Polusi udara terjadi di semua kota di Indonesia. Warga kota-kota di Indonesia menghirup udara dengan tingkat polusi PM 2,5, melebihi ambang batas sehat.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA, M PUTERI ROSALINA
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Kabut polusi menyelimuti langit Jakarta yang sedang menjadi tuan rumah KTT ASEAN 43, Minggu (3/9/2023). Menurut situs IQAir, pada Minggu sekitar pukul 11.00 nilai indeks kualitas udara di Jakarta adalah 164 atau dalam kondisi tidak sehat.
JAKARTA, KOMPAS — Analisis Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menunjukkan, polusi udara bukan hanya menjadi problem warga di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi atau Jabodetabek.
Hanya 8,66 persen atau sekitar 409.000 dari 64,9 juta orang berdomisili di 98 kota Indonesia yang sehari-hari bisa menikmati udara bersih dengan kadar PM 2,5 di bawah ambang batas baku mutu ambien versi Pemerintah Indonesia, yakni 15 µg/m3 (mikrogram per meter kubik) tiap tahun.
Jika menggunakan ambang batas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahunan 5 µg/m3, hanya 0,6 persen dari 64,9 juta warga perkotaan Indonesia yang menikmati udara bersih. Artinya, semakin sedikit warga yang menikmati udara bersih sesuai standar WHO. Kategori warga perkotaan adalah warga yang tinggal di wilayah administrasi berstatus kota.
Warga di 98 kota di Indonesia terpapar polusi udara secara signifikan. Mayoritas penduduknya menghirup udara dengan tingkat polusi melebihi ambang batas 15 µg/m3 untuk polutan partikel PM 2,5. Partikel partikulat berukuran 2,5 mikron atau PM 2,5 dihasilkan dari sumber pencemar seperti kendaraan, alat berat, pembakaran hutan, dan kegiatan pembakaran lain.
Analisis Tim Jurnalisme Data Harian Kompas diperoleh dengan menghitung tingkat polusi di seluruh kota dan kabupaten di Indonesia dari data konsentrasi PM 2,5 Socioeconomic Data and Applications Center (SEDAC), sebuah bank data yang dikelola oleh Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA). Periode data yang digunakan adalah tahun 1998- 2019.
Kemudian informasi spasial SEDAC digabungkan dengan data persebaran penduduk Global Human Settlement Layer (GHSL). Data ini menghasilkan angka rata-rata konsentrasi PM 2,5 di setiap kota dan kabupaten di Indonesia, hanya di kawasan berpenduduk.
Temuan data ini dapat memberikan data polusi udara berbasis satelit yang lebih relevan bagi masyarakat. Selain itu, dengan data satelit, tingkat polusi di setiap area di Indonesia dapat dibandingkan secara langsung.
Siluet warga mencari mangga di tanggul Sungai Ciliwung di Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (7/9/2023).
Bukan anomali
Analisis tim juga menunjukkan tingkat polusi udara di Jabodetabek pada 2023 bukanlah anomali. Semestinya intervensi dapat dilakukan beberapa tahun lalu tanpa harus menunggu gelombang protes masyarakat saat ini dan makin parahnya polusi udara di kota-kota lain.
Berdasarkan sensor PM 2,5 milik Kedutaan Besar Amerika Serikat di kawasan Jakarta Pusat, rata-rata tingkat PM 2,5 selama 2023 hingga bulan Agustus adalah 32,9 µg/m3. Ini memang lebih tinggi 22,84 persen ketimbang tahun 2022 yang berada pada level 26,8 µg/m3.
Rata-rata tingkat PM 2,5 di Jakarta dan sekitarnya tahun ini sebenarnya lebih rendah dibandingkan dengan pada 2019 dan 2018. Pada 2019, angka PM 2,5 yang tercatat mencapai 39,7 µg/m3 dan tahun 2018 angka PM 2,5 mencapai 37,4 µg/m3. Artinya, kandungan polutan berbahaya jauh di ambang batas sudah terjadi pada tahun 2018 dan 2019.
Penyebab polusi udara Jakarta dan sekitarnya selalu tinggi, terutama di musim kemarau dihasilkan dari beberapa sumber. Kajian organisasi kesehatan global Vital Strategies yang bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta dan ITB (2020) menyebut, sebanyak 42-57 persen dari kendaraan di seluruh kota, pembakaran terbuka 9 persen di bagian timur, debu jalan 9 persen di bagian barat. Kemudian 10 persen-18 persen dari partikel tanah tersuspensi dan 1 persen-7 persen dari aerosol sekunder yang terjadi di seluruh kota.
Lantaran kondisi ini, pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan sejumlah kebijakan. Kebijakan tersebut antara lain pembentukan Satgas Polusi Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), razia uji emisi DKI Jakarta mulai September 2023, WFH (work from home/bekerja dari rumah) untuk aparatur sipil negara (ASN) DKI Jakarta; penyemprotan jalan; hujan buatan; dan penutupan PLTU Suralaya, Banten, awal September 2023.
Intervensi terlambat
Rangkaian intervensi melalui sejumlah kebijakan pemerintah belum optimal. ”Jika kami menemukan daerah lain yang memang masih kurang, akan kami libatkan untuk membuat peraturan daerah serupa seperti DKI Jakarta atau bisa lebih dari itu,” kata Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Sigit Reliantoro.
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sigit Reliantoro saat diwawawncarai di kantornya, pada Senin (21/8/2023) di Jakarta.
Di sisi lain, saat ini sulit mengurangi tingkat polusi udara secara drastis dengan karakteristik transportasi, industri, dan produksi energi ”Mendapatkan udara sehat itu sangat sulit kecuali kita bersama-sama secara masif mengubah cara bertransportasi, produksi energi, dan tata kelola industri,” kata Pelaksana Tugas Deputi Bidang Klimatologi & Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Ardhasena Sopaheluwakan.
Sebagian kalangan mendorong langkah-langkah ekstrem untuk mengurangi polusi udara. ”Ekstrem ini artinya diimplementasikan dalam waktu dekat sekaligus dengan sukses besar. Itu contohnya sumber-sumber (polusinya) dihabisi pakai energi alternatif, batubara langsung dihilangkan secara dramatis diganti dengan energi matahari,” kata Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Budi Haryanto.
Meskipun ada upaya pemerintah, pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menilai hal itu sangat terlambat. Menurut dia, akhir-akhir ini pemerintah cenderung menganggap pencemaran udara bukan sebagai masalah serius. ”Ini karena pemerintah beranggapan bahwa pencemaran udara akan hilang sendiri,” katanya.
Perlu upaya sungguh-sungguh seperti yang sudah ditunjukkan negara lain dalam menanggulangi pencemaran udara
Menurut Trubus, sekarang merupakan momentum yang tepat bagi pemerintah untuk menanggulangi pencemaran udara secara komprehensif. ”Perlu upaya sungguh-sungguh seperti yang sudah ditunjukkan negara lain dalam menanggulangi pencemaran udara,” kata Trubus seraya berharap pemerintahan yang akan datang menangkap masalah ini sebagai isu serius.