Pelaku pembunuhan sebagian besar memang mengenal korban, tetapi belum tentu dekat secara personal dengan korban.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, SRI REJEKI, RATNA SRI WIDYASTUTI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ungkapan ”pembunuhan selalu dilakukan orang terdekat” ternyata tidak selalu benar. Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menemukan fakta, sebanyak 75,9 persen korban dari seluruh data yang dianalisis kenal dengan pembunuhnya. Namun, bukan berarti pelaku adalah orang terdekat korban.
Pola relasi antara pelaku dan korban bervariasi, tergantung dari motif pembunuhan. Temuan fakta ini adalah hasil analisis 1.113 berkas putusan perkara pembunuhan pengadilan tingkat pertama pada 2022–2024. Dari seluruh kasus yang dianalisis melibatkan 1.013 nama korban dan 1.349 pelaku.
Penguasaan harta korban adalah satu-satunya motif di mana pelaku dan korban umumnya tidak saling mengenal. Dalam motif ini, sebanyak 46,8 persen kasus pembunuhannya melibatkan pelaku dan korban yang tidak saling mengenal.
Contohnya, di Medan, Sumatera Utara, seorang buruh harian lepas, Supriadi (34), membunuh seorang terapis pijat bernama Heni pada 28 September 2023 hanya untuk memiliki ponsel korban. Saat itu pelaku menjadikan korban sebagai target setelah melihat korban bermain ponsel di depan panti pijat. Keduanya tidak saling mengenal sebelumnya.
Sumatera Utara adalah provinsi dengan jumlah pembunuhan dengan motif penguasaan harta korban paling banyak. Dari 62 kasus pembunuhan yang dianalisis, sebanyak 9 kasus di antaranya terjadi di Sumatera Utara, lebih tinggi daripada Jawa Barat, yang berada di posisi kedua dengan jumlah pembunuhan 8 kasus.
Kategori pelaku adalah orang terdekat baru akurat disematkan untuk pembunuhan bermotif asmara dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sebanyak 52 dari 128 pembunuhan bermotif asmara yang dianalisis melibatkan pasangan suami-istri ataupun yang berpacaran.
Dalam kasus motif KDRT, 8 dari 12 pelaku adalah pasangan suami-istri, 4 sisanya adalah teman, kerabat, dan anggota keluarga inti korban yang membantu pelaku melakukan pembunuhan.
Para teman dan tetangga maut
Dari hasil analisis, kategori relasi yang tidak begitu ”dekat”, seperti tetangga, teman main, rekan kerja, dan sekadar kenal, ternyata tercatat sebagai pelaku pembunuhan yang paling banyak. Kategori ini menyumbang 44,4 persen atau 450 dari 1.013 pembunuhan yang dianalisis.
Pada kategori relasi teman dan kenalan, motif yang paling banyak dijumpai adalah emosi sesaat dan balas dendam. Dari 549 pembunuhan yang dilakukan teman atau kenalan, 294 pembunuhan atau 53 persen di antaranya bermotif emosi sesaat (185 pembunuhan) dan dendam (109 pembunuhan).
Kasus-kasus pembunuhan selama ini, menurut kriminolog dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Iqrak Sulhin, memperlihatkan bahwa pelaku dan korban cenderung saling mengenal. Ini karena selalu ada kaitan antara motif dengan masalah yang terjadi antara pelaku dan korban.
”Motif pembunuhan selalu berkaitan dengan masalah yang terjadi dalam hubungan interpersonal antara pelaku dan korban. Inilah mengapa pelaku adalah seseorang yang dikenal korban,” kata Iqrak, Senin (8/7/2024).
Kombinasi antara motif dan relasi yang paling banyak adalah pembunuhan bermotif emosi sesaat yang dilakukan oleh teman ataupun kenalan. Kombinasi ini berkontribusi sebesar 185 kasus atau 18,3 persen dari total pembunuhan yang terjadi.
Seperti terjadi pada Idrus (45) dan Asri (33), warga Bulukumba, Sulawesi Selatan. Keduanya pada 19 Juni 2022 pukul 23.00 Wita memukuli Saleh (66) begitu keras hingga korban perlu dirawat di rumah sakit dan meninggal dua hari kemudian.
Korban dianiaya karena marah-marah dan memaki pelaku ketika diingatkan agar tidak menggeber gas sepeda motor saat melintas di depan rumah milik Asri. ”Itu, kalau lewat jangan gas-gas motor. Jangan sampai tetangga mengira saya atau tamu saya yang gas-gas motor,” ujar Asri saat itu.
Namun, korban Saleh justru menantang. ”Apa tong kau ero’tongko?” ujar Saleh yang berarti ”Apa, kamu mau juga?” dalam bahasa Makassar. Saleh melanjutkan ocehannya. ”Nakke lebba pabuno!” ujarnya lagi yang berarti ”Saya ini sudah pernah membunuh”. Asri kemudian meminta bantuan Idrus. Saleh yang masih marah-marah memancing emosi Asri dan Idrus. Saleh pun dipukuli.
Kasus bermotif emosi sesaat ini ditemukan terjadi di 29 dari 34 provinsi. Sulawesi Selatan menjadi provinsi dengan jumlah kasus pembunuhan terbanyak yang dilakukan oleh teman ataupun kenalan dengan motif emosi sesaat.
Untuk relasi korban-pelaku yang merupakan kerabat, salah satu motif pembunuhan yang paling umum adalah balas dendam. Jawa Timur adalah provinsi dengan kasus pembunuhan bermotif dendam oleh kerabat yang paling banyak terjadi.
Dari total 19 kasus semacam itu, 4 kasus di antaranya terjadi di Jawa Timur. Salah satunya adalah ketika warga Probolinggo, Ahmad Hadi (24), membunuh Jamina (65) yang tak lain saudara dari nenek pelaku. Peristiwa terjadi pada 21 April 2022 pukul 18.30 WIB. Pelaku dan para saksi mengungkapkan, korban sering menghina pelaku, termasuk kondisi disabilitas Ahmad.
”Salah la tak endik tangan mak padeh bik bapak en, angkoh kiah, mangkanah alakoh,” ujar Jamina sebelum Ahmad memukul Jamina berkali-kali dengan kunci inggris.
Dalam bahasa Madura, kalimat tersebut berarti ”Kamu tidak punya tangan, kok sama persis kayak bapaknya, sama-sama angkuh, makanya kerja”, seperti yang tertulis dalam berkas perkara.
”Self disclosure”
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Suryanto sepakat bahwa sebagian besar pelaku pembunuhan mengenal korbannya. Pembunuhan terhadap orang-orang terdekat, seperti keluarga inti, rata-rata lebih banyak terkait persoalan emosional.
Suryanto melihat banyak pelaku memiliki problem emosional ataupun sakit hati dan pada titik tertentu, dia tidak lagi memiliki daya tahan untuk mengendalikan diri.
”Bagaimanapun keluarga dekat itu kan ada ikatan emosional, ikatan nyawa batin, sehingga mereka sebenarnya tidak tega untuk sesuatu yang berlebihan. Oleh karena itu, kalau itu sampai terjadi, itu adalah titik yang mungkin sudah pada batas kesabaran yang paling tinggi,” ujar Suryanto.
Untuk menghindari kondisi tersebut, menurut Suryanto, seseorang harus lebih banyak melakukan semacam pengungkapan diri (self disclosure) demi menghindari risiko melakukan tindakan fatal, seperti pembunuhan.
Pengungkapan diri yang ia maksud adalah menceritakan permasalahan yang sedang dihadapi kepada orang-orang terdekat. Dengan begitu, sebelum permasalahan makin pelik dan menyebabkan individu tersebut melakukan tindakan drastis, seperti melakukan pembunuhan, bisa diintervensi.
”Kalau ada yang mengalami permasalahan, mau tidak mau, orang di sekitarnya akan bisa ’mencium aromanya’. Jika situasinya kritis, ia perlu segera mencari pertolongan kepada yang lebih ahli,” katanya.