Cukai Rokok, ”Pajak Dosa” yang Diakali Banyak Cara
Praktik menggelapkan pajak oleh perusahaan rokok mengancam cita-cita dari pungutan cukai.
Pernyataan: liputan dan laporan investigasi ini diprakarsai dan dibiayai sendiri oleh Kompas dan tidak dalam rangka mempromosikan konsumsi rokok jenis apa pun, termasuk legal dan ilegal.
12 dari 15 tulisan
Penelusuran tim Investigasi Kompas selama Juli-Agustus 2024 menemukan rokok ilegal kini tidak lagi hanya berasal dari luar negeri. Rokok ilegal justru marak diproduksi di dalam negeri. Bahkan, produk itu terindikasi kuat berasal dari sejumlah pabrik rokok berizin resmi. Namun, mengapa pabrik rokok yang kegiatan usahanya diawasi pemerintah nekat memproduksi rokok ilegal?
Jawabannya, sederhana, yakni bagian dari upaya perusahaan menggelapkan pajak atau tax evasion. Industri rokok merupakan salah satu sektor usaha yang dikenakan pungutan negara cukup tinggi. Ada tiga pungutan negara dalam satu batang rokok, yakni cukai, pajak rokok, dan Pajak Pertambahan Nilai Hasil Tembakau (PPNHT).
Akumulasi tiga pungutan itu mencapai 68 persen dari harga jual satu bungkus rokok. Misalnya, satu bungkus rokok pabrik A dijual dengan harga Rp 10.000. Dari harga jual itu, pungutan negara Rp 6.800 per bungkus. Artinya, dari satu bungkus rokok, biaya produksi, biaya pemasaran, hingga keuntungan pabrik hanya Rp 3.200.
Baca juga: Perusahaan Rokok Nekat Produksi dari Mesin Tak Terdaftar
Pungutan yang dikenakan negara untuk rokok, salah satunya cukai, dikenakan ke rokok karena dianggap bisa berbahaya bagi masyarakat dan lingkungan. Itulah sebabnya, pungutan cukai disebut juga sebagai ”pajak dosa” atau sin tax.
Pajak dosa berbeda dengan pos penerimaan negara lain karena pungutan cukai punya fungsi dan tujuan ganda. Pungutan cukai sejatinya untuk membatasi konsumsi. Namun, dalam pembatasan itu ada pendapatan negara.
”Pengenaan cukai tidak bertujuan membatasi produksi, (tetapi) membatasi konsumsi. Dia (perusahaan) mau produksi banyak silakan. Mau ekspor, malah tidak dikenakan cukai. Tetapi, begitu dikonsumsi dalam negeri, kena cukai,” kata Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto, Selasa (13/8/2024), di Jakarta.
Jenis rokok
Tarif pungutan cukai tak dikenakan merata untuk seluruh perusahaan rokok. Pemerintah menentukan tarif cukai berdasarkan jenis rokok dan skala produksi. Penentuan tarif cukai menggunakan tarif spesifik, yakni saat perusahaan memproduksi rokok dengan ancaman kesehatan yang kian berisiko, maka tarif cukai dikenakan makin tinggi.
Baca juga: Kompas Brief: Mengapa Rokok Ilegal Merajalela?
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Kelobot, dan Tembakau Iris, pemerintah membagi golongan pengusaha hasil tembakau dalam tiga golongan, yakni golongan I, II, dan III.
Penggolongan didasarkan pada skala produksi, yakni golongan I untuk perusahaan yang mampu memproduksi lebih dari 3 miliar batang rokok dalam setahun. Lalu, golongan II untuk perusahaan yang mampu memproduksi maksimal 3 miliar batang rokok dalam setahun, dan golongan III untuk perusahaan yang memproduksi kurang dari 500 juta batang rokok per tahun.
Pengenaan tarif cukai pun memperhatikan jenis rokok yang diproduksi. Jenis rokok yang jamak ditemukan di pasaran, yakni rokok sigaret kretek tangan (SKT), sigaret kretek mesin (SKM), dan sigaret kretek putih mesin (SPM).
Jenis rokok SKT merupakan rokok yang dicampur cengkeh dan sepenuhnya dibuat tangan manusia. Satu pekerja di pabrik rokok SKT sehari mampu memproduksi rata-rata 2.000 batang rokok SKT. Adapun jenis rokok SKM, meski dicampur cengkeh, proses pembuatannya sebagian besar mengandalkan mesin. Satu mesin rokok rata-rata memproduksi 2.000 batang rokok hanya dalam satu menit. Proses pembuatan rokok SPM pun mirip dengan pembuatan rokok SKM. Namun, rokok SPM diracik tanpa campuran cengkeh.
Jenis pita cukai
Skala produksi dan jenis rokok mudah dikenali dari setiap pita cukai yang tertempel di bungkus-bungkus rokok yang beredar di pasaran. Rokok yang diproduksi pabrik golongan satu dengan produk SKT, ukuran pita cukainya lebih panjang, ramping, serta dilekatkan di sisi bukaan kotak rokok. Di pita cukai itu ada pula tulisan berisi tarif cukai per batang dan jumlah total batangan dalam satu bungkus rokok.
Tarif cukai untuk rokok SKT golongan I pada 2024 sebesar Rp 378 per batang. Sementara rokok SKT golongan II, tarif cukai per batangnya Rp 223 per batang dan rokok SKT golongan III, tarif cukai per batangnya Rp 122 per batang.
Jenis rokok SKM ataupun SPM, pita cukainya berbeda dengan pita cukai rokok SKT. Pita cukai rokok SKM atau SPM, umumnya, berukuran lebih pendek dan lebih lebar. Cukai SKM dan SPM dilekatkan pada badan kotak rokok di sisi atas dekat bukaan kotak. Tarif pita cukai rokok SKM dan rokok SPM pun lebih tinggi.
Baca juga: Dua Wajah Cukai Rokok
Cukai untuk rokok SKM tarifnya Rp 1.231 per batang untuk perusahaan golongan I, dan Rp 746 per batang untuk perusahaan golongan II. Sementara itu, satu batang rokok SPM, tarif cukainya RP 1.336 untuk perusahaan golongan I dan Rp 794 untuk perusahaan golongan II.
Ada perbedaan, ada pula persamaan pada pita cukai jenis rokok SKT, SKM, dan SPM untuk perusahaan golongan II dan golongan III. Kesamaan itu, antara lain, di setiap pita cukai untuk rokok golongan II dan III ada kode perusahaan dari pabrik yang memproduksi rokok tersebut.
Rawan pelanggaran
Kode perusahaan yang tertera di pita cukai rokok golongan II dan III disebut personalisasi. Kebijakan ini dibuat pemerintah untuk mencegah perusahaan rokok golongan itu menyalahgunakan pita cukai.
Lalu, bagaimana implementasinya? Tim Investigasi Kompas, selama penelusuran di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada Juli dan Agustus 2024 justru menemukan, kebijakan perbedaan tarif pita cukai dan personalisasi pita cukai jadi salah satu celah munculnya rokok ilegal.
Baca juga: Menanti Arah Baru Kebijakan ”Pajak Dosa”
Di Jawa Timur, tepatnya di Pamekasan, Madura, ada perusahaan rokok terkenal yang memproduksi rokok SKM, malah melekati produknya itu dengan pita cukai SKT golongan III. Pita Cukai SKT itu pun ternyata pita cukai milik perusahaan rokok lain.
Fenomena itu menunjukkan kalau perusahaan rokok tersebut melakukan dua pelanggaran, yakni menggunakan pita cukai perusahaan lain (salah personalisasi) dan menggunakan pita cukai dengan tarif lebih rendah (salah peruntukan). Dari dua pelanggaran itu, rokok milik perusahaan itu dikategorikan Bea dan Cukai sebagai rokok ilegal.
Akibat dari keluarnya satu bungkus rokok SKM yang berisi 16 batang dari pabrik berizin, pungutan cukai yang disetor ke negara untuk satu bungkus rokok hanya Rp 1.464 (Rp 122 x 12 batang rokok). Padahal, pungutan cukai yang seharusnya disetor ke negara untuk perusahaan golongan dua itu Rp 11.936 per bungkus (Rp 746 x 16 batang rokok).
Baca juga: Dampak Berganda Kenaikan Cukai Rokok
Rokok dengan pita cukai salah peruntukan dan salah personalisasi banyak beredar di wilayah timur Indonesia, termasuk Nusa Tenggara Timur. Rokok ilegal itu dijual murah dan terbuka di sejumlah kios di Kota Ende, NTT.
”Rokok ini diminati masyarakat karena harganya murah. Satu bungkus yang isinya 20 batang, ada yang dijual Rp 17.000,” kata Yakub, salah satu warga Ende, pada awal Agustus 2024.
Saat harga rokok ilegal dijual murah, keuntungan agen naik berkali-kali lipat. GL (32), salah satu agen yang menjual rokok SKM di NTT, misalnya, meraup keuntungan hingga Rp 1 miliar per bulan. Keuntungan itu diperoleh dari 500 karton rokok yang dia order dari salah satu perusahaan berizin di Jawa Tengah setiap bulan.
Keuntungan pebisnis rokok berlipat ganda karena pungutan pajak yang harusnya dibayar ke negara tergerus. Satu bungkus rokok SKM yang diproduksi pabrik golongan dua berisi 20 batang, misalnya, jika dilekati cukai sesuai ketentuan Bea dan Cukai, pungutan cukai yang seharusnya disetor ke negara Rp 14.920 per bungkus.
Baca juga: Menangkal Bumerang Cukai Rokok
Namun, karena rokok itu hanya dilekati pita cukai SKT dengan tarif cukai Rp 122 untuk satu bungkus rokok berisi 12 batang, maka pungutan cukai yang didapat negara hanya Rp 1.464. Dari ilustrasi itu, jika satu bungkus rokok SKM dijual dengan harga Rp 17.000 di Ende, omzet perusahaan dari satu bungkus rokok saja mencapai Rp 15.536.
Praktik menggelapkan pajak oleh perusahaan rokok mengancam cita-cita dari tujuan dan fungsi pajak dosa. Sebab, di saat rokok ilegal beredar di masyarakat dengan harga murah, tak hanya negara yang kehilangan pendapatan. Namun, pada saat yang sama pula, tujuan utama pengendalian tembakau melalui kenaikan cukai rokok tidak tercapai. Kesehatan rakyat yang sudah lama senantiasa terancam oleh rokok legal kini justru kian terancam oleh rokok ilegal yang kian ugal-ugalan beredar di pasaran dengan harga terjangkau.