Rasio kewirausahaan Indonesia masih rendah. Faktor ”takut gagal” menjadi penghambat utama minat orang berwirausaha.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, SRI REJEKI, RATNA SRI WIDYASTUTI
·4 menit baca
Lima bulan setelah menyandang gelar sarjana dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Muhammad Rayhan (24) nekat mendirikan studio foto di bilangan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Sebelum itu, ia melamar pekerjaan, tetapi belum beruntung.
Setelah diwisuda Agustus 2023, lulusan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini melupakan keinginan menjadi pegawai kalau hanya mendapat gaji sebesar upah minimum kota/kabupaten (UMK).
Ada beberapa lamaran yang sempat ia kirimkan, dari lamaran ke kantor pengacara, lembaga swadaya masyarakat, hingga perusahaan medis. Bahkan, Rayhan sempat mengikuti tes calon aparatur sipil negara (ASN) untuk menyenangkan ibunya yang merasa pekerjaan paling aman adalah menjadi abdi negara. Ia juga sempat menjadi sukarelawan di beberapa kegiatan.
Kepikiran, kalau kerja kantoran seharusnya sudah bisa provide keluarga aku sekarang. Cuma aku pengin tetap percaya diri usaha ini someday,it'sgonna work.
Rayhan berani terjun ke dunia usaha karena bertemu dengan seorang teman yang sudah setahun berpengalaman membuka studio foto serupa di Bekasi, Jawa Barat. Sang teman malah belum lulus kuliah, tetapi cukup sukses dengan bisnisnya mengingat keuntungan usahanya sudah bisa dipakai untuk mencicil mobil. Rayhan dan temannya lantas sepakat merintis usaha yang diberi nama Rumafoto Studio. Rumah kontrakan dengan tiga kamar yang disewa keduanya disulap sebagai studio foto.
Setiap hari, tanpa libur, Rumafoto melayani pelanggan dari pukul 10.00 WIB hingga 20.00 WIB. Karena belum punya pegawai, Rayhan sendiri yang mengurus, menjaga studio, dan melayani konsumen. Usaha ini sekarang sudah bisa menghasilkan Rp 75.000 hingga Rp 100.000 per hari. Kalau sedang bagus, bisa didapatkan Rp 700.000 hingga Rp 800.000 sehari. Total penghasilan per bulan cukup untuk operasionalisasi studio, bahkan ada sisa sekitar Rp 2 juta yang bisa dibawa pulang oleh Rayhan.
Masih belum maksimal, sih, marketing-nya. (Muhammad Rayhan)
Rayhan adalah salah satu wirausaha muda lulusan perguruan tinggi. Wirausaha dari kategori ini adalah yang paling cepat pertumbuhannya di negeri ini. Olahan data mikro Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS Tim Jurnalisme DataKompas menunjukkan, pertumbuhan pengusaha dari kelompok lulusan perguruan tinggi rata-rata 10,4 persen per tahun selama 2007-2022. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan wirausaha dari kelompok pendidikan yang lebih rendah, yakni SMA/sederajat (5,6 persen) dan SMP/SD (-0,1 persen).
Akan tetapi, dari sisi jumlah, wirausaha lulusan perguruan tinggi masih kecil. Pada tahun 2022 proporsi jumlah wirausaha dengan latar belakang pendidikan tinggi hanya 5,6 persen dibandingkan dengan total jumlah wirausaha. Proporsi paling besar adalah wirausaha dengan latar belakang pendidikan SMP/SD (68,4 persen), disusul lulusan SMA/sederajat (26 persen).
Dari kelompok perguruan tinggi tersebut, lulusan dari jurusan pendidikan dan keguruan selalu muncul dalam tiga besar kelompok yang berwirausaha, disusul lulusan jurusan ekonomi, lalu lulusan jurusan administrasi/manajemen keuangan.
Peneliti Center of Reform on Economics, Eliza Mardian, mengatakan, meskipun ada pertumbuhan, sejauh ini rasio kewirausahaan Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara.
Rasio kewirausahaan adalah perbandingan antara jumlah wirausaha dan jumlah penduduk. ”Takut gagal” dinilai sebagai penghambat utama minat masyarakat Indonesia untuk terjun ke dunia usaha.
”Ada yang namanya Global Entrepreneurship Monitoring, dashboard yang isinya indikator kewirausahaan. Indonesia itu yang paling jelek skornya di indikator ’takut akan gagal’,” ungkap Eliza.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Dartanto mengatakan, peningkatan jumlah wirausaha harus dibarengi dengan peningkatan kualitas. Dengan demikian, pertumbuhannya akan berkelanjutan dan pada gilirannya akan menguntungkan bagi ekonomi secara keseluruhan.
”Pendidikan, pelatihan, dan pendampingan penting bagi kelanjutan perkembangan usaha masyarakat dari skala terkecil menuju kelas di atasnya. Jangan sampai terjadi broken ladders atau patah tangga yang menjembatani antara usaha mikro dan kecil yang informal, menuju industri yang bisa membuka lapangan kerja formal,” kata Teguh.
Selain jumlahnya yang sedikit, sebaran wirausaha di Indonesia juga belum merata. Konsentrasinya lebih dari separuh berada di Pulau Jawa. Olahan data Sakernas BPS oleh Tim Jurnalistik Data Kompas menunjukkan, pada tahun 2007, sebanyak 58,45 persen wirausaha berada di Pulau Jawa. Lima belas tahun kemudian atau tahun 2022 proporsinya menyusut menjadi 53,74 persen. Akan tetapi, konsentrasi paling besar tetap berada di Pulau Jawa.
Dengan adanya perkembangan teknologi, merintis usaha pada masa kini akan banyak terbantu oleh adanya perkembangan teknologi, seperti dikatakan Leonard Theosabrata, Direktur Utama Smesco Indonesia. Smesco adalah lembaga di bawah Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah yang bertugas memasarkan produk UKM Indonesia serta memberikan pelatihan kepada pelaku UKM.
Teknologi membuat playing field lebih rata dan kompetisi lebih adil untuk semua golongan. (Leonard Theosabrata)
Bagi mereka yang ingin membuka usaha, menurut Leo— panggilan akrab Leonard Theosabrata—ada beberapa kiat yang bisa dilakukan, antara lain peka terhadap lingkungan sekitar, percaya diri, banyak diskusi untuk mematangkan ide bisnis, dan pulang kampung.
”Jika merasa di kampung halaman tidak ada pekerjaan, tips pertama bisa digunakan lagi, yakni asah kepekaan untuk menjadi penyedia solusi masalah di lingkungan kampung halaman Anda,” kata Leo.