Guncangan ekonomi berupa ”turun kelas” menyisakan trauma pedih. Tanpa disadari, ketiadaan tabungan, dana darurat, dan aset membuat semakin terpuruk semakin memperburuk situasi.
Bagi mereka yang berada di posisi rentan, tak ada yang siap menghadapi guncangan itu. Pada fase berikutnya, mereka terpaksa harus menyesuaikan gaya hidup, seperti yang dihadapi Tuti (43), warga Kabupaten Lampung Selatan, Lampung. Kehidupannya berubah drastis setelah usaha rental mobil suaminya bangkrut. Dulunya berkecukupan, kini hidup pas-pasan. Harta berharga yang dimiliki hanya rumah dan satu unit mobil Xenia keluaran tahun 2012. Selama empat tahun terakhir, ia nyaris tak pernah membeli perabot baru.
Mesin cuci sudah sering bocor dan macet. Kulkas juga sudah enggak dingin. Tapi belum ada tabungan mau beli yang baru. (Tuti)
Tuti hanya mengandalkan penghasilan sebagai aparatur sipil negara (ASN) untuk membiayai kebutuhan keluarganya. Sang suami mulai merintis kembali usaha rental mobil. Namun, pendapatannya belum bisa diandalkan karena sedikit orang yang mau menyewa mobil. Dulu, pendapatan dari usaha rental mobil berkisar Rp 40 juta-Rp 60 juta per bulan. Uang itu lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga. Namun, sekarang uang hasil rental hanya cukup untuk bensin dan biaya perawatan mobil.
Pandemi Covid-19 berimbas pada kehilangan pelanggan hampir 90 persen. Padahal, masih ada cicilan dua unit kendaraan yang harus dibayarkan sekitar Rp 8 juta per bulan. Awalnya, cicilan ini bisa tertutup dari uang tabungan keluarga. Namun, kondisinya ternyata semakin sulit setelah suami ketagihan judi daring.
Jual aset
Dengan berbagai pertimbangan, keputusan menjual tiga unit mobil dan tanah warisan pun dipilih. Ia terpaksa menjual asetnya untuk melunasi cicilan utang Rp 500 juta. Tuti yang sejak lama terbiasa hidup enak kini hidup prihatin dengan sering makan lauk telur, tempe, dan tahu. Ia juga sudah keluar dari grup arisan ibu-ibu untuk menekan pengeluaran. Pengorbanan ini dilakukan demi membiayai sekolah kedua anaknya yang berada di jenjang SMP dan SMA.
Ke depan, apabila tabungan pendidikannya tak mencukupi, dia mungkin akan berutang dengan menggadaikan surat keputusan ASN. Fokusnya sekarang adalah rutin menabung dan belajar mengelola keuangan keluarga. Pengalaman pahit saat usahanya bangkrut dan suaminya terjerat judi daring membuat dia semakin sadar tentang pentingnya berinvestasi.
Kisah turun kelas lainnya datang dari Supriyanto (40), warga Karangpilang, Surabaya, Jawa Timur, yang mengalami guncangan ekonomi saat Pandemi Covid-19. Ia terkena pemutusan hubungan kerja karena kondisi operasional perusahaan yang terganggu. Pertengahan 2021, dia bergabung menjadi pengemudi ojek daring.
Sebelum menjadi pengemudi ojek daring, dia adalah asisten manajer perusahaan swasta penyalur barang kelengkapan rumah tangga dengan gaji Rp 9 juta per bulan untuk masa kerja hampir dua dekade. Kini penghasilan sebagai pengemudi berkisar Rp 2 juta-Rp 3 juta per bulan. Beruntungnya, penghasilan sang istri cukup lumayan, yakni Rp 7 juta per bulan. ”Sebelum pandemi, jelas kami hidup berkecukupan sehingga bisa mencicil rumah dan membeli mobil,” katanya.
Mereka menyadari kondisi ekonomi tidak sebaik dulu sehingga harus mengaturnya lebih ketat dan cermat. Beruntungnya, sudah sejak lama dia dan Nurhayati, istrinya, disiplin menabung. Dia rutin menyisihkan Rp 250.000 per bulan untuk tabungan pendidikan sejak anak pertamanya lahir.
Mobil harus dijual untuk biaya pendidikan dan membeli dua sepeda motor untuk menunjang mobilitas keluarga. Aset rumah dan tanah tidak sampai terjual sehingga dapat dimaksimalkan untuk biaya pendidikan tinggi anak-anaknya kelak.
Roda nasib berputar, tetapi saya tetap percaya dan terus berusaha agar membaik. (Supriyanto)
Bernasib sama dengan Tuti dan Supriyanto, Arum (45), warga Semarang, Jawa Tengah, juga harus menutup utang miliaran rupiah dari perusahaan konsultan arsitek milik almarhum suaminya. Dia harus menjual rumah dan tinggal di rumah kontrakan. Tak hanya itu, surat BPKB mobil keluaran tahun 2011 pun turut diagunkan untuk menutup sebagian utang tersebut.
Adaptasi dalam pengaturan keuangan bukanlah hal yang mudah. Langkah menggunakan tabungan dana darurat atau menjual aset untuk menyambung hidup merupakan pilihan yang tepat menurut Lolita Setyawati, perencana keuangan. Lebih jauh, kata dia, jika ada utang sebaiknya dilunasi dengan tanpa membuat utang baru, misalnya berjualan atau menjual aset kendaraan/rumah.
Lolita menyarankan pentingnya menyiapkan dana darurat sedini mungkin. Minimal, mengalokasikan besaran enam kali pengeluaran bulanan untuk lajang dan 12 kali pengeluaran bulanan bagi yang sudah berkeluarga. Dana ini boleh dipakai saat terjadi kondisi penurunan ekonomi, seperti PHK atau pengurangan gaji. Ketika keuangan sudah membaik, waktunya mengisi kembali dana darurat yang sudah berkurang.
Modal nekat
Di antara mereka yang turun kelas ada beberapa yang berusaha keras untuk naik kelas lewat jalur pendidikan. Sekitar 21 tahun lalu, Sipin Putra (38) nekat membeli formulir Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) dengan uangnya sendiri, tanpa restu orangtua. Kenekatan itu memboyongnya meraih gelar sarjana di Universitas Indonesia (UI) hingga mengubah nasib keluarganya yang tinggal di Jombang, Jawa Timur, menjadi lebih baik.
Laki-laki yang kini berprofesi sebagai dosen honorer di Jakarta itu mengenang, orangtuanya tak mengizinkan dia untuk mengambil studi strata-I karena ketiadaan biaya. Begitu tamat SMA, dia diminta langsung bekerja menambal ban vulkanisir.
Perjalanannya untuk bisa berkuliah S-1 Antropologi UI penuh lika-liku hingga akhirnya terwujud. Dia kerap mencari keringanan biaya dan beasiswa. Setelah lulus, nasibnya berubah 180 derajat. Mulai Agustus 2007, dia bekerja di bidang periklanan yang membuatnya pertama kali naik pesawat. Pada Januari 2008, dia pindah kerja ke perusahaan televisi swasta.
Sejak 2008 itu pula, dia mulai berani untuk membeli tanah seluas 98 meter persegi di samping rumah orangtuanya. Rumah orangtuanya pun direnovasi, yang semula berdinding bambu menjadi batu bata. Dia juga membeli sawah sekitar 4.000 meter persegi untuk disewakan pada orang lain.
Pada Juli 2019, dia membayar uang muka untuk membeli rumah tempat dia bernaung saat ini lalu melunasinya pada akhir 2021. Dengan rata-rata pengeluaran saat ini sekitar Rp 4 juta-Rp 6 juta per bulan, dia tengah berdiri di dalam kelompok masyarakat kelas menengah.
Senada dengan Sipin, Rachel Elizabeth Hosanna (30) juga meyakini bahwa pendidikan sebagai batu loncatan untuk bisa mengubah nasib keluarga dan dirinya. Rachel muda selalu dibayangi pesan sang ibu untuk masuk SMP dan SMA negeri karena keterbatasan biaya. Saat itu, kondisi keuangan keluarganya tidak baik-baik saja, ayahnya bekerja serabutan setelah diberhentikan dari pekerjaan.
Dia pun harus belajar lebih keras secara mandiri di saat teman-teman lainnya ikut bimbingan belajar atau les privat. Usaha dan doa tak mengkhianati hasil. Dia berhasil diterima di Jurusan Ekonomi UI dengan beasiswa Bidik Misi. Dengan uang bulanan yang terbatas, dia mencari tambahan pemasukan dengan menjadi guru les dan asisten dosen. Ia juga sering berpuasa untuk menghemat uang makan.
Dia menetapkan target untuk bisa lulus tepat waktu dan segera mendapatkan pekerjaan. Tak selang lama, dia pun mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keinginan. Secara rutin, ia juga membantu keuangan di rumah karena merupakan generasi roti lapis yang masih harus menanggung pengeluaran rutin kebutuhan keluarga dan biaya kuliah adik bungsunya. Saat ini, Rachel bekerja sebagai karyawan swasta dengan pendapatan yang cukup.
Pada satu titik, kehidupan mungkin mengantar seseorang pada kondisi ekonomi yang tak terduga. Semoga tak ada dendam pada kemiskinan sehingga tetap mampu memaknai pentingnya menggenggam uang.