Penyalur Tenaga Kerja Ilegal Bebas Beraksi
Penyalur tenaga kerja tidak berizin leluasa memungut uang dari pelamar untuk disalurkan bekerja ke sejumlah rekanan.
Bagian ke-10 dari 19 tulisan
JAKARTA, KOMPAS — Investigasi harian Kompas mengungkap, perusahaan penyalur tenaga kerja ilegal bebas menyalurkan pencari kerja di sejumlah tempat. Mereka juga memungut uang kepada para pelamar hingga jutaan rupiah.
Tim Kompas menyamar sebagai pelamar kerja dengan mendaftar melalui iklan-iklan lowongan yang sejak awal mencurigakan. Tim menemukan, PT SAS dan PT PSL yang tidak memiliki izin aktif berperan sebagai lembaga penempatan tenaga kerja swasta (LPTKS).
PT SAS berada di Kelurahan Kedaung Kali Angke, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat. Lokasi perusahaan ini berjarak sekitar 500 meter dengan kantor Kepolisian Resor Metro Jakarta Barat.
PT itu memungut uang Rp 1,35 juta ke setiap pencari kerja. Perusahaan ini menawarkan pencari kerja ke perusahaan lain yang butuh karyawan dengan gaji di bawah upah minimum. Agar bisa mendapatkan pelamar seperti itu, PT memasang iklan lowongan dan mencantumkan nama perusahaan atau bisnis fiktif di media sosial.
Pelamar langsung dinyatakan diterima saat sesi wawancara dengan upah layak. Syaratnya, membayar uang jaminan yang akan dikembalikan ketika pelamar gagal di penempatan ketiga. Begitu uang masuk dan perjanjian ditandatangani pelamar, janji-janji manis tadi menguap dan uang jaminan tidak dikembalikan.
Baca juga: Sindikat Penipu Lowongan Kerja Beroperasi Bagai Gurita
Tidak terdaftar
Merujuk situs Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM (AHU Kemenkumham), Kompas tidak mendapatkan nama LPTKS itu. Kompas juga tidak menemukan nama PT tersebut di daftar LPTKS yang sudah mendapatkan sertifikat standar terverifikasi Kementerian Ketenagakerjaan.
Perusahaan lain yang juga tidak berizin ialah PT PSL, yang berada di Kelurahan Rawa Buaya, Cengkareng, Jakarta Barat. PT ini kantornya berseberangan dengan kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap Jakarta Barat.
Perusahaan ini berbadan hukum berdasarkan pengecekan di situs Ditjen AHU Kemenkumham. Namun, dari 64 LPTKS yang terverifikasi Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), tidak ada nama PT itu.
Pemberian gaji dan penempatan yang tidak sesuai, itu juga masuk ranah TPPO (tindak pidana perdagangan orang).
Menurut Siti Kustiati, Direktur Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Kemenaker, berbadan hukum bukan berarti langsung resmi beroperasi sebagai LPTKS. ”Ketika dia menjadi LPTKS, selain mempunyai nomor induk berusaha, dia harus memiliki izin penempatan tenaga kerja,” ucap Oki, sapaan Siti Kustiati.
Karena itu, pemerintah mewajibkan LPTKS-LPTKS memenuhi standar. Tujuannya, pemerintah dapat mengawasi operasional mereka sehingga hak-hak pelamar terlindungi. Hal ini merujuk Pasal 18 Ayat (2) Peraturan Menaker Nomor 39 Tahun 2016 tentang Penempatan Tenaga Kerja, yakni lembaga swasta berbadan hukum pelaksana penempatan tenaga kerja wajib memiliki surat izin usaha LPTKS.
Selain itu, LPTKS wajib mengurus perizinan di Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal. Kewajiban ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. ”LPTKS ini masuknya tingkat risiko menengah-tinggi, maka kita harus verifikasi,” tutur Oki. LPTKS yang sudah terdaftar, tetapi belum mengurus izin usaha, kata Oki, sama saja berpraktik ilegal jika aktif menyalurkan tenaga kerja.
Perdagangan orang
LPTKS bisa juga dikategorikan melakukan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) jika menyalurkan pekerja tanpa izin. ”Pemberian gaji dan penempatan yang tidak sesuai juga masuk ranah TPPO,” ucapnya.
Baca juga: Berharap Mengubah Nasib, Berujung Duit yang Raib
Ketua Umum Perkumpulan Pengusaha Penempatan Tenaga Kerja Ibrahim menyebut, penempatan tenaga kerja secara ilegal bisa dijerat dengan ketentuan TPPO. ”Salah satu pelanggaran TPPO itu ialah melakukan penempatan di luar prosedur,” tuturnya sesuai Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO.
Adapun ancaman hukuman pelanggar ketentuan ini adalah pidana penjara 3-15 tahun dan denda Rp 120 juta-Rp 600 juta.
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, sepakat jika penyalur kerja ilegal dikenakan pasal TPPO. ”Jika tidak ada izin, baik izin usaha maupun izin mempekerjakan orang terutama di luar negeri, jeratan ketentuan pasal TPPO sangat tepat,” ujarnya.
Terkait hal ini, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi meminta agar ada laporan terlebih dulu dari pihak-pihak yang merasa dirugikan kepada kepolisian.
Jika tidak ada izin, baik izin usaha maupun izin mempekerjakan orang terutama di luar negeri, jeratan ketentuan pasal TPPO sangat tepat.
Saat dikonfirmasi, perwakilan PT SAS, Didin, hanya menyebut pihaknya benar LPTKS. Ia kemudian tidak mau berkomentar lebih lanjut. Adapun Bahar dari PT PSL membantah temuan Kompas tentang tidak adanya izin beroperasi pada perusahaan tersebut. Bahar mengklaim izin PT PSL lengkap.
Baca juga: Lembaran Perjanjian Lemahkan Pelamar Kerja