Penipu Lowongan Kerja, Manis di Depan Sinis di Belakang
Penyalur tenaga kerja memanipulasi agar pelamar tidak banyak protes, padahal ada biaya administrasi jutaan rupiah.
Bagian ke-17 dari 19 tulisan
Komplotan penipuan berkedok lowongan kerja punya seribu cara untuk memperdaya para pencari kerja. Mereka bermanis-manis di depan, membujuk rayu para pelamar agar mau menyetorkan uang jaminan. Setelah uang diterima, sikap komplotan ini pun berubah 180 derajat kepada para pelamar.
Upaya manipulatif ini dilakukan supaya para pelamar mengundurkan diri sepihak setelah menyetorkan uang jaminan. Mengacu pada surat perjanjian kerja, uang jaminan hangus jika pelamar mengundurkan diri.
Tak heran, seusai menerima uang jaminan, komplotan penipu menghardik ke korban yang mempertanyakan perilaku ingkar janji mereka. Ini terekam dalam penyamaran tim Kompas sebagai calon tenaga kerja yang melamar ke lowongan kerja fiktif tersebut.
Lewat penyamaran, Kompas ikut melamar kerja pada PT Lavanya Autopart Humanika. Iklan lowongan perusahaan itu ada di salah satu situs pencarian kerja global. Kami menghubungi nomor Whatsapp yang tercantum di sana dan mendapat panggilan wawancara langsung esok harinya.
Datang ke tempat wawancara di sebuah ruko Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, kami menemui seorang perempuan yang namanya tercantum di undangan Whatsapp sebagai staf rekrutmen perusahaan. Ia menanyakan apakah kami sudah tahu lini bisnis perusahaannya. ”(Produksi) sparepart, suku cadang motor dan mobil. Kalau bahasa China-nya, onderdil,” tutur sang pewawancara menyelipkan gurauan.
Baca juga: Sindikat Penipu Lowongan Kerja Beroperasi Bagai Gurita
Tidak ada pertanyaan teknis terkait bidang kerja staf administrasi, posisi yang kami minati di lowongan PT Lavanya. Pertanyaan kebanyakan seputar hal nonprofesional, seperti usia, asal, domisili sekarang, dan pekerjaan orangtua. Setelahnya, pewawancara bahkan menyebut tim sudah diterima perusahaan.
Pewawancara tersebut lantas melontarkan janji-janji manis yang tergolong menggiurkan bagi orang yang belum bekerja. Kontrak kerja sampai dua tahun. Gaji pokok di atas Rp 5 juta per bulan, atau di atas upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta.
Ada uang makan Rp 600.000 per bulan. Uang lembur Rp 30.000 per jam. Terdapat mes bagi pekerja asal luar kota, tetapi jika fasilitas itu tidak diambil, ada uang transportasi Rp 600.000 per bulan. ”BPJS Ketenagakerjaan dapat, sampai pembukaan rekening juga dapat,” kata pewawancara.
Akan tetapi, ada persyaratan yang harus dipenuhi pelamar kerja, yakni uang jaminan sebesar Rp 1,7 juta, bisa dibayar tunai ataupun transfer via rekening bank. ”Salah satu yang terikat dengan Bapak ini terkait dengan fasilitas seragam kerja, dibebankan kepada Bapak,” ujar perempuan itu.
Baca juga: Berharap Memperbaiki Nasib, Berujung Duit yang Raib
Tidak cukup di situ. Untuk meyakinkan pelamar kerja, pewawancara tersebut menyatakan uang sebesar itu hanya bersifat sebagai jaminan untuk pengikat sementara antara perusahaan dan pelamar.
Jadi, bapak wajib kerja satu bulan dulu, terima gaji pertama, lalu pihak perusahaan mengembalikan nominal sebesar 1,7 (Rp 1,7 juta) sebagai jaminan di awal.
Dengan iming-iming itu, pewawancara ingin meyakinkan pelamar bahwa uang jaminan nanti akan dikembalikan.
Jika menyetorkan uang jaminan, kami dijanjikan akan mendapat pelatihan di Pulogadung, Jakarta Timur. Pewawancara menyebut PT Lavanya berpusat di Kabupaten Bekasi dan Karawang, tetapi kami ditempatkan di kawasan industri Pulogadung. Kami bisa langsung bekerja pekan depannya.
Situasi berubah drastis setelah Kompas sebagai pelamar melunasi jaminan Rp 1,7 juta. Janji dan perkataan pewawancara seperti tidak pernah diucapkan karena kenyataannya berbeda.
Baca juga: Rela Keluar Kerja, Malah Terkena "Prank" Lowongan Kerja
Seusai membayar uang jaminan, kami diminta menandatangani perjanjian bukan dengan PT Lavanya, melainkan PT KTT sebuah lembaga penempatan tenaga kerja swasta (LPTKS). Isi perjanjian juga bukan kontrak kerja, melainkan persetujuan pelamar jadi pengguna jasa PT untuk dicarikan pekerjaan.
Setelah menandatangani surat perjanjian itu, pelamar diminta bergegas berangkat ke kantor pusat PT KTT di Kalideres, Jakarta Barat. Padahal, janji awal akan diberi pelatihan di Pulogadung. Adapun ruko di Tambun Selatan merupakan kantor cabang PT KTT.
Ingkar janji
Di kantor pusat PT KTT di Kalideres, Kompas mengikuti pembekalan bersama dengan tujuh pelamar kerja lain di lantai tiga. Salah satu perwakilan perusahaan yang memberi pembekalan. Dalam kesempatan itu, ia terus memutarbalikkan fakta dan memaksa pelamar menerima kebenaran hanya berlandaskan materi dia, bukan dari ucapan pewawancara sebelumnya di kantor cabang.
Contoh, soal gaji UMP DKI yang disebut di kantor cabang. Pemateri mengatakan, angka itu baru bisa didapat jika pelamar diterima langsung. Jika diterima dengan status masa percobaan, kisaran gaji Rp 1,5 juta-Rp 3,5 juta per bulan. Nyatanya, dari tawaran-tawaran kerja bagi Kompas, rata-rata gaji Rp 2 juta-Rp 2,5 juta per bulan.
Baca juga: Jebakan Penipu untuk Pelamar Disiapkan Sejak Awal
Tempat kerja juga belum pasti. Pelamar mesti melalui tes lagi di perusahaan rekanan yang hendak merekrut karyawan. Kompas belum tentu bekerja di PT Lavanya yang kata kantor Tambun berlokasi di Pulogadung.
”Pak, kalau saya dapat informasi saya sudah sampai di sini, namanya kantor pusat, kira-kira saya bisa bekerja sesuai informasi yang saya dapat (di kantor cabang), gak? Jawaban saya cuman satu. Belum tentu,” kata pemateri.
Ada lagi soal uang Rp 1,7 juta. Kantor cabang bilang, perusahaan bakal kembalikan uang itu setelah Kompas mendapat gaji pertama. Kantor pusat membelokkan. Uang Rp 1,7 juta tidak akan kembali kalau pelamar diterima bekerja. Itu bentuk ”balas budi” ke PT yang berjasa mencarikan sumber penghidupan.
Anda naik angkot bayar enggak? Naik kereta bayar enggak? Anda ke sini gratis enggak? Enggak ada yang gratis, Bos!
Jangan coba-coba bertanya kalau belum dipersilakan pria berbalut kemeja putih motif garis-garis itu. ”Heh, mau bertanya itu ada waktunya. Kalian sekolah untuk pintar atau untuk bodoh, sih?” ujarnya.
Salah satu pelamar, Indra (bukan nama sebenarnya), coba bertanya tentang omongan pusat yang berbeda dengan staf di cabang. Pemateri membalikkan lagi bahwa penyampaiannya sudah sesuai dengan aturan di perjanjian. Pelamar pun tanda tangan di atas materai.
”Nah, saya kan tadinya mau lihat surat perjanjian itu, tapi surat perjanjian itu tetep dipegang sama dia (orang kantor cabang). Pas saya mau baca, udah, katanya tulis aja dulu,” protes Indra. Pemateri menjawab secara tidak nyambung, menekankan bahwa melamar kerja ke swasta itu yang penting tahu orangnya, bukan soal beres-tidaknya administrasi.
Pengalaman Indra mirip Kompas sewaktu penandatanganan kontrak di kantor Tambun. Manajer kantor cabang tidak memberi waktu bagi Kompas membaca cermat isi perjanjian. Bahkan, kalau tidak ditanya, ia tidak akan menjelaskan apa itu lembaga penyalur kerja yang namanya tercantum sebagai pihak pertama.
Peserta yang berusaha meminta penjelasan soal perbedaan-perbedaan keterangan lain bakal direndahkan oleh kantor pusat. ”Kalau kalian bertanya lagi, berarti kalian ngomong ini tapi tidak pakai akal, otak di situ. Jadi, cuma ngomong doang, tapi gak tahu omongannya ini mengarah ke apa. Jelas?” ucap pemateri yang seolah menyalahkan para pelamar dengan sinis.
Para pelamar tak punya energi untuk terus membantah. Mereka kelewat letih. Indra, misalnya, baru mengisi perut dengan roti minimarket setelah tidak makan sejak pagi hingga siang. Indra pun akhirnya memilih mundur dan merelakan uang jaminan tersebut hangus.
Baca juga: Kemenaker Siap Tindak Penipu Lowongan Kerja
Ketika dikonfirmasi, perwakilan PT KTT di Kalideres, Richard, mengakui adanya pungutan uang sebesar Rp 1,7 juta kepada para pencari kerja. Dia menyebut entitasnya adalah perusahaan alih daya sehingga pungutan uang dibutuhkan untuk proses penyaluran tenaga kerja.
”Iya (ada pungutan uang), terus kenapa? Karena kami penyedia jasa. Outsourcing,” katanya. Richard juga memastikan, perusahaannya memiliki perjanjian kerja sama dengan banyak perusahaan.