Apakah Cara Mengatur Keuangan Seseorang Dipengaruhi Keluarga?
Berbicara tentang pengaturan keuangan seseorang berarti turut menggali tentang latar belakang keluarga dan pertemanan.
Coba lontarkan sebuah pertanyaan ringan kepada seorang teman, ”sudahkah kamu menabung atau berinvestasi?”. Kalau iya, pertanyaan selanjutnya adalah ”kesadaran itu muncul dari kapan dan diajari oleh siapa?”. Beberapa akan menjawab dengan cepat, sejak kecil sudah diajarkan oleh keluarga.
Ini menjadi obrolan menarik yang tidak bisa disebut ringan lagi. Sebab, berbicara tentang pengaturan keuangan yang dilakukan seseorang berarti turut menggali latar belakang keluarga dan lingkungan pertemanan. Kebiasaan menyederhanakan gaya hidup melalui pengaturan keuangan yang ketat juga tidak mungkin datang tiba-tiba.
Berjumpa dengan Santi (28), karyawan swasta di Jakarta, yang menyadari bahwa lingkungan pertemanan turut berpengaruh terhadap gaya hidup dan kebiasaan menabungnya. Bahkan, tabungan reksa dana diketahuinya dari sejumlah teman. Sejauh ini, dia merasa bersyukur berada di lingkungan yang tepat.
Kata mereka, risiko dari reksa dana lebih minim dibandingkan dengan instrumen lainnya. Dia juga mempelajarinya melalui unggahan media sosial dari akun-akun perencana keuangan. Sejauh ini, ia tak memilih opsi menabung pada rekening akun bank yang berbeda, menurut dia tidak efektif karena terpotong biaya admin.
Baca juga: Aku Punya Tabungan, maka Aku Aman
Awal bekerja di tahun 2018, dia merasa kesulitan menabung. Pengaturan keuangannya berantakan. Bahkan, tak jarang uang tabungan di rekening ikut tergerus untuk membeli printilan yang disenangi. Dia pun melakukan evaluasi besar-besaran agar bisa menyisihkan sedikit pendapatannya untuk tabungan.
”Aku mulai mikir, kok pendapatan kerja selama ini terpakai terus ya buat beli ini-itu. Padahal, aku menyisihkan sedikit-sedikit ke rekening, tetapi hasilnya kok sama saja. Tanpa disadari uangnya terpakai terus karena selalu merasa ’oh masih ada uang kok’,” kenangnya.
Padahal, kebiasaan menabung ini pernah diajarkan oleh orangtuanya sejak dia kecil. Dia pun rutin menyisihkan sisa uang sakunya ke dalam celengan di rumah. Uang ini dikumpulkan dengan tujuan tertentu, misalnya ingin membeli gawai, barang yang dibutuhkan, atau pergi bermain.
Keluarga itu sangat berpengaruh besar dalam membentuk kebiasaan menabung. Dulu diajarin kalau mau beli sesuatu harus pakai duit tabungan sendiri. Kalau belum cukup, artinya harus menabung lagi. Sekarang lagi coba disiplin nabung seperti dulu. (Santi)
Mulai menabung
Akhir 2020, perlahan dia mulai menabung dari penghasilannya. Bukan pada rekening yang sama, tetapi dalam bentuk reksa dana campuran. Porsi tersebut dibagi dalam beberapa portofolio dengan tujuan berbeda, misalnya dana darurat, dana hari tua, rencana pernikahan dan rumah.
Ia berupaya mengalokasikan 30 persen dari pendapatannya untuk ditabung. Setelah gaji masuk ke rekening, dia segera memilah-milah untuk pengeluaran wajib, seperti bayar indekos, listrik, iuran rutin, dan tabungan. Sisanya digunakan untuk uang makan, rekreasi/jalan-jalan, bensin, dan uang darurat ketika ada teman atau kolega yang ulang tahun/menikah.
Portofolio reksa dana pertamanya adalah dana darurat. Tidak semua alokasi masuk dalam bentuk reksa dana, sebagian dicadangkan pada rekening untuk mengantisipasi jika ada keperluan mendadak tanpa proses pencairan yang lama. Tak mudah untuk bisa konsisten, ia baru stabil dan konsisten menabung rutin selama 2021.
”Itu caraku mengontrol tabungan. Nabung-nya belum banyak, tetapi nominalnya sudah pasti di awal, ya. Jadi membuat aku disiplin,” ucapnya.
Baca juga: Kelas Menengah Indonesia Sulit Menjadi Orang Kaya
Selain tabungan, dia juga berupaya untuk investasi kesehatan pada diri sendiri, yakni menyisihkan sebagian uangnya untuk vaksin HPV lengkap seharga Rp 3 jutaan, membeli vitamin rutin, dan membeli makanan yang cukup. Menurut dia, memiliki badan yang sehat juga sama pentingnya dengan memiliki tabungan untuk masa depan.
Memaknai uang
Pentingnya bersikap menyederhanakan gaya hidup diyakini oleh sebagian keluarga. Charles A Gallagher SJ dalam buku Anda Dapat Mengubah Dunia: Kiat Menata Hidup Keluarga Bahagia (1996) menjelaskan kebiasaan pengaturan keuangan tidak muncul begitu saja, tetapi dipengaruhi oleh keluarga dan lingkungan sekitarnya. Keputusan untuk lebih sering menabung atau menghabiskannya merupakan buah yang bisa dipetik.
Ia mencontohkan tentang menanamkan pandangan untuk hidup sederhana pada anak-anak. Dalam hal ini, konteksnya bukan berbicara tentang berapa banyak uang yang dimiliki, tetapi bersikap menghargai uang dengan gaya hidup konsumerisme atau sebaliknya.
Pandangan yang dimaksud Gallagher adalah untuk mengurangi ambisi konsumerisme. Misalnya, berbelanja barang-barang yang sangat dibutuhkan dan berpikir lagi ”Apakah tanpa tersedianya barang-barang itu masih bisa hidup dengan layak?”.
Baca juga: Isu Literasi Keuangan Terlewatkan dalam Pemilu 2024
Pandangan ini mengharuskan peninjauan kembali terhadap cara hidup keluarga oleh semua anggota keluarga, dengan menempatkan prioritas pada penjalinan relasi dengan satu sama lain. (Gallagher)
Makan bersama di meja bisa menjadi momen yang tepat untuk bercengkerama menjalin relasi keakraban antaranggota keluarga. Makan bersama keluarga yang dimaksudnya adalah saat semua anggota keluarga duduk bersama setiap malam setidaknya satu jam untuk makan bersama. Jika dilakukan rutin, kehangatan keluarga bisa muncul dan bertumbuh.
Bahkan, keputusan-keputusan penting dalam keluarga, termasuk obrolan tentang prioritas hidup dan pengelolaan uang, terjadi di meja makan. Momen itu bisa digunakan orangtua untuk ”transfer” nilai penting yang dipegang dalam keluarga, seperti rajin menabung dan menggunakan uang sesuai prioritas.
Saling membantu
Arti penting keluarga dirasakan oleh M Irfan (47), wirausahawan yang membuka lokakarya konstruksi di Yogyakarta. ”Saya lima bersaudara. Orangtua saya berpesan, kalau ada apa-apa kami harus saling membantu,” ujarnya saat dihubungi.
Bantuan sedulur itu tampak ketika dia membiayai kuliah putri semata wayangnya pada pertengahan 2023. Sang putri kuliah di pondok pesantren dengan uang masuk sekitar Rp 7 juta-Rp 9 juta yang terdiri dari biaya gedung, asrama, seragam, dan iuran semesteran. Untuk membayarnya, dia mendapatkan bantuan dari kakaknya.
Dia menerapkan prinsip keuangan dengan mengajarkan putrinya yang lahir pada 2004 untuk menghargai uang. Dia membiasakan sang putri untuk menabung jika hendak membeli barang yang dibutuhkan.
”Anaknya tidak boros. Jika uang sakunya lebih, selalu ditabung. Dia pernah membeli ponsel seken dari uang tabungannya karena butuh. Kalau belum ada, saya meminta dia bersabar. Saya juga mengajarkan dia untuk hidup apa adanya serta tidak memilih-milih makanan. Makan apa yang ada dan jangan protes,” tuturnya.
Pola asuh keluarga
Menurut Lolita Setyawati, perencana keuangan, penting untuk menanamkan persepsi uang kepada anak sejak dini. Sebab, anak cenderung meniru sesuatu yang dilihatnya secara terus-menerus. Mereka yang terbiasa melihat orangtuanya sering berutang akan berpotensi melakukan hal yang sama di saat dewasa. Tanpa disadari dalam diri mereka tertanam pola pikir dalam mengumpulkan uang itu sulit sehingga utang menjadi jalan keluarnya.
Hal-hal yang dilihat anak secara terus-menerus akan tertanam di otak sampai dewasa. Akhirnya, sikap kita terhadap uang pas dewasa itu adalah cerminan waktu kita kecil. (Lolita)
Adapun mereka yang terbiasa melihat ayah dan ibunya bekerja keras dan hemat. Anak-anak yang dibesarkan dari keluarga ini berpotensi lebih menghargai uang dan membelanjakannya dengan bijak.
Baca juga: Indonesia Cemas 2045, Pendapatan Kelas Menengah Lebih Kecil dari Pengeluaran
Bagi mereka yang besar di keluarga dengan kebiasaan buruk dalam mengatur keuangan tetap berpeluang untuk bisa memperbaikinya lewat literasi keuangan. Dalam hal ini, mereka harus disiplin untuk hidup secukupnya dan tidak berlebihan.
Maksudnya, berapa pun kenaikan penghasilan yang diterima, gaya hidupnya tidak ikut naik juga. Alih-alih jos (tabungannya), malah makin boncos!
”Orang yang sudah terbiasa hidup sederhana dari kecil lebih mudah untuk menurunkan gaya hidup. Mereka jadi tidak kaget saat memiliki uang banyak dan bisa menyesuaikan dengan lebih mudah,” pungkas Lolita.
Seperti kata Gallagher, keluarga menjadi fondasi bagi anak-anak untuk bisa menyederhanakan gaya hidup. Mereka yang terbiasa dididik dengan ”Apakah ini perlu?” bukan ”Apa salahnya jika membeli ini?” menunjukkan bahwa mereka memahami makna uang dan prioritas.