Jalan Keluar Anak Muda Generasi ”Sandwich” yang Menopang Keuangan Keluarga
Pembiayaan untuk keluarga, seperti orangtua dan saudara, membutuhkan anggaran khusus dalam catatan keuangan pribadi.
Masyarakat kelas menengah, termasuk yang berusia 17-40 tahun, terkadang melakoni kesehariannya sebagai generasi roti lapis atau sandwich generation. Mereka membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan rumah tangga yang sedang dibina sekaligus keluarga pertamanya. Seperti apa jalan keluar bagi mereka?
Tim Jurnalisme Data Kompas menghitung, jumlah penduduk usia 17-40 tahun pada 2021 yang berada di kelompok calon kelas menengah dan kelas menengah masing-masing mencapai 48,50 juta jiwa dan 21,02 juta jiwa. Angka itu setara dengan 67,8 persen dari total warga berusia 17-40 tahun.
Sisa pendapatan calon kelas menengah dan kelas menengah di kelompok itu masing-masing menyentuh angka minus Rp 181.724 per kapita per bulan dan minus Rp 65.529 per orang per bulan.
Baca juga:
- Gaji ”Ngepas”, Anak Muda Jungkir Balik Mengelola Keuangan
- Indonesia Cemas 2045, Pendapatan Kelas Menengah Lebih Kecil dari Pengeluaran
Kedua kelas itu dikelompokkan berdasarkan definisi dalam publikasi Bank Dunia berjudul ”Aspiring Indonesia-Expanding the Middle Class (2019)”. Definisi itu dihitung dengan produk domestik bruto Indonesia hingga 2016. Perhitungan itu menyebutkan, pengeluaran calon kelas menengah Indonesia sebesar 1,5-3,5 kali lipat garis kemiskinan per kapita per bulan dan kelas menengah 3,5-17 kali lipat garis kemiskinan per kapita per bulan. Dengan garis kemiskinan Indonesia pada 2021, rentangnya sebesar Rp 729.252-Rp 1,7 juta per bulan serta Rp 1,7 juta-Rp 8,26 juta per orang per bulan.
Kalis Mardiasih (32), penulis dan konsultan lepas yang tinggal di Yogyakarta, menggambarkan kelas menengah roti lapis tersebut. Kalis dan suaminya, selain membiayai kehidupannya sendiri, juga menanggung kehidupan orangtua dan biaya sekolah dua keponakannya.
”Pengeluaran pribadi saya sekitar Rp 4 juta per bulan. Itu hanya untuk membeli vitamin dan pampers anak saya,” ujarnya.
Biaya sekolah anak sepupunya sekitar Rp 1,5 juta per bulan, termasuk fasilitas asrama dan iuran makan. Sejak pertengahan 2023, dia turut membiayai kuliah anak pamannya dengan uang awal kuliah kira-kira Rp 8 juta. Uang kuliah tunggal sekitar Rp 2,5 juta per semester dan sewa kos Rp 600.000 per bulan.
Setelah menyisihkan uang bulanan untuk orangtua dan dua saudaranya, dia menghitung biaya rumah tangganya. Dia memperkirakan, uang untuk rumah tangganya saja berada di rentang kelas menengah (Rp 1,7 juta-Rp 8,26 juta). Saat ini, dia menetap di kontrakan dan tengah mencicil untuk membeli tanah yang kelak menjadi alas rumahnya.
Maka, setiap bulan terlewati, saya merasa mellow hingga ingin menangis. Saya suka membatin, ternyata bisa (memenuhi kebutuhan) bulan ini.
Sebagai pasangan pekerja lepas dengan penghasilan tak menentu, Kalis dan suami patungan untuk kebutuhan sehari-hari. Mereka juga mengelola toko buku dalam jaringan dengan empat karyawan yang mesti dipenuhi hak upahnya.
”Maka, setiap bulan terlewati, saya merasa mellow hingga ingin menangis. Saya suka membatin, ternyata bisa (memenuhi kebutuhan) bulan ini,” ujarnya.
Seorang lajang pun tak bisa lepas dari jerat generasi roti lapis. Tia (35), pegawai kontrak di Yogyakarta, mesti berjibaku mencari pekerjaan sampingan demi memenuhi kebutuhan hidup. Pekerjaan tambahan, seperti penulis lepas, moderator, dan mengajukan sejumlah proposal penelitian, dia babat.
Tak ada libur akhir pekan baginya. Dia kerap bergerilya selama tujuh hari penuh demi membiayai kehidupan sendiri, ibunya, dan adiknya.
Baca juga: Aku Punya Tabungan, maka Aku Aman
Uang hasil beragam pekerjaan itu dia gunakan untuk belanja bulanan serta membayar tagihan listrik dan internet. Terkadang, ibunya bertanya soal tabungan yang dia punya. ”Dalam hati, saya ingin jawab, ’bagaimana saya bisa menabung kalau selalu ada pengeluaran?’ Bahkan, tabungan untuk menikah pun tidak saya pikirkan. Bagi saya, yang terpenting sekarang adalah cara untuk memenuhi kebutuhan,” tuturnya.
Tak hanya merelakan waktu istirahat pada Sabtu dan Minggu, dia juga mengurangi nongkrong atau jalan bersama teman serta mengesampingkan keinginannya. Dia mencontohkan, ketika ingin membeli baju, dia akan menabung sampai jumlahnya cukup.
Utang dihindarinya agar tetap merasa aman dan ayem. Meskipun demikian, gajinya yang tak naik secara signifikan di tengah lonjakan harga pangan sering membuat dompetnya berteriak.
Bagaimana saya bisa menabung kalau selalu ada pengeluaran? Bahkan, tabungan untuk menikah pun tidak saya pikirkan.
Baca juga: Kelas Menengah Indonesia Menguras Gaji untuk Mobil dan Rumah
Nasib generasi roti lapis turut dialami pekerja muda kelas menengah Ibu Kota. Rachel Elizabeth Hosanna (30), karyawan yang bekerja di Jakarta, pernah menggunakan 40 persen dari pendapatannya untuk keluarganya. Angka itu muncul lantaran dia mesti mencicil mobil yang akan digunakan orangtua dan kedua adiknya sejak 2017. Orangtuanya tidak bisa mencicil kredit, mobil itu dibeli atas namanya.
Dia juga mengangsur rumah untuk orangtuanya dan membiayai kuliah adiknya no dua. Pengeluaran pribadinya Rp 4 juta-Rp 5 juta per bulan, termasuk membayar indekos sekitar Rp 2 juta per bulan dan biaya ke konsultasi psikolog.
Meskipun demikian, Rachel menjalaninya dengan tulus. ”Tuhan melihat saya mendambakan rumah tangga keluarga yang akan dibangun (setelah menikah) itu bahagia. Bisa saja Tuhan bertanya ke saya, ’Kamu mau keluarga bahagia? Mana buktinya?’ kalau keluarga yang Tuhan percayakan saat ini ke saya tidak saya bahagiakan,” tuturnya.
Urusan generasi sandwich lebih dari sekadar uang. Hubungan dengan orang yang ditanggung juga berpengaruh.
Bergantung komunikasi
Perencana keuangan Nadia Harsya menilai, komunikasi dengan orangtua menjadi permasalahan generasi roti lapis yang lebih besar dibandingkan uangnya. ”Isu generasi sandwich kompleks. Kalau kita tarik mundur, urusan generasi sandwich lebih dari sekadar uang. Hubungan dengan orang yang ditanggung juga berpengaruh,” katanya.
Dia mengilustrasikan, dari sisi pekerja kelas menengah, ada sejumlah sudut pandang yang muncul. Misalnya, merasa senang dan bangga dapat membiayai kehidupan orangtua, mempertanyakan keadaan teman-teman sebaya yang sudah mencapai financial goals (tujuan finansial), sedangkan diri sendiri masih menanggung orangtua, atau menganggap membiayai orangtua sebagai ladang pahala.
Infografik Sisa Gaji Kelas Menengah dan Kelas Ekonomi Pemilih Muda (Usia 17-40 Tahun)
Bagi pekerja kelas menengah yang membina komunikasi baik dengan orangtuanya, tetapi upahnya pas-pasan, mereka dapat membicarakan niat ingin membantu yang terhalang keterbatasan finansial dengan nyaman ke orangtua. Namun, jika hubungannya tidak baik-baik saja, pekerja dapat menganggap dimanfaatkan oleh orangtuanya, sedangkan orangtua berpikir anaknya enggan berbakti.
Dalam pencatatan keuangan, perencana keuangan Annisa Steviani menilai, pembiayaan untuk keluarga, seperti orangtua dan saudara, membutuhkan anggaran khusus. ”Tidak apa-apa jika percaya, membantu orangtua (dengan dana sebanyak-banyaknya) akan mendatangkan rezeki yang melimpah. Namun, saya percaya, selama uang kita masih terbatas, cara kita untuk membantu juga terbatas,” tuturnya.
Baca juga: Kelas Menengah Indonesia Sulit Menjadi Orang Kaya
Dia mengilustrasikan, seorang pekerja dengan gaji setara upah minimum regional (UMR) akan sulit jika harus ikut membiayai adik-adiknya yang sedang sekolah, orangtua, hingga mertua. Kesulitan itu muncul lantaran umumnya UMR hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan satu orang, yakni diri sendiri.
Selama uang kita masih terbatas, cara kita untuk membantu juga terbatas.
Menurut dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Palangkaraya, Fitria Husnatarina, generasi roti lapis ada karena keterikatan norma sosial yang ada di Indonesia dan sulit dilepaskan. Kesulitan yang dialami generasi tersebut kerap mendorong mereka untuk menambah kanal pemasukannya dengan menggali dan menambah keterampilan yang bisa dikuasai.
Gagasan calon pemimpin
Pemerintah berpeluang menerapkan kebijakan yang dapat meringankan pikulan di bahu generasi roti lapis, khususnya dari kalangan kelas menengah dan calon kelas menengah. Oleh sebab itu, setiap tim calon presiden dan calon wakil presiden menawarkan gagasan untuk membantu generasi roti lapis.
Sekretaris Dewan Pakar Tim Pemenangan Nasional Anies-Muhaimin, Wijayanto Samirin, berpendapat, generasi roti lapis muncul lantaran ada anggapan anak yang produktif perlu membantu orangtuanya yang tak lagi produktif. Anggapan ini mengemuka karena, saat produktif, orangtua membantu anak. Dampaknya, orangtua merasa tidak perlu memiliki polis asuransi ataupun dana pensiun.
Baca juga: Bagaimana Orang Miskin Naik Kelas Jadi Kaya? Pakai Beasiswa Pendidikan
Oleh sebab itu, lanjutnya, generasi dapat terbantu jika anak muda memiliki kemudahan untuk mengakses lapangan kerja dan warga lanjut usia (lansia) dibantu oleh negara. ”Dengan demikian, kohesi (hubungan erat) antarkeluarga dapat terjaga. Pak Anies juga pernah berpesan kepada anak-anak muda, orangtua harus dibantu dan jangan dianggap beban karena dapat menjadi tabungan amal,” katanya.
Adapun Wakil Ketua Umum Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Eddy Soeparno, menilai, fenomena generasi roti lapis menuntut pekerja kelas menengah untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, keluarga yang sedang dibina, serta keluarga dari orangtuanya, seperti kuliah saudaranya atau pengobatan orangtua. Akibatnya, daya beli pekerja tersebut menyempit.
Dengan latar belakang itu, dia menyatakan, pasangan calon nomor urut 2 akan mendorong jumlah serapan angkatan kerja di sektor formal sehingga pendapatannya dapat meningkat. Dengan demikian, penghasilan bersih yang diterima pekerja kelas menengah pun lebih banyak. ”Artinya, perekonomian yang bernilai tambah dapat mendorong peningkatan gaji (pekerja) sekaligus konsumsi yang juga menggerakkan ekonomi,” ujarnya.
Baca juga: Isu Literasi Keuangan Terlewatkan dalam Pemilu 2024
Sementara itu, menurut anggota Dewan Pakar Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud, Satya Heragandhi, problematika generasi roti lapis muncul karena literasi keuangan jarang diterapkan oleh generasi sebelumnya sehingga persiapan pensiun tidak optimal. Oleh karenanya, tim pasangan calon nomor urut 3 menawarkan solusi untuk orangtua lansia dan pekerja muda.
Dia menuturkan, lansia akan mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah. Bagi lansia yang ingin tetap kerja produktif, pemerintah akan memfasilitasinya dengan mendorong perusahaan membuka lowongan pekerjaan yang tergolong ringan bagi lansia. ”Untuk generasi sandwich, pendampingan untuk proses upskilling dan reskilling menjadi penting. Dampaknya, pendapatan mereka akan meningkat,” katanya.
Baca juga: Jangan Ada Kemiskinan di Antara Kita!
Keputusan pekerja muda kelas menengah memikul keuangan keluarga dan saudara memang berada di ranah pribadi. Namun, langkah konkret pemerintah yang dapat mendongkrak gaji mereka dan menyokong kehidupan lansia justru menunjukkan keberpihakan negara pada generasi roti lapis.