Kasus Pembunuhan Tinggi di Daerah Tertinggal
Apa benar semakin tertinggal suatu daerah, semakin banyak pembunuhan?
Polisi melakukan olah tempat kejadian perkara dalam kasus pembunuhan seorang warga yang berprofesi sebagai penjual makanan di Deikai, Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan, Senin (20/2/2023).
[Tulisan 6 dari 15]
JAKARTA, KOMPAS – Tingkat pembunuhan yang tinggi banyak terjadi di daerah dengan Indeks Pembangunan Manusia atau IPM yang relatif rendah. Rendahnya tingkat pendidikan, kualitas hidup, hingga kesehatan dinilai menjadi kondisi di mana pembunuhan lebih mudah terjadi. Di kondisi semacam ini warisan budaya kekerasan masih tumbuh subur.
Analisis Tim Jurnalisme Data Harian Kompas mengungkapkan, ada korelasi negatif menengah (0,4) antara tingkat kasar pembunuhan dan IPM per provinsi. Artinya, semakin rendah angka IPM, semakin tinggi tingkat pembunuhan di provinsi tersebut.
Skor IPM Provinsi Papua tahun 2022 dengan angka 66,72 merupakan paling rendah di antara provinsi lain di Indonesia. Provinsi ini ternyata juga menjadi provinsi dengan tingkat pembunuhan tertinggi kelima di Indonesia (0,9 pembunuhan per 100.000 penduduk).
Guru Besar Sosiologi Universitas Cenderawasih Avelinus Lefaan mengungkapkan, faktor penyebab pembunuhan di Papua hampir serupa dengan daerah lain di Indonesia. Ketimpangan sosial, pendidikan, ekonomi, menjadi faktor pemicu, khususnya di daerah-daerah perkotaan. ”Seperti wilayah lain, daerah perkotaan di Papua juga marak terjadi pembunuhan karena ketimpangan ini. Apalagi dengan kondisi lapangan kerja terbatas yang melahirkan kecemburuan sosial sehingga potensi kriminal yang berakhir pembunuhan semakin tinggi pula,” ujar Avelinus.
Sementara itu, tingginya persentase pembunuhan di Papua berkaitan situasi konflik politik yang terjadi di berbagai daerah di Papua dalam puluhan tahun terakhir. Di sisi lain, ketimpangan sosial, pendidikan, dan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari konflik politik ini.
Berdasarkan catatan Polri, Sepanjang 2023, ada 209 peristiwa kekerasan kriminal bersenjata dan politik di wilayah Papua. Dari kejadian tersebut, sebanyak 79 orang tewas, terdiri dari 37 warga sipil, 20 prajurit TNI, dan 3 anggota Polri. Di sisi lain, ada 19 anggota kelompok kriminal bersenjata yang tewas.
Provinsi lain yang juga memiliki kondisi hampir serupa adalah Sumatera Selatan. Provinsi ini angka IPM-nya 72.48, lebih rendah ketimbang rata-rata nasional di angka 73,77. Sumsel pun masuk lima besar provinsi dengan jumlah pembunuhan tertinggi menurut Statistik Kriminal 2023 oleh BPS.
Ketimpangan ekonomi, kondisi sosial-budaya yang memicu watak keras, ditambah penyalahgunaan narkoba, dan kecanduan judi daring dinilai sebagai faktor pendorong.
Baru-baru ini, masyarakat Sumsel dihebohkan oleh kasus pembunuhan karyawan koperasi, Anton Eka Saputra (25), yang jasadnya ditemukan dicor di dalam ruko yang menjual pakaian di kawasan Maskarebet, Palembang, Sumsel, Rabu (26/6/2024).
Menurut polisi, pembunuhan itu direncanakan oleh terduga pelaku utama sekaligus pemilik toko pakaian, An (33). Ia dibantu karyawan toko sekaligus keponakan istrinya, Ke (21) dan teman kos Ke, Po (23). Mereka melakukan perbuatannya dengan sadis. Setelah menganiaya korban berulang-ulang hingga kehilangan nyawa, para lalu pelaku menyembunyikan jasad korban dengan cara dicor.
Kriminolog dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang, Derry Angling Kesuma, mengatakan, fenomena pembunuhan di Sumsel dipengaruhi tiga faktor, yakni lingkungan yang tidak baik atau daerah dengan tingkat kriminalitas tinggi, impitan ekonomi, dan ketidakstabilan emosi atau emosi yang sulit dikontrol.
Secara tidak langsung, ini membuat masyarakat setempat terbiasa melihat perbuatan kriminal yang kemudian terekam dalam pikiran alam bawah sadar sehingga berpotensi besar ditiru dan terus berulang secara turun-temurun.
Ketimpangan ekonomi di Sumsel tecermin lewat data Badan Pusat Statistik (BPS) Oktober 2023. APBD Sumsel 2022 mencapai Rp 9,9 triliun yang menempatkan Sumsel sebagai provinsi terkaya ketiga di Sumatera setelah Aceh dengan 13,35 triliun dan Sumatera Utara (12,01 triliun), serta urutan kesembilan dari total 34 provinsi.
Meski demikian, data BPS per Maret 2023 menunjukkan, persentase penduduk miskin di Sumsel mencapai 11,78 persen atau tertinggi ketiga di Sumatera, setelah Aceh (14,45 persen) dan Bengkulu (14,04 persen). Secara nasional, persentase penduduk miskin di Sumsel berada di urutan ke-10 dari total 34 provinsi.
Terkait keterbatasan ekonomi, Tim Jurnalisme Data Harian Kompas juga menemukan adanya korelasi positif antara kemiskinan dengan tingkat pembunuhan per 100.000 penduduk.
Relasi positif berarti, tingkat kemiskinan dan tingkat pembunuhan akan bergerak searah. Semakin meningkat tingkat kemiskinan, kasus pembunuhan juga akan semakin banyak. Korelasi antara dua parameter ini berkekuatan sedang.
Tingginya angka pembunuhan, menurut guru besar sosiologi FISIP Universitas Sriwijaya, Alfitri, tidak bisa hanya diselesaikan lewat jalur hukum, melainkan butuh upaya komprehensif. Pendidikan masyarakat di daerah rawan kriminalitas harus ditingkatkan agar mereka terbiasa berpikir lebih panjang sebelum berniat melakukan kejahatan.
Peran lembaga masyarakat mulai dari tingkat pemerintahan terendah harus kembali dihidupkan untuk mencegah warga melakukan kejahatan. Lembaga itu juga bisa berfungsi untuk menyelesaikan permasalahan antarwarga sebelum terjadi tindakan di luar batas hukum.
”Tentu harus ada pula upaya peningkatan ekonomi masyarakat,” kata Alfitri.
Warisan konflik
Tingkat pembangunan yang tertinggal bisa menjadi latar masih suburnya budaya kekerasan tumbuh di masyarakat.
Misalnya, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang menjadi salah satu provinsi dengan tingkat IPM paling rendah di Indonesia dengan skor 66,72, juga akrab dengan konflik antarwarga yang menurun.
Salah satu manifestasi budaya kekerasan ini adalah munculnya konflik antarwarga. Warga dari dua kampung yang pernah terlibat konflik lahan, bertemu di batas wilayah ulayat. Mereka dilengkapi tombak, parang, panah, hingga senjata api, lalu bertempur habis-habisan hingga korban pun berjatuhan.
Di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, perang kolosal semacam itu masih terjadi hingga tahun 2013. Akar konfliknya hampir selalu sama, kasus sengketa lahan yang berlangsung bertahun-tahun.
"Bagi orang Adonara, lahan adalah bagian dari harga dirinya. Mereka mempertahankan setiap jengkal tanah hingga titik darah penghabisan,” kata budayawan Adonara, Michael Boro Bebe.
Konflik lahan masih terjadi hingga saat ini, dan kerap diwarnai pembunuhan, yang kini lebih banyak terjadi secara orang per orang ataupun keluarga.
Sosiolog dari Universitas Nusa Cendana, Lasarus Jehamat berpendapat, fenomena pembunuhan merupakan salah satu indikasi anomie atau penyimpangan sosial dengan adanya kealpaan norma atau aturan dalam masyarakat, serta faktor watak manusia.
"Hal ini terutama karena proses sosial yang salah. Permisivitas atas perilaku salah dan buruk bisa menyebabkan hukum bisa dan mudah dilanggar," katanya.
Menurutnya, data kasus pembunuhan di NTT fluktuatif, dan konflik lahan menjadi penyebab dominan tindakan pembunuhan. Itu berarti, ada soal besar di aspek legalitas lahan. Kesadaran hukum dan kontrol sosial mesti diperkuat agar tidak terjadi lagi pembunuhan.
Budaya merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap intensitas terjadinya pembunuhan. Kepala Badan Reserse Kriminal Polri (2018-2019) Komisaris Jenderal (Purn) Arief Sulistyanto menilai, dari pengalamannya, ada pengaruh budaya dalam tingginya kasus pembunuhan.
Sebagai contoh, ada sejumlah daerah yang memang secara tradisional memiliki tradisi kekerasan, seperti carok di Madura, siri di Sulawesi Selatan, hingga tujah di Sumatera Selatan.
”Kalau pembunuhan yang spontan begitu memang karakter dan sifat si pelaku ini yang keras. Bisa dilihat juga setelah itu ke budayanya, latar belakang, ekonomi, pergaulan dan seterusnya,” kata Arief saat diwawancarai di Jakarta, Kamis (11/7/2024).