Tiga Jam Paling Berbahaya dalam Sehari
Tiga jam paling berbahaya dalam sehari adalah pukul 23.00-02.00. Pada selang waktu itu paling banyak terjadi pembunuhan.
[Tulisan 9 dari 15]
Pukul 23.00-02.00 menjadi waktu paling berbahaya dalam sehari. Di rentang waktu itu paling banyak terjadi pembunuhan. Temuan ini merujuk pada hasil analisis 1.013 kejadian pembunuhan yang diambil dari laman direktori putusan Mahkamah Agung periode 2022-2024.
Tim Jurnalisme Data harian Kompas menemukan, sebanyak 620 kasus di antaranya (61,2 persen) terjadi di malam hari, mulai pukul 18.00 hingga tepat sebelum pukul 06.00. Kebalikannya, hanya 38,8 persen atau 393 pembunuhan terjadi di siang hari.
Semakin malam semakin banyak pembunuhan terjadi. Periode tiga jam paling berbahaya dalam sehari antara pukul 23.00 dan pukul 02.00. Ada 194 pembunuhan atau seperlima dari total jumlah pembunuhan, terjadi dalam selang waktu tersebut.
Di sisi lain, periode waktu yang paling sedikit terjadi pembunuhan adalah antara pukul 05.00 dan pukul 08.00. Hanya terjadi 64 pembunuhan atau 6,3 persen dari 1.013 pembunuhan.
Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Utara, proporsi kejadian pembunuhan pada malam hari sebesar 85 persen. Di Provinsi Maluku dan Papua Barat, bahkan semua kasus pembunuhannya hanya terjadi pada malam hari.
Ini berkebalikan dengan Provinsi Jambi, Kalimantan Tengah, dan Nusa Tenggara Timur (NTT), yang catatan kasus pembunuhannya lebih banyak terjadi di siang hari. Misalnya, dari 57 pembunuhan di NTT, sebanyak 30 kasus di antaranya terjadi di siang hari.
Sementara di Sumatera Selatan, yang dalam konteks ini tercatat sebagai provinsi dengan jumlah pembunuhan terbanyak, yakni 104 kasus, proporsi waktu kejadiannya hampir merata, yakni 50:50. Sebanyak 52 pembunuhan terjadi di siang hari, dan 52 kasus lainnya terjadi pada malam hari.
Peristiwa yang menimpa Munim bisa menjadi contoh. Lukman (30), warga Ogan Ilir, Sumatera Selatan, memutuskan untuk membunuh korban Munim pukul 23.30 WIB di sebuah warung tuak. Peristiwa yang terjadi Selasa (9/11/2021) ini, dipicu rasa tersinggung Lukman setelah ditegur korban agar tidak mengganggu satu sama lain.
Ade Naman (34) menunggu hingga pukul 22.30 sebelum akhirnya menuntaskan niatnya membunuh Mohamad Ota (50), warga Karawang, Jawa Barat, Jumat (21/1/2022). Ia ingin membantu Nurhayati (38), istri korban, yang mengeluhkan usia Ota yang sudah tua, tetapi tak kunjung meninggal. Ade diam-diam berpacaran dengan Nurhayati.
Senjata tajam
Selain banyak terjadi di malam hari, karakteristik lain kasus-kasus pembunuhan di Indonesia adalah mayoritas menggunakan senjata tajam. Dari 1.013 kasus pembunuhan, sebanyak 701 di antaranya (69,2 persen), pelaku menggunakan senjata tajam untuk menghabisi nyawa korban.
Benda atau alat lain yang juga banyak digunakan untuk membunuh adalah benda tumpul (11 persen), tangan kosong (9,6 persen), alat cekik (3,7 persen), senjata api (2,6 persen), lain-lain (2 persen), racun (1,6 persen), dan benda mudah terbakar (0,5 persen). Termasuk dalam kategori lain-lain adalah alat-alat pertanian atau pertukangan, seperti cangkul atau martil.
Senjata tajam paling banyak digunakan pelaku pembunuhan di Sumatera Selatan, dengan 89 kasus. Lalu disusul Sulawesi Selatan (65 kasus) dan Jawa Barat (64 kasus). Sumatera Selatan juga menjadi salah satu tempat pembunuhan dengan jumlah penggunaan senjata api tertinggi, setara Jambi (5 kasus). Di posisi ketiga, ada Sumatera Utara dengan tiga pembunuhan.
Di Sumatera Utara, pembunuhan paling banyak dilakukan dengan menggunakan benda tumpul (13 pembunuhan), disusul Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Jawa Barat, dengan masing-masing 12 kasus.
Alat cekik, seperti handuk, kabel, atau benda lain sebagai alat membunuh, paling banyak digunakan di Jawa Barat (5 kasus). Pembunuhan dengan tangan kosong, yang mayoritas dilakukan dengan cara mencekik, juga paling banyak ditemukan di Jawa Barat (16 kasus).
Seperti dalam pembunuhan yang terjadi 3 Maret 2023. Seorang warga Cimahi, Jawa Barat, Eko (33), menggunakan kerudung dan tali sepatu milik korban Kurnaesin (45) untuk mencekik dan membuat korban kehilangan kesadaran lalu memerkosanya. Korban akhirnya meninggal. Ia dibunuh karena memergoki Eko mencuri sejumlah uang dan barang miliknya.
Mudah diakses
Tingginya penggunaan senjata tajam, menurut kriminolog Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, terkait dengan kemudahan aksesibilitas terhadap senjata jenis itu. Senjata tajam tersedia di rumah-rumah penduduk. Ketika muncul situasi yang menekan diiringi naiknya emosi, senjata tajam, seperti pisau, bisa menjadi senjata yang mematikan.
Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Eliasta Meliala.
Di beberapa kelompok masyarakat juga masih lekat dengan budaya membawa senjata tajam. Misalnya, masyarakat Sumba yang ke mana-mana membawa senjata tajam. ”Membawa senjata sebagai budaya di sini lebih pada kelengkapan busana adat,” kata Adrianus, Rabu (10/7/2024).
Pendapat senada disampaikan sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Asep Suryana. Senjata tajam, menurut dia, menjadi simbol kekuasaan dan kejantanan dalam subkultur tertentu, terlebih di daerah yang pembangunannya masih terbatas.
Nilai harga diri, kejantanan, dan maskulinitas di subkultur tersebut tecermin lewat penggunaan senjata dan kekerasan, yang menjadi faktor utama motif pembunuhan di Indonesia, terutama terkait emosi sesaat dan kehormatan.
”Salah satu cara menunjukkan bahwa mereka jagoan adalah dengan membawa senjata tajam. Dengan kehidupan yang cenderung begitu-begitu saja, dia mengalami kejenuhan dan akhirnya butuh pengakuan dengan menjadi jagoan yang ke mana-mana membawa senjata,” kata Asep.