Kasus Pembunuhan Global: Ekonomi Lemah, Pembunuhan Bertambah
Semakin buruk kondisi perekonomian di suatu negara, kasus pembunuhan makin subur.
[Tulisan 12 dari 15]
”Setiap kematian akibat kekerasan dapat dicegah dan merupakan tanggung jawab moral kita bersama untuk mencapai tujuan ini. Berdasarkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 16.1, saya mengundang setiap negara anggota untuk mempertimbangkan target ambisius mengurangi separuh tingkat kematian akibat kekerasan di masyarakat masing-masing pada 2030.”
Demikian pesan Sekretaris Umum PBB António Guterres dalam laporan Kajian Global tentang Pembunuhan 2023 yang diterbitkan Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC).
Tindak pembunuhan patut mendapat banyak perhatian. Berdasarkan data UNODC, rata-rata 440.000 nyawa hilang sepanjang 2019-2021 akibat pembunuhan. Bandingkan dengan konflik dan terorisme yang setiap tahun ”hanya” menghilangkan masing-masing 94.000 dan 22.000 jiwa.
Di Indonesia, tingkat pembunuhan pada 2019, menurut WHO, mencapai 4,3 per 100.000 penduduk. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata tingkat pembunuhan di Asia Tenggara yang sebesar 3,8 per 100.000 penduduk.
Dalam dunia kejahatan, pembunuhan dianggap sebagai the queen of crime atau mother of crime. Sebutan ini disematkan mengingat pembunuhan dianggap sebagai kejahatan paling serius karena menghilangkan nyawa orang secara sengaja dengan berbagai motif dan tujuan.
Menurut kriminolog FISIP UI, Adrianus Meliala, dalam statistik kejahatan, pembunuhan sering dianggap sebagai indikator dari tinggi rendahnya ataupun serius tidaknya konteks kejahatan di suatu masyarakat.
Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggarisbawahi bahwa terjadinya pembunuhan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh berbagai faktor, seperti individu, hubungan, komunitas, dan masyarakat. Kondisi sosial ekonomi juga memengaruhi tingkat pembunuhan.
Relasi pembunuhan dan kondisi ekonomi
Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menemukan, adanya hubungan antara tingkat pembunuhan dan kondisi sosial ekonomi setiap negara. Indeks gini yang menjadi ukuran ketimpangan pendapatan atau distribusi kekayaan menunjukkan korelasi positif dengan tingkat pembunuhan.
Artinya, ada keselarasan arah antara dua variabel yang dibandingkan, yakni indeks gini, dan tingkat pembunuhan. Semakin tinggi indeks gini, semakin tinggi pula tingkat pembunuhan. Angka tingkat pembunuhan dihitung dari jumlah kasus per 100.000 penduduk.
Berkebalikan, hubungan negatif ditunjukkan antara pendapatan per kapita dan tingkat pembunuhan. Artinya, semakin tinggi pendapatan per kapita suatu negara, semakin rendah tingkat pembunuhan di negara tersebut.
Korelasi negatif juga ditunjukkan antara tingkat pembunuhan dan indeks pembangunan manusia (IPM) meskipun intensitasnya sedang. Semakin tinggi IPM suatu negara, tingkat pembunuhan cenderung menurun.
Singapura, Jepang, dan Swiss adalah contoh beberapa negara dengan skor IPM tinggi, tetapi jumlah pembunuhan per 100.000 penduduknya sangat rendah. Ini berkebalikan dengan Haiti dan Jamaika, dua negara dengan tingkat pembunuhan tinggi dan skor IPM rendah.
Impitan ekonomi mendorong Mohammad Jerry Agung (25) nekat menghabisi nyawa orang lain. Semula, warga Tegal, Jawa Tengah, ini hendak bunuh diri akibat tertekan karena tidak kunjung punya uang untuk berlebaran dengan keluarga.
Pria yang berprofesi sebagai pedagang ini sempat membeli 500 gram racun potasium secara daring untuk mengakhiri hidupnya. Namun, niat itu ia urungkan setelah teringat nasib keluarganya kelak jika ia tiada.
Suatu kali, ia berkenalan dengan Wandana di media sosial dan melihat lewat foto, pria itu punya sepeda motor. Jerry lalu memancing kedatangan Wandana dengan iming-iming uang Rp 200.000 dengan maksud menguasai sepeda motornya. Pada 22 April 2023 pagi, Wandana datang ke rumah kontrakan Jerry dan disuguhi kopi yang diam-diam sudah dicampur dengan racun potasium, seperti tertulis dalam salinan putusan Nomor 58/Pid.B/2023/PN Tgl. Wandana pun menemui ajalnya. Akibat perbuatannya, Jerry diganjar 12 tahun penjara.
Butuh perhatian
Semua kejahatan, termasuk pembunuhan, tidak terjadi karena faktor tunggal. Meskipun ada satu faktor dominan, pasti ada faktor lain yang juga memengaruhi terjadinya suatu kejahatan. Hal ini disampaikan Sarwirini, dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Menurut dia, dari perspektif ekonomi, jika kondisi ekonomi seseorang kurang, orang itu akan lebih mudah stres. Mereka yang berasal dari kalangan ekonomi rendah cenderung mentalnya mudah jatuh. ”Ekonomi bisa menyebabkan tekanan. Itu yang sering kali jadi pemicu tindak kejahatan,” kata Sarwirini.
Hal senada disampaikan Hartati Sulistyo Rini, sosiolog Universitas Negeri Semarang. Menurut dia, terjadinya suatu peristiwa yang menimpa seorang individu tidak bisa dilepaskan dari lingkungan sosialnya karena individu tersebut adalah bagian dari masyarakat. Adanya korelasi positif antara tingkat kemiskinan dan tingkat pembunuhan, menurut dia, membutuhkan perhatian dari pemangku kebijakan.
”Mereka yang memiliki wewenang dan kekuasaan perlu memikirkan bagaimana distribusi kebijakan bisa membantu problem ekonomi masyarakat, seperti kemiskinan. Misalnya, potensi apa yang bisa dikembangkan di suatu daerah dan kebijakan apa yang bisa mendukung mereka,” kata Hartati.
Pengaruh korupsi
Selain korelasi antara tingkat pembunuhan dengan indeks gini dan pendapatan per kapita, hasil olah data Tim Jurnalisme Data Harian Kompas juga menemukan adanya hubungan antara tingkat pembunuhan dan indeks persepsi korupsi. Di negara-negara yang relatif bersih dari korupsi, tingkat pembunuhannya juga kecil.
Dalam konteks sosiologi, menurut Hartati, korupsi adalah penyelewengan kebijakan, kekuasaan, dan kewenangan. Misalnya, penyelewengan di bidang ekonomi yang menyebabkan masyarakat sulit mendapatkan pekerjaan atau hidup layak yang pada ujungnya meningkatkan tingkat kriminalitas, termasuk pembunuhan.
”Perlu ada variabel yang menghubungkan antara tingkat pembunuhan dan korupsi. Tetapi, kalau kita lihat di data ini, kan, negara maju, seperti Swiss, rendah sekali tingkat pembunuhannya. Orang-orang di sana sudah terpenuhi kebutuhannya ditambah penegakan hukum yang baik sehingga orang tidak terpikir untuk berbuat kriminal,” kata Hartati.
Sementara Sarwirini memandang, korupsi adalah masalah yang disebabkan oleh ketidakadilan di bidang ekonomi. Pelakunya banyak dari kalangan elite yang pemidanaannya sering kali terlalu ringan. Bahkan, setelah selesai dipenjara, sang koruptor masih bisa mendapatkan jabatan yang enak.
”Mungkin tidak ada korelasi langsung, tetapi ada pengaruhnya. Jadi, orang itu melihat, wong koruptor aja boleh seenaknya. Berarti yang lain juga boleh seenaknya. Jadi, tidak ada panutan di masyarakat,” kata Sarwirini.