Beradu Akting dengan Komplotan Penipu Lowongan Kerja
Untuk menjebak pencari kerja, komplotan penipu melakoni peran sebagai staf rekrutmen hingga manajer abal-abal.
Bagian ke-18 dari 19 tulisan
Pertengahan Juli hingga Agustus 2024, tim Investigasi harian Kompas menelusuri sepak terjang para komplotan penipu berkedok lowongan kerja di area Jakarta dan sekitarnya. Lewat penyamaran, kami menggali segala tindak-tanduk mereka dalam menjebak para pencari kerja.
Komplotan ini menyusun skenario untuk menjebak pencari kerja, mulai dari membuat entitas perusahaan fiktif, menggunakan nama samaran, memakai nomor ponsel baru, hingga berbagi peran. Tujuannya, memperdaya para pencari kerja agar mau menyetorkan uang jaminan dan kemudian merelakan uang tersebut ke komplotan tersebut.
Ketika Kompas melamar kerja ke salah satu jejaring sindikat penipu tersebut, mereka ada yang berperan menjadi staf rekrutmen, petugas sekuriti, hingga manajer perusahaan. Beragam upaya mereka lakukan, termasuk membujuk rayu pelamar kerja, agar mau memberikan uang jaminan. Ibarat tengah beradu akting, kami pun turut mendalami peran sebagai pencari kerja.
Agar pelamar kerja mau memberikan uang jaminan, anggota komplotan mengiming-imingi gaji antara Rp 4 juta dan Rp 5,2 juta per bulan disertai fasilitas mes dan akses internet. Bahkan, mereka menjanjikan pelamar langsung diterima bekerja. Namun, setelah uang diserahkan, realitanya berbeda.
Baca juga: Lowongan Kerja Disebar Lewat Perusahaan Fiktif
Komplotan tersebut malah memberikan penempatan kerja sebanyak tiga kali ke beberapa perusahaan. Jika sampai tiga kali penempatan tidak kunjung diterima bekerja, uang jaminan akan dikembalikan. Dalam penelusuran kami, komplotan ini menyalurkan ke perusahaan yang membuka lowongan.
Dengan kata lain, mereka hanya bertindak semacam calo, tidak menjalin kerja sama dengan perusahaan pemberi kerja tersebut. Seharusnya hal ini tidak dilakukan oleh perusahaan penyalur tenaga kerja yang sudah diatur dalam regulasi ketenagakerjaan. Mereka juga menyalurkan tenaga kerja ke perusahaan yang memberikan gaji jauh dari janji awal, hanya berkisar Rp 2 juta per bulan.
Karena itu, kami berpura-pura menjadi pelamar kerja yang minim keahlian sehingga dalam tiga kali penempatan tersebut tidak satu pun yang mau menerima bekerja. Hal itu kami lakukan untuk membuktikan janji komplotan tersebut bahwa uang jaminan akan dikembalikan.
Kami juga mendalami peran dengan menyamar menjadi pelamar kerja kelas bawah agar para komplotan tidak curiga. Kami memakai pakaian, tas dan sepatu yang lusuh. Suatu waktu, sepatu yang kami pakai malah jebol karena saking lusuhnya. Kami pun harus rela pulang sambil memakai sandal jepit.
Dalam proses itu, tidak sedikit anggota komplotan yang menyalahkan kami karena tidak kunjung diterima bekerja. Seorang lelaki yang berperan sebagai atasan di ruko itu selalu mencari-cari alasan untuk memarahi kami. Hal sama dia lakukan kepada pelamar kerja lainnya yang gagal penempatan.
”Aduh, Mas... Mas... Kenapa lagi kamu?” ucap lelaki itu.
Salah satu anggota komplotan sempat memarahi kami waktu gagal penempatan di sebuah restoran. Di kesempatan lainnya, lelaki ini memarahi kami lagi karena tidak sengaja menyinggung soal uang jaminan ke perusahaan tempat kami bekerja.
Baca juga: Asal Bayar, Pakai Sandal Jepit pun Bisa Melamar
Sampai ketika kami telah gagal tiga kali penempatan kerja, kemudian hendak meminta agar uang jaminan kembali. Anggota komplotan itu pun berdalih kegagalan itu karena kesalahan kami si pelamar kerja. Dia bahkan menyebut kami bermain alibi.
”Saya tahu ini kamu main alibi. Saya tahu cara main kamu ini,” ujarnya.
Merespons tuduhan anggota komplotan itu, kami pun berlagak marah karena uang jaminan seharusnya dikembalikan jika gagal tiga kali penempatan sesuai janji mereka. Dari situ kami tahu ternyata uang pelamar kerja tidak akan pernah kembali setelah diserahkan ke tangan para penipu.
Kami juga sempat dikira terlalu polos para pelamar kerja lain karena begitu mudahnya menyerahkan uang kepada para penipu. Para penipu meminta uang jaminan mulai dari Rp 1,5 juta hingga Rp 1,7 juta. Padahal, hal ini mesti kami lakukan untuk membuktikan adanya penipuan.
”Lu ngapain bayar. Itu penipuan, harusnya jangan mau lu. Perusahaan yang benar enggak bakal minta uang. Apalagi kantornya enggak jelas gini,” kata seorang pelamar lain.
Kami hanya bisa menelan perkataan itu, meski dalam hati ingin sekali memberi penjelasan panjang-lebar kepada pelamar tersebut. Untungnya, kami buru-buru sadar kalau sedang menjalani peran sebagai pelamar kerja.
Saling mencurigai
Pelamar lain juga sempat mencurigai kami bagian dari komplotan penipu karena saat mendapat pengarahan, kami hanya mengangguk. Padahal ada banyak poin pernyataan yang terindikasi kuat mengarah ke penipuan.
”Saya kira kamu tadi anggota komplotan. Pas di dalam kok diam. Kayak sepakat-sepakat saja dengan yang disampaikan, ” kata Cahyo (bukan nama sebenarnya), salah satu pelamar kerja.
Baca juga: Berharap Memperbaiki Nasib, Berujung Duit yang Raib
Sebaliknya, kami juga sempat mengira beberapa pelamar lain sebagai anggota komplotan lantaran gerak-geriknya yang mencurigakan. Ada yang terlihat mondar-mandir di sekitar ruko seakan tengah memperhatikan lingkungan sekitar. Ada pula yang terlihat seperti pura-pura membayar uang jaminan untuk memengaruhi psikologis kami.
Rupanya penilaian kami salah. Orang-orang yang kami curigai sebagai komplotan ternyata betul-betul sebagai pelamar yang ikut terjebak dalam permainan si penipu. Kami baru menyadari hal itu setelah berbincang dengan pelamar tersebut seusai mengikuti wawancara kerja.
Kami juga berusaha mendapatkan sebanyak mungkin bukti perkataan dari para komplotan penipu dengan cara merekam video mereka diam-diam. Sebab, mereka kerap memberikan informasi yang berbeda berkaitan dengan klausul di perjanjian kerja.
Cara yang kami lakukan ini sempat membuat kami berada dalam situasi mencekam saat seorang staf di kantor penipu mengecek galeri di ponsel kami. Dengan alasan untuk melihat kembali undangan wawancara, staf tersebut lalu menghapus segala video percakapan dengan manajernya secara diam-diam.
Kami yang harus segera datang ke kantor pusat mereka, akhirnya harus menyusun rencana mitigasi jika kami ketahuan merekam video. Apalagi, kantor-kantor ini dijaga ketat oleh minimal tiga petugas sekuriti berperawakan seperti preman.
Baca juga: Jebakan Penipu untuk Pelamar Disiapkan Sejak Awal
Tak hanya khawatir penyamaran kami terbongkar, tapi kami juga khawatir jika komplotan ini bertindak nekat dengan melakukan kekerasan atau tindakan intimidatif lain. Beruntung, hal yang kami khawatirkan tidak terjadi dan penyamaran kami pun berlanjut sampai akhir.
Pengecekan ponsel tersebut rupanya semacam menjadi prosedur standar operasi (SOP) dari staf. Hal ini kami ketahui setelah mendapatkan cerita dari pelamar lain yang handphone-nya sempat dicek petugas sekuriti. ”Handphone saya diminta, saya kira mau di- pesenin taksi daring. Ternyata dia buka-buka galeri saya. Tapi tidak ada yang dihapus, ” kata Vina, salah satu korban.
Penelusuran dan penyamaran untuk mengungkap modus para penipu lowongan kerja ini cukup menguras adrenalin dan membutuhkan rencana yang matang. Untuk itu, kami juga berbagi peran dan menyusun rencana mitigasi agar dapat mengelabui para penipu ini dan membongkar tindakan jahat mereka. Agar tidak ada lagi jatuh korban lain, yang kebanyakan adalah kalangan menengah ke bawah.
Pengamatan kami, rata-rata ada 10-15 pelamar kerja per hari yang datang ke kantor pusat komplotan penipu ini. Kantor itu beroperasi enam hari dalam seminggu. Jika satu pelamar menyetorkan uang Rp 1,7 juta, dalam sebulan sindikat itu bisa meraup Rp 408 juta-Rp 600 juta.