Jono.
Ia tersenyum sambil garuk-garuk kepala saat ditanya bagaimana jika pemerintah memberantas habis industri rokok ilegal di Pamekasan. ”Kayaknya harus tetap ada. Karena, di sini ada penghasilan setiap hari,” begitu responsnya.
Daun talas
Di rumah di desa tersebut tak hanya mengemas satu merek rokok. Joni membuka gawai dan menunjukkan foto sejumlah merek rokok lain yang dibungkus juga di rumah yang sama. Dari gawai Joni tampak gambar tujuh bungkus rokok berbagai merek yang ditaruh di atas daun talas.
”Ini (gimik) marketing-nya,” kata Joni tertawa saat ditanya tentang penggunaan daun talas. Rokok yang ditaruh di atas daun talas itu seakan memberi kesan natural, dengan konsep foto outdoor berlatar belakang semak belukar.
Ia juga menunjukkan daftar harga rokok terbaru. Rerata rokok itu dijual Rp 1 juta-Rp 1,4 juta per bal (200 bungkus). Dari sini diketahui harga rokok ilegal di Pamekasan adalah Rp 5.000-Rp 7.000 per bungkus.
Selain di Pamekasan, modus mengemas rokok ilegal di rumah warga juga terjadi di Jawa Tengah. Seorang petugas intelijen Bea dan Cukai Kudus, yang juga bertugas di wilayah Jepara, menyebut Robayan ”daerah merah”. Beberapa kali dilakukan penindakan di sana, tetapi aktivitas rokok ilegal tersebut terus berulang. Di Desa Robayan itu, pengemasan rokok ilegal dilakukan di rumah-rumah warga.
”Polanya hampir sama seperti di Madura. Rokok batangan datang dari mana-mana, kadang berasal dari Jawa Timur, lalu masuk ke sini. Selesai dikemas, diambil lagi sama pemiliknya. Bergeraknya biasanya malam (hari),” ujar petugas itu saat ditemui di Kantor Bea dan Cukai Kudus, awal Agustus 2024.
Transaksi malam hari
Melalui seorang warga lokal di Jateng berinisial IR, Tim Kompas mencoba membeli rokok ilegal yang diproduksi di Robayan dalam jumlah banyak.
Berikutnya, Si Bos tersebut sepakat menjual sebanyak 100 bungkus (setengah bal) rokok ilegal di harga Rp 700.000. Pembayaran kemudian dilakukan melalui IR. Setelah uang ditransfer, IR mengirim sebuah alamat melalui pesan Whatsapp.
”Nanti abis magrib jemput ke sini,” ujar IR sambil menanyakan ciri-ciri kendaraan yang digunakan Kompas.
Lokasi yang dimaksud berada di depan sebuah stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di Jepara. Suasana SPBU malam itu cukup ramai. Banyak kendaraan antre mengisi bensin. Di sana tampak seorang lelaki dengan sepeda motor matik berkelir merah. Tampaknya lelaki tersebut adalah kurir pembawa rokok ilegal pesanan tadi.
Dalam waktu cukup singkat, si kurir tersebut kemudian menyerahkan bungkusan plastik hitam, menyalakan mesin sepeda motornya dengan tetap mengenakan helm full face, lalu tancap gas meninggalkan lokasi transaksi.
Kantong plastik hitam itu berisi setengah bal atau 100 bungkus rokok bermerek Dubai. Rokok itu tidak memiliki pita cukai. Plastik luarnya tidak melekat rapi seperti rokok resmi yang dikemas oleh mesin. Diduga kuat, rokok ini juga dikemas secara manual.
”Pagar hidup”
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto saat dikonfirmasi menjelaskan, pelibatan warga dalam produksi rokok ilegal menimbulkan resistensi dalam penegakan hukum. Warga telanjur menganggap aktivitas ilegal itu sebagai sumber penghidupan.
”(Pemain rokok ilegal) bikin ’pagar hidup’ lewat ngepak (rokok) tadi itu. Sekarang begitu sumber hidupnya terganggu (karena penindakan rokok ilegal), masyarakat jadi resisten,” katanya, Selasa (13/8/2024), di Jakarta.
Baca juga: Rokok Ilegal Merambah Kelas Menengah
Keterangan Nirwala ini memang terjadi di lapangan. Contohnya saat petugas Bea dan Cukai ingin menyegel mesin pelinting rokok milik sebuah perusahaan di Pamekasan baru-baru ini. Seperti dikutip dari Kompas.com, petugas Bea dan Cukai, Minggu (11/8/2024), dihadang puluhan warga saat ingin menyegel mesin pelinting rokok di Desa Tobungan, Kecamatan Galis. Bahkan, ada warga yang berteriak ingin melakukan pembakaran jika petugas tetap melanjutkan penyegelan mesin.