Mengecilnya Lapangan Pekerjaan, Membesarnya Peluang Penipuan
Sejumlah pencari kerja menyebar lamaran ke banyak perusahaan. Begitu ada yang merespons, ternyata sindikat penipuan.
Bagian ke-6 dari 19 tulisan
Situasi ekonomi yang tidak menentu ditambah menyempitnya lapangan pekerjaan formal membuat banyak orang berburu mendapatkan pekerjaan yang dapat memberi penghasilan tetap. Namun, situasi ini justru dimanfaatkan sindikat penipuan bermodus lowongan kerja.
Kian menciutnya lapangan pekerjaan formal setidaknya terjadi dalam 15 tahun terakhir. Hasil analisis tim jurnalisme data Kompas, lapangan kerja yang tercipta di sektor formal kurun 2009-2014 menyerap 15,6 juta orang. Jumlah menurun ke angka 8,5 juta orang pada periode 2014-2019, dan jatuh menjadi 2 juta orang saja di 2019-2024 (Kompas, 20/5/2024).
Menyempitnya lapangan pekerjaan formal yang menandakan kian sulitnya masyarakat mendapatkan pekerjaan ternyata justru membuat aksi penipuan merajalela. Investigasi Harian Kompas mengungkap, terdapat pelamar yang diperdaya sindikat penipuan bermodus lowongan kerja dengan memungut biaya jaminan dan memberi harapan palsu.
Investigasi Kompas menunjukkan, sejumlah sindikat lembaga penempatan tenaga kerja swasta (LPTKS) memungut biaya jaminan kepada pelamar.
Perusahaan-perusahaan itu memancing pencari kerja dengan mengiklankan lowongan mengatasnamakan entitas bisnis fiktif. Setelah itu, pekerjaan yang dijanjikan tidak pernah ada dan uang tidak kembali.
Lina (bukan nama sebenarnya) jadi salah satu korban modus itu. Pandemi memutus penghidupannya. Setelah Covid-19 mereda, sulit bagi diri dara 22 tahun ini untuk mendapatkan kembali panggilan kerja.
Sudah tak terhitung lamaran yang dikirimkan, tetapi suatu hari di tahun ini Lina mendapat secercah harapan. Perantau asal Kalimantan Tengah itu menerima panggilan kerja untuk sebuah pabrik.
Namun, asa berbalik jadi kecewa karena lowongan yang dia lamar itu penipuan. ”Dari banyak lamaran yang kukirim, cuma satu itu yang langsung memanggil wawancara. Jarak panggilannya singkat banget dari lamaran yang kukirim, tahu-tahu ternyata itu penipuan dan aku diminta uang,” ujar lulusan SMA itu, Kamis (15/8/2024).
Korban sindikat penipuan loker lainnya yaitu Indra (juga bukan nama sebenarnya). Ia rela datang wawancara ke Tambun Selatan di Kabupaten Bekasi karena sulit mendapat kerja di tempat asalnya, Bandung, Jawa Barat.
”Kalau di Bandung, rata-rata pakai orang dalam,” kata pria 28 tahun itu. Mirip Lina, Indra tambah susah cari kerja di ”Paris van Java” sejak masa wabah Covid-19.
Saat panggilan wawancara di Tambun, Indra dijanjikan pekerjaan bergaji pokok Rp 5,1 juta per bulan asal membayar uang jaminan Rp 1,7 juta. Pewawancara memastikan uang jaminan akan dikembalikan setelah ia sebulan bekerja.
Ternyata, ia digiring menandatangani perjanjian yang membuat janji-janji manis tadi tidak valid. Ia juga baru sadar dijebak untuk jadi pengguna jasa LPTKS, padahal ia mengira sudah dikontrak dua tahun jadi pegawai.
Keterbukaan dunia usaha
Pengamat ketenagakerjaan, Payaman Simanjuntak, berpendapat, maraknya penipuan PT bodong mengindikasikan dua hal. ”Pertama, betapa sulitnya mencari pekerjaan sekarang ini di tengah-tengah situasi ada sekitar 7,2 juta orang penganggur,” ujarnya.
Kedua, pasar kerja yang ditangani pemerintah melalui dinas-dinas ketenagakerjaan kurang efektif mempertemukan pencari kerja dengan lowongan pekerjaan. Kementerian Ketenagakerjaan menyebut ada tantangan terkait itu, yakni kesediaan para pelaku usaha untuk melaporkan lowongan-lowongan kerja di tempat mereka.
Situasi tersebut disampaikan Direktur Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Kementerian Ketenagakerjaan Siti Kustiati. Saat berbicara dengan manajer sumber daya manusia sejumlah perusahaan, ia mendapati adanya krisis kepercayaan.
”Pihak industri belum sepenuhnya percaya kepada pemerintah dalam hal pengelolaan data (kebutuhan SDM mereka) agar tidak disalahgunakan,” ujar Oki, sapaan karib Siti, saat dijumpai, Jumat (16/8/2024) di Jakarta. Tantangan kian berat setelah peristiwa peretasan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) di Surabaya, Jawa Timur.
Oki berharap tembok penghalang itu berangsur terbongkar dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2023 tentang Wajib Lapor Lowongan Pekerjaan. Jika sudah ada peraturan teknis turunan dari perpres itu, semua pelaku usaha wajib melaporkan rekrutmen pegawai pada pemerintah. Aturan turunan masih dalam penyusunan.
Jarak panggilannya singkat banget dari lamaran yang kukirim, tahu-tahu ternyata itu penipuan dan aku diminta uang.
Oki menambahkan, persoalan bukan hanya terkait jumlah lapangan kerja. Adakalanya lowongan tersedia tetapi pendaftar yang memenuhi syarat berjumlah langka. ”Perusahaan-perusahaan suka bilang bahwa susah mencari tenaga kerja yang sesuai dengan kompetensinya,” tuturnya.
Salah satu akar masalahnya yaitu ketidakcocokan latar belakang pendidikan pelamar dengan kompetensi yang dibutuhkan dunia usaha. ”Mismatch yang dari dulu sampai sekarang enggak pernah berhenti,” katanya.
Data kebutuhan SDM lengkap dengan jenis kompetensinya merupakan fondasi keserasian tersebut. Jika pemerintah sudah bisa mendapatkan semua informasi lowongan kerja dari dunia usaha dan dunia industri, data diolah untuk jadi analisis pasar kerja lalu diturunkan lagi ke analisis kebutuhan pendidikan dan pelatihan. Lagi-lagi, ini butuh keterbukaan pelaku usaha.
Situasi sekarang, ada jenis pekerjaan yang jumlah pelamarnya berlebih karena alumnus pendidikan dan pelatihan untuk kompetensi tersebut terlampau banyak. Contoh, jumlah pekerjaan dengan kualifikasi lulusan pendidikan manajemen tidak sepadan dengan melimpahnya jumlah pelamar yang memenuhi persyaratan.
Sebaliknya, pekerjaan bidang logistik ”haus” SDM karena lulusan pendidikan dan pelatihan bidang logistik masih sedikit. Sebagai gambaran, hanya ada lima sekolah menengah kejuruan (SMK) dengan jurusan logistik di Indonesia.
Aman melamar
Pencari kerja dengan kompetensi terlalu umum berisiko menghadapi ketatnya kompetisi. Mereka bisa jadi lantas mendaftar pekerjaan dengan posisi apa pun meski kurang sesuai dengan latar belakang keahliannya, yang penting dapat bekerja.
Itu, menurut Oki, membuat sejumlah pelamar ”tutup mata” terhadap regulasi-regulasi yang sesungguhnya melindungi mereka. Ada yang jadi rela membayar jutaan rupiah kepada penyalur dengan iming-iming pasti kerja, padahal itu modus penipuan untuk mengeruk keuntungan dari ”pejuang lowongan”.
Padahal, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan melarang pungutan biaya penempatan kerja, kecuali untuk posisi-posisi tertentu. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.230/MEN/2003 tentang Golongan dan Jabatan Tertentu yang Dapat Dipungut Biaya Penempatan Tenaga Kerja menjelaskan di Pasal 5, pengecualian berlaku untuk posisi yang upahnya tiga kali lipat upah minimum setempat.
Pengajar hukum ketenagakerjaan Universitas Padjadjaran, Bandung, Holyness N Singadimedja, merekomendasikan adanya sosialisasi dan edukasi tentang cara melamar kerja yang aman. Edukasi perlu hingga ke siswa-siswa sekolah menengah atas dan yang sederajat sebab banyak lulusan SMA langsung mencari kerja.
Karena itu, ia mendorong dinas ketenagakerjaan bekerja sama dengan dinas pendidikan. ”Korbannya tetap banyak. Tandanya kan tidak ada sosialisasi terkait itu,” kata Holyness.
Sementara itu, Payaman mendesak pemerintah segera mengefektifkan pasar kerja, mendata lowongan kerja dan pencari kerja, lalu mempertemukannya melalui sistem antarkerja. Setelah itu, pencari kerja diimbau memanfaatkan mekanisme tersebut.
”Jangan ada yang melamar langsung tanpa surat pengantar dari dinas ketenagakerjaan,” tutur Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana tersebut.
Adapun Ketua Umum Perkumpulan Pengusaha Penempatan Tenaga Kerja Ibrahim mendorong pemerintah menertibkan LPTKS-LPTKS tidak berizin. Dengan demikian, penempatan terpantau dan pelamar terlindungi Kemenaker.
”Penempatan untuk tahun 2023 cuma 600 sekian orang,” ujar Ibrahim memberi gambaran. Ini gara-gara yang wajib lapor penempatan hanya LPTKS resmi. Sekarang jumlah LPTKS berizin 64 lembaga, sedangkan secara nasional ada hampir 500 LPTKS beroperasi.