Rela Keluar Kerja, Malah Terkena ”Prank” Lowongan Kerja
Sebagian pelamar rela keluar dari pekerjaan lama untuk melamar pekerjaan baru. Namun, justru malah bernasib ambyar.
Bagian ke-15 dari 19 tulisan
Pelamar kerja yang terjebak dalam penipuan lowongan kerja pada umumnya tergiur iming-iming gaji dan beragam fasilitas yang menarik hingga akhirnya mau menyetorkan uang jaminan jutaan rupiah. Apalagi, para korban dijanjikan oleh anggota komplotan langsung diterima bekerja.
Para korban ini bermaksud hati ingin mencari pekerjaan dengan gaji lebih besar, tetapi justru berujung ambyar. Mereka tak mewaspadai ada itikad jahat di balik berbagai iming-iming gaji bulanan dan kemudahan proses penerimaan kerja dari anggota sindikat.
Hal itu juga yang dialami Budi (22), bukan nama sebenarnya. Lelaki lajang ini tak mengira bakal menelan pengalaman pahit tersebut. Berawal dari sebuah informasi lowongan pekerjaan yang cukup menjanjikan, Budi mencoba peruntungan dengan mengirimkan lamaran. Tujuannya, agar mendapatkan pekerjaan dengan gaji lebih layak.
Bahkan, dia rela dipecat bosnya terdahulu karena mengira sedang menjemput masa depan yang lebih baik. Namun, siapa sangka lowongan kerja itu justru berujung pada ”prank” dari sindikat penipu.
Di sebuah warung nasi Tegal di Jalan Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur, Budi tak punya nyali memesan makanan. Ia hanya duduk. Satu tangannya memegang amplop coklat berisi data diri, tangan lain mengusap-usap jidat. Tatapannya tak tentu arah.
”Ongkos pulang ini, (saya) bingung,” tutur lelaki yang tinggal di Kota Bekasi, Jawa Barat, ini, akhir Juli 2024. Uang pegangannya sudah dikuras sindikat penipuan lowongan kerja. Mereka mengambil total Rp 1.550.000 dari Budi dengan alasan untuk biaya jaminan dan biaya administrasi.
Info lowongan kerja di Instagram jadi awal warga asal Palembang, Sumatera Selatan, itu terjerumus ke penipuan. Akun @rumahloker.jabodetabek mengunggah lowongan untuk posisi staf admin, staf gudang, packing atau pengemasan, kurir dengan surat izin mengemudi (SIM) C, pengemudi dengan SIM A atau B, serta petugas satuan pengamanan (satpam).
Nama tempat kerja belum jelas, tetapi fasilitasnya memikat. Gaji sesuai upah minimum regional (UMR), ada uang makan, asuransi BPJS, mes, serta bonus. Itu artinya, Budi akan memperoleh gaji setidaknya Rp 5 jutaan per bulan jika dia bekerja di Jakarta atau Bekasi. Penghasilan itu berlipat dari upah yang dia terima saat bekerja di waralaba ayam goreng di Kota Bekasi, sebesar Rp 1,4 juta per bulan.
Lulusan sekolah menengah atas (SMA) itu kemudian menghubungi nomor yang tertera di lowongan dan mendapat undangan wawancara esok harinya di kawasan Daan Mogot, Jakarta Barat. Ia berinisiatif memohon izin ke bos toko ayam goreng untuk tidak masuk kerja sehari, mengaku hendak wawancara karena direkomendasikan saudaranya.
Bosnya memberi pilihan, jika Budi memilih untuk cuti demi melamar pekerjaan lain, lebih baik ia mengembalikan kunci toko, lalu sisa gaji bakal ditransfer ke rekeningnya.
”Katanya, kalau udahenggak mau kerja ya udah, entar (dia) cari karyawan lagi. Aku diam aja,” tutur mantan kuli bangunan dan pegawai toko di Palembang tersebut. Budi selama ini bekerja dengan libur hanya dua hari sebulan. Ia mengoperasikan toko sejak pukul 09.30 sampai sekitar 21.00. Maka, ia percaya diri untuk undur diri.
Karena kemejanya masih basah, Budi datang wawancara ke Daan Mogot hanya mengenakan kaus hitam. Namun, ia tetap disambut dan dijanjikan kerja dengan fasilitas-fasilitas yang menarik. Budi pun tergiur dengan janji manis tersebut.
Agar dapat diterima bekerja, Budi diminta untuk membayar uang jaminan dan biaya administrasi dengan total Rp 1,55 juta. Budi pun merelakan seluruh uang di dompetnya sehingga kekurangan uang untuk pulang ke Kota Bekasi. Setelah membayar uang jaminan, Budi baru mengetahui bahwa dia datang wawancara dengan sebuah kantor penyalur tenaga kerja PT PSL.
Budi kemudian diberi tahu bahwa di hari yang sama, ia wajib ikut pembekalan di Jatinegara, sekitar 20 kilometer dari kantor PT PSL. Begitu tiba di lokasi, Budi lagi-lagi baru tahu bahwa pembekalan diurus PT yang berbeda lagi.
Ternyata, setelah membayar uang Rp 1,55 juta, Budi belum pasti kerja. Ia disalurkan lagi ke perusahaan yang butuh pegawai. Ia mendapat tawaran bekerja di warung bakmi yang berlokasi di Pluit, Jakarta Utara, dengan gaji berkisar Rp 2 juta per bulan. Tawaran gaji ini jauh dari standar upah minimum DKI yang dijanjikan oleh perusahaan di Daan Mogot.
Budi memeriksa situasi warung itu lewat foto-foto di Google Maps. Warung hanya berupa rumah dengan gerobak makanan di bagian depan. Tidak tampak kursi untuk konsumen bersantap. Padahal, staf PT di Jatinegara bilang bahwa ia akan bekerja di restoran. ”Kayak restoran, enggak? Enggak, kan?” katanya meminta validasi sambil menyodorkan ponselnya.
Budi mesti berhitung cermat. Ia menumpang tinggal di rumah bibinya di Kota Bekasi. Jarak ke warung bakmi tadi sekitar 40 kilometer. Naik angkutan umum masih mungkin, tetapi ia butuh 2-3 jam perjalanan pergi, begitu juga ketika pulang.
Akhirnya, paman dan bibinya datang ke rumah mantan bos Budi, memohon maaf dan membujuk si bos agar menerima keponakan mereka itu bekerja lagi di toko waralaba ayam goreng. Budi pun kembali bekerja di tempat kerjanya yang lama dan terpaksa membiarkan uang jutaan rupiah yang dia setorkan lenyap.
Lelah segalanya
Riko tak ketinggalan menumpahkan kekesalannya. Pemuda 18 tahun itu terjerat bujuk rayu perusahaan perekrut lain, PT KTT, dan telanjur ”menyumbangkan” Rp 1,7 juta demi bekerja di restoran.
”Aku kesel banget. Bodohnya aku, diiming-imingi fasilitas mau aja lagi tanpa pikir panjang,” ucap Riko. Ia pendatang baru di dunia lamar-melamar kerja sehingga jadi sasaran empuk penipu bermodus rekrutmen.
Warga Bogor, Jawa Barat, ini bercerita, akhir Juli lalu ia mendaftar untuk melamar sebagai pegawai restoran. Ia menerima panggilan wawancara di Cakung, Jakarta Timur. Uang Rp 1,7 juta diserahkannya ke perekrut kerja karena dinyatakan diterima bekerja.
Anehnya, hari itu juga ia diarahkan langsung pembekalan kerja ke kantor pusat perusahaan di Kalideres, Jakarta Barat. Alamatnya pun baru diberitahukan selesai Riko menandatangani perjanjian.
Ketika sudah telanjur di Kalideres, Riko baru sadar bahwa ia direkrut oleh PT KTT, bukan restoran sesuai dengan yang tercantum di iklan lowongan kerja. PT KTT pun bukan perusahaan yang akan mempekerjakan dia. Lembaga penempatan tenaga kerja itu masih akan menyalurkan Riko ke perusahaan atau pelaku usaha yang butuh karyawan.
Dari sini, kebohongan jelas memangsa Riko. Awalnya, ia mengira sudah diterima kerja, ternyata belum. Awalnya ia mengira sudah akan menerima gaji yang layak sebulan kemudian, ternyata tidak demikian.
Riko masih mencoba mengikuti akal-akalan PT KTT. Ia datang untuk wawancara ke restoran di Jakarta Barat dengan membawa surat pengantar kerja PT KTT. Sampai di lokasi, tidak ada orang kantor yang berwenang mewawancarai dia. Riko diarahkan untuk kembali ke PT KTT dan mengambil tawaran pekerjaan lain saja.
Perjalanan lebih dari tiga jam antara Bogor dan Jakarta membuat Riko menyerah. Lulusan sekolah menengah atas ini tidak mau lagi berurusan dengan PT KTT meski jutaan rupiah sudah dikeluarkannya. ”Capek batin, capek dana, capek fisik,” tutur Riko.
Saat berbincang dengan Kompas beberapa hari kemudian, Riko tengah menanti kabar tes kerja di salah satu minimarket. Prosesnya lumayan lama, tetapi setidaknya upaya kali ini layak diperjuangkan Riko karena menuju pekerjaan yang menjanjikan penghasilan, bukan jebakan yang membuat uangnya lenyap seperti sebelumnya.
Tidak seperti Budi dan Riko, ada pelamar kerja yang sedari awal menyadari menggunakan jasa perantara. Namun, ternyata itu bukan jaminan tidak ada “prank.” Salah satu yang punya pengalaman dikerjai calo ialah Romi (bukan nama sebenarnya), warga Kabupaten Bekasi. Lelaki berusia 21 tahun itu mengalami kerugian lebih dari Rp 12 juta akibat proses itu.
Hal itu berawal ketika Romi menemukan iklan penerimaan pegawai pada salah satu industri manufaktur komponen mobil di Tiktok.Romi menghubungi nomor whatsapp yang tercantum, masuk ke sebuah grup percakapan, dan bersepakat dengan calo yang jadi admin grup itu.
Calo berjanji membantunya masuk perusahaan manufaktur tadi, asal Romi membayar Rp 9,5 juta ke kantor yayasan jejaring calo itu. Ia percaya untuk membayar karena sebelumnya sudah mendengar informasi dari berbagai sumber bahwa untuk jadi karyawan di pabrik area Cikarang memang butuh “pelicin.”
Romi pun meminta ibunya membayar uang Rp 9,5 juta ke yayasan calo itu. Namun, pengeluaran ternyata belum berhenti di angka itu. Selain untuk biaya keanggotaan di yayasan, ada pula biaya organisasi kemasyarakatan (ormas) dan cek kesehatan (MCU). “Total udah keluarin 12-an (sekitar Rp 12 juta),” katanya.
Romi disalurkan ke berbagai perusahaan hingga lima kali proses penempatan tetapi selalu berakhir pada ketidakjelasan. Dia pun menanyakan ke calo terkait kepastian pekerjaan, tetapi jelang akhir 2023 calo tersebut tidak merespons. Romi menyerah dan memilih cari kerja sendiri dibanding mengejar tanggung jawab yayasan yang sudah memakan belasan juta rupiah uangnya.