Polusi udara tak hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga merugikan secara ekonomi dari biaya kesehatan. Biaya yang disalurkan BPJS Kesehatan untuk penyakit pernapasan selama 2018-2022 naik 27 persen.
Oleh
MARGARETHA PUTERI ROSALINA, SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA
·5 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Polusi udara menyelimuti langit Jakarta, Jumat (18/8/2023). Sejak Maret 2023 hingga Agustus ini, platform informasi mutu udara milik perusahaan Swiss, IQAir, beberapa kali menempatkan mutu udara harian Jakarta dalam kategori tak sehat.
Genia (30), warga Slipi, Jakarta Barat, tidak mengira jika batuk pileknya pada awal Agustus 2023 berakhir dengan infeksi paru. Ia harus menjalani perawatan di rumah sakit selama lima hari dengan biaya puluhan juta rupiah.
Diawali dengan gejala bersin-bersin, pilek, dan batuk berdahak, hingga sesak napas yang membuat ibu hamil tujuh bulan tersebut sekarang harus membatasi aktivitasnya di luar rumah. ”Mulai dari bersin-bersin parah dan besoknya jadi batuk pilek. Dokter bilang, ini batuk alergi,” kata Genia, Selasa (15/8/2023).
Sepekan sebelumnya, setelah ia menghadiri acara di sebuah hotel di Senayan, Jakarta, kondisinya semakin parah. ”Saya sampai sesak napas, batuk parah sampai bersuara grok-grok. Sesaknya makin parah dari pukul lima sampai sembilan malam,” tutur karyawan perusahaan asuransi tersebut.
Karena kondisinya makin parah, suaminya membawa Genia ke rumah sakit. Hasil diagnosis dokter dari hasil rontgen paru mengejutkannya. ”Dokter bilang, infeksi paru kanan. Paru kanan terlihat ada bercak-bercak putih dan mengalami penurunan fungsi,” ujarnya.
Penyebab infeksi paru yang menurut dokter dari virus, udara, dan musim pancaroba semakin mengejutkan Genia. ”Polusi udara dan cuaca, ya, Dok? Emang seburuk apa? Terus saya harus gimana?” kata karyawan swasta tersebut.
Akhirnya, ia dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif selama enam hari.
Sementara Soni (45), warga Kota Tangerang, sudah sebulan ini empat kali berobat ke dokter karena batuk parah. Pengobatan dengan antibiotik tak juga mengurangi intensitas batuknya. ”Aku baru kali ini batuk parah sampai rasanya limbung, enggak kuat berjalan,” kata karyawan swasta ini.
Dari tiga kali berobat, diagnosis dokter adalah bronkitis akut. Dokter masih memantau perkembangan penyakitnya hingga akhir minggu ini. Jika batuk belum mereda, dokter meminta Soni untuk rontgen paru.
Soni masih belum mengetahui penyebab penyakitnya. Hanya, dia menduga karena faktor polusi udara. Selama ini ia menggunakan sepeda motor untuk perjalanan dari rumahnya ke stasiun kereta yang membuatnya rentan terpapar polusi udara.
Merujuk laman Kementerian Kesehatan, bronkitis akut, radang pada selaput bronkial, disebabkan oleh virus yang menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), seperti rhinovirus. Bronkitis akut terjadi apabila ISPA tidak sembuh dan menyebar ke bronkus. Salah satu faktor risiko penyebab bronkitis adalah polusi udara, seperti asap kendaraan, debu, serta asap rokok.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Pengendara sepeda motor mengenakan masker saat melaju di Jalan Serpong Raya, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (11/8/2023). Masker menjadi salah satu alat yang bisa digunakan masyarakat saat beraktivitas di luar ruang untuk terhindar dari menghirup udara yang tercemar polusi.
Sampai pindah rumah
Polusi tak hanya terjadi di Jabodetabek, kualitas udara yang buruk juga terjadi di kawasan Padalarang, Bandung Barat. Sumber polutannya diduga berasal dari industri pengolahan batu gamping.
Dari pengukuran kualitas udara menggunakan sensor pemantau udara kategori low-cost yang dilakukan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, Kamis (10/8/2023), di Desa Ciburuy, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, diketahui, kadar polutan PM 2,5 mencapai 200 µg/m3. Bahkan, saat truk lewat, angka melonjak menjadi 400 µg/m3.
Pajanan polutan ini juga mengakibatkan iritasi kulit. Salah satunya gatal-gatal yang diderita oleh Heri (61). Menurut Ririn (29), anak Heri, sudah beberapa bulan terakhir ini bapaknya gatal di sekujur tubuh. ”Kasihan, tidak bisa tidur tiap malam. Tiap hari juga minum obat gatal,” kata Ririn saat ditemui di kios pulsa miliknya.
KOMPAS/ALBERTUS KRISNA
Tingginya polusi udara di salah satu lokasi di Desa Ciburuy, Kecamatan Padalarang, Bandung Barat, terlihat dari debu yang terperangkap di dedaunan sejumlah pohon. Pengamatan dilakukan Kompas pada Kamis (10/8/2023).
Akhirnya, kondisi tersebut membuat Heri dan istrinya sementara pindah rumah di Desa Kertamulya, 4 kilometer dari rumahnya sekarang. ”Bapak sama mama, ngontrak rumah, baru aja seminggu ini,” tutur Ririn.
Kesehatan janin
Ancaman kesehatan akibat polusi udara mewujud dalam berbagai hal. Menurut anggota Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dr Nuryunita Nainggolan, efek jangka pendek polusi udara adalah mata merah, hidung berair, bersih, sakit tenggorokan, batuk berdahak, iritasi kulit, ISPA, asma, dan penyakit paru kronik.
Dampak jangka panjang bisa menimbulkan penurunan fungsi paru, penyakit jantung dan pembuluh darah, serta penyakit kanker.
Ibu hamil menjadi salah satu kelompok warga yang paling rentan terdampak pajanan polusi udara. ”Ibu hamil yang terpajan polutan bisa memengaruhi kesehatan janin yang dikandungnya. Dampaknya bisa kelahiran prematur atau berat lahir yang rendah, kematian bayi, atau meningkatkan kesakitan selama kehamilan,” kata Kepala Divisi Respirologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RS Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) dr Darmawan Setyanto.
Beberapa penelitian menyebutkan, polusi udara ini menyumbang terjadinya tengkes pada anak-anak, yang selanjutnya akan mengurangi fungsi paru, dan meningkatkan risiko terjadinya asma.
Biaya kesehatan
Polusi udara juga merugikan perekonomian warga. Seperti Genia, biaya perawatan selama enam hari di rumah sakit mencapai Rp 32 juta. Itu belum termasuk biaya berobat selama dua kali, sebelum dirawat di rumah sakit.
Sementara itu, Heri harus mengeluarkan Rp 1 juta setiap bulannya untuk mengontrak rumah supaya terhindar dari pajanan polutan di kawasan Padalarang.
Hal yang sama juga terjadi dengan Soni. Sebulan ini dia sudah menghabiskan biaya sekitar Rp 2 juta untuk berobat lima kali ke dokter. Biaya itu belum termasuk dengan biaya berobat tiga anggota keluarganya yang lain, yang totalnya mencapai Rp 4 juta selama sebulan.
Nilai uang yang terbuang akibat polusi udara memang relatif besar, baik bagi individual seperti Genia, Heri, dan Soni, maupun secara kolektif bagi Indonesia.
Kajian Greenpeace pada 2020 menunjukkan, kerugian ekonomi akibat polusi udara di Jakarta mencapai Rp 21,5 triliun atau setara dengan 26 persen anggaran kota Jakarta tahun 2020.
Hitungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan lembaga nonprofit Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), kerugian ekonomi untuk perawatan kesehatan polusi udara pada 2010 senilai Rp 38,5 triliun dan meningkat menjadi Rp 51,2 triliun pada 2016.
Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) menunjukkan peningkatan biaya kesehatan selama lima tahun terakhir untuk lima penyakit pernapasan, yaitu asma, kanker paru, pneumonia, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dan tuberkulosis (TBC).
Pada 2018, total biaya yang disalurkan oleh BPJS Kesehatan mencapai Rp 3,7 triliun. Pada 2022, angka ini mencapai Rp 4,7 triliun dengan jumlah kunjungan pasien hingga 1.007.592 kasus. Ini artinya, dalam setahun, rata-rata seorang penderita mengeluarkan biaya Rp 4,78 juta.
Polusi udara ini tidak hanya berdampak terhadap Genia, Soni, ataupun Heri di kawasan Bandung Barat, tetapi juga berisiko bagi seluruh masyarakat yang tinggal di lingkungan dengan udara kotor. ”Polusi udara ini seserius itu, sesuatu yang nyata-nyata, bukan mengada-ada,” kata Genia menutup pembicaraan.