Lembaran Perjanjian Lemahkan Pelamar Kerja
Berbekal dokumen perjanjian yang timpang, sindikat penyalur tenaga kerja justru leluasa ingkar janji ke pelamar.
Bagian ke-3 dari 19 tulisan
JAKARTA, KOMPAS - Sejumlah sindikat tidak hanya bersiasat untuk meminta uang jutaan rupiah ke pencari kerja sebagai biaya jaminan. Mereka juga menggiring pelamar menandatangani perjanjian yang sarat ketimpangan relasi kuasa.
Salah satu perjanjian yang melemahkan pencari kerja dibuat PT KTT, perusahaan penyalur tenaga kerja dengan kantor pusat di Kalideres, Jakarta Barat. Lembaga penempatan tenaga kerja swasta (LPTKS) itu menjebak pencari kerja dengan pancingan lowongan kerja fiktif di internet. Tujuannya, pelamar membayar uang Rp 1,7 juta setelah termakan janji kerja bergaji menarik.
Tim Investigasi Harian Kompas memperoleh dokumen perjanjian di akhir Juli 2024 dengan menyamar menjadi pencari kerja. Proses wawancara hingga tanda tangan perjanjian berjalan di kantor PT KTT cabang Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.
PT KTT setidaknya memakai dua cara agar pencari kerja mau menandatangani dokumen perjanjian. Pertama, iming-iming pasti kerja dengan gaji sesuai upah minimum setempat. Kedua, memberikan penjelasan lisan yang berbeda dengan tulisan di dokumen, sehingga pelamar tidak menyadari bahwa daya tawar mereka jadi lebih rendah dengan menandatangani perjanjian itu.
Baca juga : Berharap Memperbaiki Nasib, Berujung Duit yang Raib
Selain itu, staf PT KTT diduga terus mengalihkan perhatian pelamar agar tidak sempat mencermati pasal demi pasal secara kritis. Pelamar tidak diberi kesempatan untuk membaca sendiri isi perjanjian sebelum tanda tangan. Lalu, perjanjian segera dilipat dan dimasukkan dalam amplop bersegel, kemudian kantor cabang menginstruksikan pelamar sambil membawa surat itu buru-buru ke kantor pusat di Kalideres, Jakarta Barat.
Sampai di Kalideres, perjanjian yang hanya satu rangkap tersebut tidak dikembalikan ke pelamar. Alasannya, dokumen itu jadi arsip kantor pusat. Padahal, isi dalam perjanjian itulah yang jadi dasar kantor pusat PT KTT mengingkari janji kantor cabangnya.
Sebagai contoh, pelamar baru sadar bahwa mereka belum pasti kerja, dan gaji awal tidak sesuai upah minimum. Mereka harus ikut tes lagi di tempat kerja lain, sesuai pilihan penempatan. Jika gagal tes masuk, mereka harus kembali ke PT KTT di Kalideres untuk mengambil penawaran kerja lain.
Selain itu, uang jaminan Rp 1,7 juta yang dibayarkan pelamar di kantor cabang tidak bisa dikembalikan jika pelamar diterima kerja. Padahal, kantor cabang menyebut, uang jaminan dikembalikan setelah pelamar mendapat gaji pertama.
Ketika pembekalan, staf kantor itu menyampaikan, uang jaminan baru kembali seandainya pelamar gagal di tiga kali percobaan penempatan kerja. Hal ini tidak disampaikan di kantor cabang.
Saat pencari kerja mencoba mencuri waktu untuk mengamati isi perjanjian di sela-sela pembekalan justru malah ditegur oleh staf penyalur kerja itu. Padahal, pelamar tidak punya kesempatan membaca lagi karena dokumen ditahan PT KTT. “Perhatikan di sini dulu. Itu (baca perjanjian) gampang itu,” kata staf itu memarahi pelamar.
Baca juga: Kalah Bersaing, Ribuan Penggilingan Padi Mati
Pembatalan perjanjian
Tanpa diketahui pihak perusahaan, Kompas mendokumentasikan surat perjanjian dengan PT KTT sebelum dokumen itu ditahan di Kalideres. Setelah itu, kami berkonsultasi dengan pengajar hukum ketenagakerjaan Universitas Padjadjaran Bandung, Holyness N Singadimedja, untuk membedah pasal demi pasal.
Holyness mendapati kejanggalan sejak dari kop perjanjian. Perusahaan seperti krisis identitas, karena isi pasal menunjukkan mereka berperan sebagai LPTKS, tetapi pada kop bertuliskan: “Surat Perjanjian Pengguna Jasa Penyedia Seminar/LPK dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri.”
Merujuk pasal 5 di perjanjian, permintaan uang Rp 1,7 juta ke pelamar juga ditulis sebagai biaya administrasi untuk seminar, lembaga pelatihan kerja (LPK), dan jasa fasilitator. Jasa LPTKS dan LPK tidak boleh dicampuradukkan. Peran LPTKS sebatas menghubungkan pencari kerja dengan pemberi kerja, tidak sampai memberi tambahan kecakapan seperti LPK.
Permintaan biaya administrasi ke pencari kerja pun melanggar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sebab, LPTKS tidak diperbolehkan memungut biaya dengan dalih apapun ke pencari kerja.
Pasal 4 huruf b perjanjian menurut Holyness bisa membuat batal demi hukum. Sebab bunyinya, pihak pertama berhak mengubah posisi pekerjaan yang dilamar dari pihak kedua sesuai dengan kemampuan pihak kedua menurut kebijakan pihak pertama.
Holyness yang pernah menjadi anggota Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Barat 2021-2024 menilai, perjanjian itu membuat perusahaan penyalur tidak ada ikatan tanggung jawab kepada pencari kerja, padahal ada pemberian uang.
Jika memang itu perjanjian untuk menempatkan tenaga kerja, mestinya ada kejelasan terkait perusahaan yang jadi pemberi kerja, bagaimana perjanjian kerja sama antara LPTKS dan pemberi kerja, dan harus ada kepastian terkait posisi.
Salah satu siasat PT KTT yaitu penjelasan lisan manajer PT KTT cabang Tambun Selatan yang berbeda dengan versi tertulis. Tujuannya, meyakinkan pelamar bahwa pekerjaan sudah “di tangan” dan uang Rp 1,7 juta pasti dikembalikan. Maka, pelamar makin bersedia membubuhkan tanda tangan.
Pasal 2 menyebutkan, jangka waktu perjanjian selama 30 hari tetapi tak sedikit pun mengungkit uang jaminan. Namun, manajer itu menyatakan itu jangka waktu penjaminan uang yang pasti dikembalikan setelah pelamar bekerja dan menerima gaji pertama.
Ketika dikonfirmasi, Richard perwakilan dari PTT Kalideres, menyangkal bahwa PT KTT menjebak para pelamar kerja. Dia mengakui, perusahaan memungut biaya Rp 1,7 juta kepada para pekerja karena dibutuhkan untuk biaya penyaluran kerja.
Baca juga: Perantara Menguasai Rantai Pasok Gabah Petani
Merasa ditipu
Ellia (18), bukan nama sebenarnya, warga Jakarta Utara yang pernah menjadi pelamar kerja lewat PT KTT, mengakui bahwa ia merasa ditipu. Perjanjian yang jadi dasar penempatan kerja pun tidak pernah benar-benar disepakatinya.
"Sesudah tanda tangan kontrak, semua kayak diburu-buru. Aku enggak dikasih kesempatan untuk baca isi kertas itu," ucapnya, Selasa (20/8/2024).
Ellia yang semula mendaftar untuk restoran bernama Midori Genki malah harus melalui pembekalan dari PT yang menjadi penyalur tenaga kerja. Bahkan, penempatan kerja bukan mengarah ke restoran Midori Genki, melainkan ke restoran lain di Sunter, Jakarta Utara, yang gajinya hanya berkisar Rp 2 juta per bulan. Sebelumnya, dia dijanjikan gaji di atas Rp 3 juta per bulan.
Modus perjanjian yang melemahkan posisi pelamar kerja juga diterapkan perusahaan penyalur tenaga kerja lain, PT PSL. Kompas mendapatkan dokumen perjanjian usai wawancara di Daan Mogot, Jakarta Barat. Di sana, pelamar juga diminta membayar uang jaminan Rp 1,45 juta.