Rasa Aman Warga yang Kian Terkikis
Rasa aman warga untuk berjalan sendirian di area tempat tinggalnya menurun. Apakah kondisi memang tidak aman?
[Tulisan 14 dari 15]
Kejahatan selalu mengintai di mana pun. Bahkan, di sekitar area tempat tinggal, tindakan itu bisa terjadi. Kecemasan ini tergambar dalam dari angka penurunan rasa aman warga berjalan sendirian di area tempat tinggalnya sebesar 10 persen.
Merujuk data Proporsi Penduduk yang Merasa Aman Berjalan Sendirian di Area Tempat Tinggalnya tahun 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) terungkap, rata-rata nasional penduduk Indonesia yang merasa aman sebesar 62,62 persen atau turun 10,95 persen dibandingkan dengan tahun 2014.
Data publikasi tahun 2020 berdasarkan survei terhadap 67.280 rumah tangga di seluruh Indonesia dengan tingkat relative standard error (ukuran kesalahan standar) sebesar 0,49. Survei serupa pertama kali dilaksanakan pada 2014.
Pada 2014, rata-rata nasional penduduk Indonesia yang merasa aman sebanyak 73,57 persen. Enam tahun kemudian atau pada 2020, angkanya turun menjadi 62,62 persen. Pada periode waktu itu, persepsi rasa aman di banyak provinsi lebih banyak mengalami penurunan ketimbang yang mengalami kenaikan. DKI Jakarta, misalnya, mengalami penurunan terbesar (34,15 persen) dari semula 74,32 persen.
Sumatera Utara membuntuti dengan penurunan 20,02 persen, yakni dari 73,96 persen pada 2014 menjadi 53,94 persen di 2020. Adapun Sulawesi Tengah turun dari 72 persen menjadi 53,25 persen.
Hanya ada tiga provinsi yang proporsi rasa aman penduduknya meningkat pada 2020, yakni Bali, Papua, dan Sumatera Selatan. Ini pun kenaikannya tidak mencapai 5 persen. Pada 2014, sebanyak 77,06 warga Bali merasa aman berjalan sendirian. Pada 2020, proporsinya naik menjadi 81,9 persen atau meningkat 4,84 persen.
Proporsi warga Papua yang merasa aman juga meningkat pada 2020 dibandingkan pada 2014, yakni dari 64,72 persen menjadi 69,31 persen (naik 4,59 persen). Di Sumatera Selatan, kenaikannya hanya 1,82 persen, yakni dari 69 persen pada 2014 menjadi 70,82 persen pada 2020.
Warga Jakarta Selatan, Ari (32), mengungkapkan, beberapa tahun belakangan ia mulai mendengar lagi munculnya tindak kriminal di lingkungannya, seperti penjambretan. Namun, jika melihat jauh ke belakang, secara umum menurut dia, ruang publik Jakarta terasa semakin aman. ”Naik kendaraan umum sudah enggak takut lagi bakal ada preman, misalnya,” kata Ari.
Hasil analisis Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menunjukkan tingkat keselarasan data yang rendah antara proporsi rasa aman masyarakat dan catatan pembunuhan yang benar terjadi. Bisa jadi ini menunjukkan rasa aman yang dipersepsikan masyarakat tidak langsung berhubungan dengan tingkat pembunuhan yang terjadi di sekitar.
Persepsi atau kenyataan
Mengutip materi publikasi BPS, tingkat proporsi penduduk yang merasa aman berjalan sendirian ini selaras dengan indeks kriminalitas. Terlihat pada kasus DKI Jakarta yang memiliki proporsi penduduk dengan rasa aman terendah dibandingkan dengan provinsi lain.
Dalam publikasi berjudul Statistik Ketahanan Sosial 2020 tertulis, ”hasil Modul Hansos ini sejalan dengan indeks kriminalitas yang dirilis oleh Numbeo”. Menurut Numbeo, DKI Jakarta masuk dalam peringkat 100 besar kota paling berbahaya di dunia. Pada 2020, DKI Jakarta berada di peringkat 99 dengan Indeks kriminalitas sebesar 53,37.
Turunnya persentase warga yang merasa aman saat berjalan sendirian, menurut Guru Besar Ilmu Kriminologi Universitas Indonesia Adrianus Meliala, disebabkan beberapa faktor. Pertama, terpaan informasi dari media massa yang terkadang memunculkan asosiasi dengan kejadian-kejadian sebelumnya.
”Misal, dari berita kita tahu bahwa tahun lalu atau minggu lalu terjadi begal di sini. Timbul pikiran, jangan-jangan ada lagi sekarang,” kata Adrianus, Rabu (10/7/2024).
Faktor kedua adalah meningkatnya kejahatan di tempat umum yang sifatnya menyerang, seperti begal. Di tempat umum yang tidak berpenjaga lebih berpeluang terjadi tindak kejahatan hit and run atau ’tabrak lari’.
Faktor ketiga adalah pengalaman masa lalu. Jika seseorang punya pengalaman buruk di masa lalu terkait kejahatan, hal itu akan memengaruhi persepsinya di masa kini. Faktor keempat adalah lokasi. ”Misal, jika terbiasa di suatu kota lantas harus ke kota lain yang tidak familiar, akan timbul perasaan tidak secure,” katanya.
Rasa takut ini, menurut Adrianus, sebenarnya tidak faktual karena tidak benar-benar sedang menghadapi tindak kejahatan. Rasa takut yang timbul karena pengaruh berbagai faktor tadi, yang kemudian terakumulasi, akan melahirkan apa yang disebut fear of crime atau rasa takut pada kejahatan. ”Itulah yang sering terjadi di masyarakat,” katanya.
Pentingnya rasa aman
Di sisi lain, menjaga rasa aman, selain menjaga kondisi keamanan yang sesungguhnya, juga tidak kalah penting. Kepala Badan Reserse Kriminal Polri (2018-2019) Komisaris Jenderal (Purn) Arief Sulistyanto berpendapat, menjadi tugas utama otoritas, khususnya kepolisian, untuk menjaga rasa aman dan rasa adil.
Ini bisa dilakukan dengan pendekatan preemptif dan preventif, yakni menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan pelanggaran. Jika banyak terjadi pelanggaran hukum, menurut dia, artinya hukum tidak tegak.
Menurut Arief, dalam konsep penegakan hukum, tugas polisi mencakup tindakan preemptif, preventif, dan represif. Tindakan preemptif bertujuan menumbuhkan kesadaran masyarakat, sedangkan preventif melibatkan sosialisasi hukum agar masyarakat tahu aturan yang berlaku. Jika pelanggaran tetap terjadi, barulah diambil tindakan represif sebagai upaya terakhir.
Untuk itu, ditegaskan Arief, sentimen rasa aman yang dirasakan masyarakat juga penting, bukan sekadar memperhitungkan data keras angka kejahatan. Jika rasa aman tidak terbentuk, artinya tugas polisi menjaga masyarakat belum tuntas.
”Polisi harus memastikan masyarakat terbebas dari gangguan dan rasa khawatir. Penegakan hukum bukan hanya tentang menangkap si pelanggar, melainkan juga bagaimana hukum itu dipatuhi dan dihormati oleh anggota masyarakat lainnya,” tuturnya.