Rezim Digital: Antara Sistem Konstruktif dan ”Tukang Jagal”
Salah satu kejahatan siber paling merugikan ialah ”ransomware” yang menyebabkan kerugian global lebih dari Rp 4.000 triliun pada 2031.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA, DARI SINGAPURA
·4 menit baca
Digitalisasi menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi bagi banyak negara, tetapi sekaligus menambah ancaman bagi masyarakat hingga keamanan nasional. Agar ruang siber tetap mendatangkan manfaat secara aman, pendekatan multilateral dibutuhkan walaupun kini kian sulit dijalankan akibat masalah-masalah geopolitik.
Ekonomi digital menurut Bank Dunia berkontribusi terhadap 15 persen produk domestik bruto (PDB) global. Di Asia Tenggara, ekonomi digital bisa tumbuh hingga menembus 1 triliun dollar AS atau sekitar Rp 15.700 triliun pada 2030 berdasarkan riset Google, Temasek, dan Bain & Company.
Di Asia Tenggara, ekonomi digital bisa tumbuh hingga menembus 1 triliun dollar AS atau sekitar Rp 15.700 triliun pada 2030.
”(Dunia digital) Memungkinkan masyarakat saling berkomunikasi secara instan dengan jarak yang jauh sekalipun telah menciptakan peluang baru seperti e-dagang, yang mengangkat derajat individu dan komunitas terutama di perdesaan atau negara kepulauan,” ujar Wakil Perdana Menteri dan Menteri Koordinator Bidang Kebijakan Ekonomi Singapura Heng Swee Keat, Selasa (17/10/2023), di Singapura.
Heng Swee Keat menyampaikan pidato kunci untuk membuka Singapore International Cyber Week (SICW) 2023. Forum itu digelar untuk kedelapan kalinya dan mempertemukan peserta dari lebih dari 40 negara serta dari sejumlah organisasi internasional.
Tahun ini, acara yang diorganisasi oleh Badan Keamanan Siber (CSA) Singapura bertema ”Membangun Kepercayaan dan Keamanan di Tengah Tumbuhnya Orde Digital”.
Heng Swee Keat mengatakan, aliran deras informasi dan data merupakan urat nadi ekonomi digital. Namun, tanpa pengelolaan, arus deras itu bisa berbuah kerugian, seperti penipuan, serangan siber, hingga menyuburkan konflik bersenjata.
”Dalam dunia yang begitu saling terhubung dan saling bergantung, kita butuh membangun pemahaman bersama tentang bagaimana mendapatkan peluang baru serta mengelola risiko baru,” ujarnya.
Atas pertimbangan itu, penting menjalankan pendekatan multipihak serta memupuk kemitraan lintas batas dan sektor. Sayangnya, kata Heng Swee Keat, upaya semacam itu kian sulit akibat kondisi geopolitik mutakhir, seperti persaingan strategis antara Amerika Serikat dan China, masih berlangsungnya perang di Ukraina, serta konflik di Israel dan Gaza.
Di hari sebelumnya, Menteri Senior dan Menteri Koordinator Bidang Keamanan Nasional Singapura Teo Chee Hean menuturkan, pengaturan multilateral terkait ruang siber mesti berlandaskan rasa saling percaya. Pengaturan semacam itu dibutuhkan lantaran banyak isu ranah digital yang butuh tindakan kolektif.
”Contohnya kejahatan siber. Pelaku dan para korbannya tidak harus dalam wilayah yurisdiksi yang sama. Faktanya, sering kali mereka berada di yurisdiksi yang berbeda,” ujar Teo. Kondisi itulah yang banyak dialami korban penipuan daring di Singapura.
”Ransomware”
Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Letnan Jenderal (Purn) Hinsa Siburian menyebut ransomware sebagai salah satu jenis kejahatan siber yang berdampak paling besar saat ini. Infrastruktur informasi vital, khususnya pada sektor teknologi dan informasi serta sektor keuangan, paling banyak disasar.
Pelaku menggunakan ransomware untuk menyandera data dengan cara mengenkripsi lalu meminta tebusan kepada korban, mulai dari puluhan hingga jutaan dollar AS. Tidak ada jaminan kerugian jadi lebih ringan jika korban membayar. ”Karena korban tetap harus mengeluarkan biaya pemulihan sistem yang telah diserang,” kata Hinsa saat menjadi pembicara kunci dalam salah satu sesi diskusi SICW 2023.
Pusat Operasi Keamanan Siber Nasional BSSN mencatat lebih dari 900.000 serangan siber terjadi di Indonesia pada 2022. Serangan sepanjang 2023 diperkirakan naik dibandingkan tahun lalu, mengingat angka kurun 1 Januari-17 Oktober sudah mencapai lebih dari 879.000 serangan.
Merujuk analisis KnowBe4, kerugian global akibat ransomware pada 2021 sebesar 20 miliar dollar AS (sekitar Rp 314,2 triliun). Angkanya berpotensi jadi 265 miliar dollar AS (sekitar Rp 4.163 triliun) tahun 2031 jika ransomware tidak ditangani serius.
Karena itu, Hinsa mengajak delegasi dari seluruh negara di forum SICW untuk mendiskusikan dan merumuskan cara menghadapi serangan ransomware khususnya di kawasan Asia Tenggara. BSSN merekomendasikan langkah-langkah dalam bingkai kerja sama Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Salah satunya, mengembangkan ASEAN Regional Computer Emergency Response Team (CERT) sebagai wadah negara-negara ASEAN untuk pertukaran informasi melalui pemberian notifikasi, koordinasi berkesinambungan, dan memperkuat mekanisme penanganan serangan siber. Selain itu, membangun rencana contingency jika terjadi krisis siber di salah satu negara anggota.