Gelap Mata Membunuh akibat Harta
Keinginan menguasai uang dapat memanipulasi dan membuat seseorang kehilangan kemanusiaannya.
[Tulisan 7 dari 15]
Entah apa yang ada di hati dan pikiran Herman (45). Pria ini diduga membunuh AL (17), keponakan yang seharusnya ia lindungi. Herman tak segan memerkosa AL, yang masih pelajar di Mesuji, Lampung. Jasad AL ditemukan tergeletak di parit perkebunan karet dengan baju seragamnya, Selasa (28/5/2024).
Minimnya saksi dan barang bukti di sekitar lokasi kejadian membuat proses penyelidikan berlangsung lama. Polisi akhirnya mengungkap pelaku dari kamera pengintai sepanjang jalan dari sekolah korban ke lokasi pembunuhan. Dari rekaman kamera, korban terlihat berboncengan sepeda motor bersama Herman, pamannya.
Setelah ditangkap polisi, Herman mengaku membunuh AL karena punya utang ratusan juta rupiah yang harus segera dibayar. Ia mengaku hanya mengambil uang tunai Rp 200.000 dari tas AL. ”Motif sementara kejadian ini adalah ekonomi. Pelaku ingin menguasai uang korban,” kata Kepala Subdirektorat III Kejahatan dan Kekerasan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Lampung Komisaris Ali Muhaidori.
Pembunuhan yang dilakukan Herman tergolong tidak biasa. Sesuai data analisis, pelaku yang ingin menguasai harta korban biasanya tidak punya hubungan keluarga dengan korban. Analisis ini merujuk temuan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas terhadap 1.113 berkas putusan perkara pembunuhan di pengadilan tingkat pertama 2022-2024.
Minta tebusan
Kasus serupa terjadi pada 2021 di Tarakan, Kalimantan Utara. Edy Guntur (24) membunuh Arya Gading (19), sepupunya sendiri, dibantu istri pelaku, Afrilia, dan teman mereka bernama Mendila (46). Edy awalnya hanya berniat menculik Arya guna meminta uang tebusan Rp 200 juta kepada ibu korban. Karena pelaku telanjur menganiaya korban, Mendila menyarankan Edy membunuh korban guna menghilangkan jejak.
”Ini adik (sepupumu) sudah luka-luka. Terus, kalau dia lepas, tetap juga kita dipenjara, nda lama kita dibunuh bapakmu ini. Bagaimana kalau kita hilangkan jejak?” kata Mendila. Edy menyetujui. Setelah disekap semalaman, korban dijerat dengan kabel lalu dadanya ditusuk dengan pisau badik oleh Edy dan Mendila.
Edy mengaku dalam kondisi gelap mata karena butuh uang. Ia harus mengembalikan uang Rp 20 juta yang dipinjam dari orangtuanya sendiri, tetapi kemudian habis untuk judi. Istri pelaku, Afrilia, sempat bertanya kepada Edy terkait, menurut rencana, menculik korban. ”Kau tidak kasihan kah sama Gading,” tanya Afrilia.
Namun Edy tidak peduli. ”Aku bingung cari uang di mana,” jawabnya. Edy baru tertangkap 1,5 tahun setelah pembunuhan. Ia divonis hukuman mati pada 31 Agustus 2023.
Kesehatan jiwa runtuh bersama ekonomi
Kedamaian di Kampung Sindanglaya, Desa Cisontrol, Kecamatan Rancah, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat terusik, Jumat (3/5/2024) pagi. Warga digegerkan ulah Tarsum (51) yang menenteng potongan tubuh manusia. Dengan kaos berwarna coklat berlumuran darah, ayah dua anak ini berjalan santai seperti tanpa beban. “Bisi arek daging dijual murah, daging si Y,” kata Tarsum dalam bahasa Sunda ke warga lain.
Warga kaget bukan kepalang. Tarsum membawa bagian tubuh Y, istrinya sendiri. Warga lantas menghubungi aparat desa dan polisi. Tidak sampai sejam, mereka meringkus Tarsum. Meski sempat melawan, Tarsum berhasil dibekuk. Namun, dia masih tersenyum saat dibawa ke Markas Polres Ciamis.
Dari penyidikan polisi dan pemeriksaan lebih dari lima saksi, Tarsum membunuh wanita berusia 42 tahun itu setelah keduanya bertengkar. Karena kesal, Tarsum bahkan menghabisi istrinya di pinggir jalan yang berjarak 10 meter dari rumah.
Korban Y yang saat itu hendak mengikuti pengajian, dipukul kepalanya hingga tewas. Tarsum lalu memutilasinya dengan pisau. Saat itu, Tarsum tengah kalut. Usaha jual beli kambing yang dirintisnya dua tahun terakhir bangkrut. Utang modal usaha di bank menumpuk hingga ratusan juta rupiah.
Beban yang ditanggungnya bisa jadi lebih berat dari yang terlihat sehingga dia nekat membunuh orang terdekatnya. Atas perbuatannya, Tarsum dijerat pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dengan hukuman penjara maksimal 15 tahun. Kehangatan yang dulu mungkin ada dalam keluarga Tarsum-Y kini lenyap akibat tragedi ini. Sosok ayah yang di penjara, dan ibu yang mati di tangan sang ayah, meninggalkan trauma mendalam bagi anak-anaknya.
Tiga kasus di atas pelakunya adalah laki-laki. Jika melihat hasil analisis, laki-laki memang jauh lebih banyak terlibat dalam pembunuhan ketimbang perempuan. Analisis Kompas mengungkap, dari 1.349 pelaku yang terlibat dalam 1.013 pembunuhan yang dianalisis, sebanyak 1.322 orang atau 98 persen adalah laki-laki. Persentase perempuan hanya 2 persen (27 orang).
Banyaknya pelaku pembunuhan yang berjenis kelamin laki-laki dipicu adanya stereotip maskulinitas laki-laki. Pegiat kesehatan mental laki-laki, Ashandi Triyoga Prawira, mengungkapkan, stereotip maskulinitas yang cenderung tradisional, dapat memengaruhi pikiran laki-laki dalam memproses emosi sehingga memengaruhi tindakannya. Jika berlebihan, ini dapat menjadi toksik dan berubah menjadi maskulinitas yang berbahaya.
”Harmful masculinity ( maskulinitas berbahaya) ini adalah dominansi yang secara naluriah dan biologis dimiliki laki-laki, ” tambah dia.
Menurut Ashandi, semua orang perlu berkontribusi untuk membentuk masyarakat yang berempati agar tercipta ruang yang aman untuk memproses pikiran dan perasaan. Menurut dia, orang-orang yang reaktif bisa jadi adalah orang-orang yang terluka batinnya. Untuk itu diperlukan lebih banyak empati untuk memahami satu sama lain sejak sekarang. Menyediakan empati untuk orang lain sebenarnya menyiram empati kepada diri sendiri.
”Jadi, tiap orang memiliki kapasitas untuk mengelola kesehatan mentalnya, atau kesehatan jiwanya masing-masing,” tegas Ashandi.
Ashandi mendorong pemerintah membuat kerangka pembelajaran emosional sosial atau Social Emotional Learning (SEL) di lembaga pendidikan.
SEL diadopsi negara-negara seperti Finlandia, Swedia, dan negara-negara Skandinavia lain. Integrasi antara pembelajaran akademik dan pembelajaran emosional sosial atau sering disebut sebagai CASEL atau Collaborative of Academic in Social Emotional Learning, perlu didorong agar generasi penerus memiliki kapasitas yang baik sejak dini.
Kesehatan mental belum merata
Sayangnya, aksesibilitas warga terhadap layanan kesehatan mental, seperti psikolog, belum merata. Berdasarkan data Ikatan Psikolog Klinis Indonesia, jumlah anggota organisasi tersebut per 2024 mencapai 4.206 psikolog klinis. Akan tetapi distribusinya belum merata. Secara nasional, rata-rata 1 psikolog menangani 65.000 orang.
Namun jika dilihat per provinsi, jumlahnya bervariasi. Di DI Yogyakarta misalnya, rasio penduduk per psikolog relatif rendah, yakni 1:10.421 penduduk. Rasio yang relatif mirip terlihat di DKI Jakarta, yakni 1 psikolog dibanding 17.653 penduduk.
Di sisi lain, di sejumlah provinsi seperti Sulawesi Barat dan Papua, angka rasionya melonjak tinggi. Di Sulawesi Barat, 1 psikolog menangani 486.200 orang sedangkan di Papua, rasionya 1 : 441.860. Aksesibilitas warga di daerah tersebut untuk mengakses fasilitas layanan kesehatan mental tentu lebih susah.
Korelasi antara tingkat pembunuhan dengan jumlah psikolog pun masih tidak selaras. Saat ini, korelasi antara jumlah psikolog dengan tingkat pendidikan menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik; Semakin tinggi kasus pembunuhan, semakin sedikit jumlah psikolog di daerah tersebut.
Disparitas aksesibilitas terhadap layanan kesehatan mental warga ini, menurut psikolog forensik Lucia Peppy, perlu mendapat perhatian. Diungkapkannya, tidak semua puskesmas di Indonesia memiliki layanan kesehatan mental.
Salah satu contoh baik adalah Provinsi DI Yogyakarta dengan setiap puskesmas memiliki layanan kesehatan mental. Ia menyayangkan daerah yang belum bisa menyediakan fasilitas serupa untuk warganya.
”Kalau ada akses layanan kesehatan mental, tentu bagus. Tetapi kalau tidak tersedia bagaimana? Di sejumlah provinsi, ada puskesmas yang menyediakan layanan kesehatan mental. Tetapi bagaimana untuk yang tidak ada?” tanyanya.