Anak-anak, salah satu kelompok warga yang rentan terpapar polutan. Tak hanya sakit pernapasan, tapi juga sistem syaraf yang berdampak pada gangguan mental dan perkembangan motorik anak.
Oleh
MARGARETHA PUTERI ROSALINA, ALBERTUS KRISNA, SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·5 menit baca
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN
Monumen Nasional berselimut kabut pada Kamis (10/8/2023) siang. Kualitas udara yang buruk di Jakarta dan wilayah sekitarnya masih menjadi permasalahan yang serius.
Becca (7) dan Alvin (3) tergolek lemah di tempat tidur Instalasi Gawat Darurat sebuah rumah sakit di Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, Banten, dengan menggunakan masker oksigen alat bantu pernapasan, Senin (12/6/2023) . Keduanya dibawa ke rumah sakit setelah bergejala mual, muntah, batuk, dan demam selama tiga hari berturut-turut.
”Saya bawa mereka ke rumah sakit karena mulai ’megap-megap’, kesulitan bernapas, dan saturasi oksigennya terus menurun,” kata Alwin (35), ayah dua anak tersebut.
Setelah dua kali dibantu dengan alat nebulizer, Alvin kembali bernapas normal, dan diperbolehkan pulang. Hanya saja, Becca tetap melanjutkan perawatan selama empat hari karena hasil tes darahnya menunjukkan ada peningkatan leukosit, sel darah putih.
MARGARETHA PUTERI ROSALINA
Becca (7), warga Kelapa Dua, Kab. Tangerang dua kali menjalani perawatan di rumah sakit pada pertengahan Juni dan Agustus. Dia didiagnosa pneunomia karena polusi udara.
Hasil diagnosis dokter, Becca menderita pneumonia dan Alfin sakit asma yang disebabkan polusi udara. Hasil diagnosis dokter tersebut cukup mengejutkan Alwin dan Ribka (34), istrinya. Sebab, selama ini anak mereka terlihat sangat sehat dan tidak pernah sakit.
Dua hari setelah itu, kondisi Alwin dan Ribka kembali membaik meski menyisakan batuk kecil. Namun, berbeda halnya bagi dua anak yang ikut dalam acara makan bersama.
Saat ditemui Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, Rabu (16/8), Becca dan Alvin pun sudah terlihat sehat. Keduanya sibuk bermain gim dalam tablet, dan sesekali Becca menggambar. Becca bercerita dengan suara lirih yang dirasakan saat dirawat di rumah sakit dua bulan yang lalu, ”Tidak enak rasanya, susah napas.”
Nasib serupa dialami Cila (6), warga Tanah Baru, Kota Depok, Jawa Barat. Dokter mendiagnosis Cila batuk alergi yang diduga karena paparan polusi udara. Cila sudah empat bulan ini sakit batuk berdahak, tak kunjung sembuh.
Gadis kecil itu mulai sakit batuk sejak Mei 2023. ”Saya mengira batuk biasa, karena sejak masuk TK, dia menjadi sering sakit batuk. Tetapi, ini sudah satu bulan minum obat, kok, enggak sembuh,” kata Arief (37), ayahnya.
Arief kemudian membawa Cila berobat ke dokter umum. Dokter meresepkan obat antibiotik, tetapi hingga Juli, batuknya tak kunjung reda.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pasien dengan gejala batuk dan sesak antre memeriksakan diri di Poli Batuk dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Puskesmas Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, Selasa (22/8/2023).
Pemeriksaan dilanjutkan ke dokter spesialis anak, awal Agustus 2023. Hasil diagnosis terhadap Cila, batuk alergi yang dialaminya disebabkan beberapa faktor eksternal, seperti bulu hewan, asap rokok, debu, dan polusi udara.
“Kemungkinannya tinggal debu dan polusi udara,” jelas Arief.
Arief menduga Cila terpapar polusi udara saat menempuh perjalanan dari rumah ke sekolah, dan sebaliknya, sejauh 500 meter. “Bisa jadi saat perjalanan itu. Cila enggak pakai masker, kita lewat perempatan yang macet, dan sekolahnya ada di pinggir jalan besar,” kata Arief.
Setelah pengobatan selama sebulan dan menjauhkan dari faktor risiko penyebab alergi, Cila dinyatakan sembuh. “Kata dokter, Cila alergi debu dan polutan,” ujar Arief setelah berobat lagi, Kamis, (30/08/2023) lalu.
Kata dokter, Cila alergi debu dan polutan,
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Dokter memeriksa dengan stetoskop pasien bergejala batuk di Poli Batuk dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Puskesmas Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, Selasa (22/8/2023).
Iritasi Kulit
Selain mengakibatkan penyakit pernapasan, polusi udara bisa menyebabkan iritasi kulit, seperti yang dialami Salu (9), warga Desa Ciburuy, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Rumah Salu berada tidak jauh dari kawasan tambang karst di Kecamatan Padalarang.
Menurut Ririn (29), ibunya, Salu sering mengalami gatal-gatal di bagian tengkuk dan kaki. Rumah Ririn berada kurang 500 meter dari industri pengolahan batu gamping. “Anak saya ‘gatalan’ terus, sampai gak bisa tidur. Digaruk-garuk terus sampai merah dan akhirnya lecet,” kata Ririn sambil menunjukkan tengkuk Salu yang memerah dan lecet.
Bekas gatal-gatal yang di kaki pun masih terlihat, meninggalkan beberapa luka bopeng di kaki kanan dan kiri Salu.
KOMPAS/ALBERTUS KRISNA
Kualitas udara di luar ruang di salah satu lokasi di Desa Ciburuy, Kecamatan Padalarang, Bandung Barat. Pengukuran dilakukan Kompas pada Kamis (10/08/2023).
Anak paling rentan
Selain ibu hamil, orang tua, dan pekerja luar ruangan, anak-anak merupakan kelompok warga yang paling berisiko terpajan polutan. Menurut Staf pengajar Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)-Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, dr Feni Fitriani Taufik, anak-anak rentan terdampak polutan karena kondisi anatomi dari saluran napas dan sistem imunitasnya belum sempurna, sehingga saat terkena pajanan polusi, anak-anak lebih mudah sakit.
Anak yang mengalami pajanan polutan, akan menjadi lebih rentan di masa yang akan datang. “Dengan berulangnya terkena ISPA, dia akan mudah mengalami gangguan perkembangan fungsi paru dan mengganggu daya tahan tubuhnya saat dewasa, hingga masa tua nanti,” jelas Feni dalam konferensi pers Perhimpunan Dokter Spesialis Paru, Jumat (18/08/2023).
Secara terpisah Kepala Divisi Respirologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo (FKUI – RSCM), dr Darmawan Setyanto juga mengatakan polutan tidak hanya merusak sistem pernapasan anak, tapi juga sistem syaraf yang selanjutnya bisa menyebabkan gangguan mental dan perkembangan motorik, hingga memengaruhi kecerdasan anak.
Darmawan juga menyebutkan polusi udara juga meningkatkan risiko terjadinya kanker pada anak dan dalam jangka panjang, serta meningkatkan risiko penyakit jantung dan diabetes.
Kadar polutan di Jabodetabek belum kunjung menurun hingga saat ini. Alwin, Ribka, dan Arief memilih untuk membatasi anak-anaknya untuk tidak bermain di luar ruangan selama berada di kawasan Jabodetabek.
Warga tanpa mengenakan masket melintasi mural di Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara, Kamis (31/8/2023). Polusi udara turut memicu lonjakan kasus infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) di Jabodetabek.
Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta Prof DR dr Agus Dwi Susanto menyarankan para orangtua untuk rutin memantau kondisi kualitas udara.
Agus juga mengingatkan supaya anak-anak kembali menggunakan masker. Stamina tubuh juga harus terjaga, lebih banyak minum air putih, makan makanan sehat, menghindari aktivitas tinggi, dan segera berobat ke dokter, jika ada keluhan.
Jangan sampai karena polusi udara ini, kondisi pandemi terulang lagi. Anak-anak tidak bisa beraktivitas di luar dengan bebas lagi
Pada akhirnya orangtua seperti Alwin, Ribka, dan Arief berharap pada pemerintah untuk serius menangani polusi udara. Polusi udara pada anak tidak hanya berdampak fisik tetapi juga pada perkembangan mental anak yang aktivitasnya kembali terbatas karena polusi udara.
“Jangan sampai karena polusi udara ini, kondisi pandemi terulang lagi. Anak-anak tidak bisa beraktivitas di luar dengan bebas lagi,” kata Ribka dengan nada cemas. Entah sampai kapan kecemasan ini berakhir.