Bagaimana Orang Miskin Naik Kelas Jadi Kaya? Pakai Beasiswa Pendidikan
Beasiswa pendidikan menjadi penopang si miskin untuk naik kelas dan ikut meningkatkan kesejahteraan keluarganya.
Oleh
MARGARETHA PUTERI ROSALINA, MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI, MELATI MEWANGI
·5 menit baca
Kalau bukan karena beasiswa pendidikan, Sipin Putra (38) tidak bisa menjadi Sarjana Antropologi, dosen dan peneliti seperti sekarang. Tanpa bantuan biaya pendidikan, lelaki kelahiran Jombang ini tidak bisa naik kelas, hanya akan tinggal di desa, bekerja di sebuah minimarket ataupun membuka usaha vulkanisasir ban seperti tiga saudaranya yang lain.
Namun, jalan hidup Sipin berubah setelah kisahnya sebagai pelajar SMA miskin yang terancam tidak bisa melanjutkan kuliah ke Universitas Indonesia (UI) dimuat di sebuah koran lokal Jawa Timur. Beberapa orang tergerak untuk menolong Sipin, memberikan bantuan uang, supaya dia bisa melanjutkan pendidikan di UI.
Sejak artikel itu termuat di koran lokal dan dibaca warga Jawa Timur, bantuan terus mengalir. ”Dari yang punya rumah makan, pemilik toko bangunan, dokter, memberikan bantuan untuk saya,” cerita lelaki yang sekarang tinggal di Depok ini.
Kisah Sipin saat itu juga diangkat oleh sebuah radio di Jombang. Dari siaran inilah Sipin kemudian mendapat beasiswa dari Pemerintah Kabupaten Jombang. Dari berbagai bantuan yang telah diterima, akhirnya membuat Sipin berangkat dan menjalani perkuliahan di UI. Semua hal soal biaya yang mengkhawatirkan Sipin terselesaikan dengan beasiswa dari Pemkab Jombang dan bantuan masyarakat.
Karena bantuan-bantuan itu saya tidak kekurangan uang. Saya bisa beli buku dan beli HP, dan membiayai hidup sehari-hari di Depok.
Saat kuliah, Sipin juga rajin mencari informasi mengenai beasiswa dan mendaftar. ”Alhamdullilah setiap semester saya dapat dua beasiswa,” kata Sipin dengan nada bangga.
Sipin bercerita, dia pernah mendapat beasiswa dari Bank Indonesia selama 1,5 tahun yang kala itu nilainya Rp 200.000 per bulan. Kemudian beasiswa dari sebuah perusahaan rokok, dengan besaran yang sama selama 18 bulan. Beasiswa dari sebuah Yayasan di Salemba juga pernah diterimanya senilai Rp 300.000 per bulan selama setahun dan beasiswa dari asuransi Rp 200.000 per bulan.
Praktis dengan dua beasiswa yang diterimanya setiap semester, hidup Sipin di Depok terjamin. Selain mengandalkan bantuan dan beasiswa, Sipin juga mencari penghasilan di sela-sela jadwal kuliah. Sipin menjadi guru mengaji seminggu dua kali dan selama empat semester pernah menjadi freelance surveyor di sebuah media. ”Saya menikmati itu semua. Saya bisa cari uang, ketemu banyak orang dan merasakan kerja,” kata Sipin.
Keuletan Sipin selama kuliah berbuah manis. Hasil pengumpulan dari sisa penggunaan uang beasiswa ditabung dan menjadi modal awal kehidupan Sipin selesai kuliah di tahun 2007. Kini dia telah naik kelas menjadi kaum menengah yang rata-rata pengeluarannya Rp 4 juta-Rp 6 juta per bulan.
Rachel diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dengan jalur prestasi. Berkat bantuan guru Bimbingan Konseling-nya, dia bisa mendapat beasiswa yang sekarang Bernama Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah tersebut. ”Saya berutang budi banget dengan guru saya. Namanya Bu Sumiati. Dia yang cari bantuan beasiswa untuk saya waktu SMA,” kenang Rachel, akhir Januari lalu.
Namun, rupanya beasiswa sebesar Rp 650.000 per bulan tersebut baru diterima Rachel di akhir tahun. ”Jadi, saya hanya megang uang Rp 50.000 seminggu, uang saku dari Papa-Mama. Mau gak mau, uang itu harus cukup seminggu,” ujarnya.
Uang saku Rachel Rp 50.000 ini tidak cukup untuk makan dan fotokopi bahan-bahan kuliah. ”Yang saya lakukan makan nasi, kecap, dan abon atau cuma nasi kecap. Bahkan, kadang saya juga puasa,” katanya.
Beruntung, setelah kuliah, Rachel juga menerima beasiswa pendidikan lainnya. ”Saya juga dapat beasiswa dari kelompok persekutuan agama dan beasiswa alumni Fakultas Ekonomi Bisnis UI,” ujarnya.
Namun, memang tiga beasiswa tersebut tidak bisa 100 persen menutupi biaya kuliah dan biaya hidup Rachel di Depok. Rachel masih harus bekerja menjadi guru les murid SD di Cimanggis dan menjadi asisten dosen. ”Saya menjadi guru les itu pun karena kebaikan hati ibu bagian kepala akademik yang melihat saya selalu kekurangan uang,” cerita Rachel.
Hingga akhirnya tiga beasiswa tersebut mengantarkannya menjadi seorang sarjana ekonomi. Rachel sekarang telah bekerja di sebuah bank swasta di kawasan Sudirman dan memantapkan diri menjadi kelas menengah.
Menaikkan status sosial
Menurut Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Omas Bulan Samosoir, pendidikan menjadi salah satu investasi modal manusia yang bisa digunakan kelas menengah untuk naik kelas. Kelas menengah melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan harapan bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih baik dan lebih mapan. Oleh karena itu, menurut Omas, pendidikan tidak lagi dipandang sebagai kebutuhan sekunder, tetapi kebutuhan primer (utama).
Namun, menurut Omas, tidak semua kelas menengah bisa melakukan investasi pendidikan. ”Bergantung pada besaran gaji mereka, misalnya pada keluarga yang mempunyai double income,” sebut Omas.
Senada dengan hal tersebut, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Gumilang Aryo Sahadewo, menyebutkan, pendidikan merupakan salah satu faktor yang berkorelasi dengan mobilitas ekonomi individu dan keluarga.
Saat kita membicarakan pendidikan, tidak hanya bicara soal lama pendidikan dan jenjang yang mereka selesaikan. Tetapi, juga mulai memikirkan kualitas dari pendidikan itu sendiri.
Namun, menurut Gumilang, tidak semua individu bisa mendapatkan akses untuk melakukan mobilitas ekonomi antarkelas. Masalah mobilitas ekonomi ini tidak bisa diselesaikan dalam jangka pendek, tetapi harus berkelanjutan.
Gumilang menyarankan, program perlindungan sosial tidak hanya memberikan jaminan masyarakat supaya status ekonominya tidak jatuh. Namun, program tersebut juga harus bisa menaikkan status sosial masyarakat sehingga individu-individu dalam rumah tangga tetap bisa mengakses pendidikan dan kesehatan yang berkualitas.
Bantuan pendidikan
Program perlindungan sosial selama ini diberikan melalui bantuan sosial dan jaminan sosial. Beberapa bantuan sosial terkait pendidikan adalah Program Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah.
Program Indonesia Pintar, menurut Kemendikbud, adalah bantuan berupa uang tunai, perluasan akses, dan kesempatan belajar dari pemerintah yang diberikan kepada peserta didik usia 6 hingga 21 tahun yang berasal dari keluarga miskin atau rentan miskin untuk membantu biaya personal pendidikan. Program ini diluncurkan sejak November 2014.
Kemudian, program KIP kuliah yang dulu bernama Beasiswa Bidik Misi. Program ini sudah ada sejak tahun 2010, diperuntukkan bagi calon mahasiswa tidak mampu secara ekonomi dan memiliki potensi akademik yang baik untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi sampai lulus tepat waktu.
Tujuan pemerintah menyelenggarakan program KIP Kuliah agar lebih banyak lagi masyarakat yang bisa mengakses pendidikan tinggi sehingga mampu memutus rantai kemiskinan.
Keberadaan beasiswa pendidikan ini telah membuktikan bisa menjadi salah satu sarana untuk meningkatkan mobilitas ekonomi masyarakat. Sipin dan Rachel telah membuktikannya. Keduanya telah naik kelas menjadi kelas menengah dan ikut meningkatkan kesejahteraan keluarga.