Sejumlah warga yang berminat adopsi tak mengetahui atau memperoleh informasi yang salah mengenai prosedur adopsi. Ketidaktahuan membuat mereka menempuh jalur tak resmi hingga menanggung kerugian saat rencana tak berjalan
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM, ANDY RIZA HIDAYAT, INSAN ALFAJRI, ADITYA DIVERANTA, DHANANG DAVID ARITONANG
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sosialisasi prosedur adopsi jalur resmi masih minim. Sejumlah warga yang berminat adopsi tak mengetahui atau memperoleh informasi yang salah mengenai prosedur adopsi. Ketidaktahuan membuat mereka menempuh jalur tak resmi hingga menanggung kerugian saat rencana tak berjalan.
Pasangan yang sudah 15 tahun menikah, Rinawati (46) dan Syafei (47), bukan nama sebenarnya, mencari bayi untuk diadopsi sejak tahun 2020. Pasangan itu telah menikah 15 tahun namun juga belum dikaruniai anak. Selama itu, mereka hanya mencari informasi soal adopsi anak dari kenalan di sekitar lingkungan mereka.
Rinawati mengatakan, ia dan suaminya tak tahu jalur resmi adopsi sama sekali. “Saya tidak tahu jalur resmi itu harus ke mana dulu, harus ke yayasan apa atau harus ke dinas apa. Jadi ya hanya tanya-tanya mencari bayi untuk diangkat anak,” kata warga Ungaran, Jawa Tengah itu, Selasa (9/5/2023).
Perempuan bertubuh mungil itu sempat berniat mengadopsi janin yang masih dalam kandungan seorang pelajar SMA yang hamil di luar nikah. Informasi awal ia peroleh dari kenalannya sekitar tahun 2020 lalu. Rinawati dan suaminya sepakat untuk mengeluarkan biaya pemeriksaan kandungan dan perawatan ibu selama mengandung untuk nantinya bayi mereka angkat anak.
Total biaya yang sudah ia keluarkan untuk keperluan itu sekitar Rp 3 juta. Namun, kesepakatan itu akhirnya batal dari pihak pelajar yang mengandung tersebut. Rinawati tak pernah menerima ganti biaya yang sudah ia keluarkan tersebut.
Pasangan itu baru berhasil memperoleh bayi untuk diangkat anak sekitar tahun 2022 lalu dari kerabat jauhnya. “Ya justru setelah mengangkat anak saya sekarang, baru saya tahu cara saya ini salah,” kata Rinawati yang bekerja sebagai pegawai Kementerian Keuangan itu.
Informasi keliru
Di Kota Surabaya, Al (50) mengaku enggan untuk mendaftar adopsi bayi melalui jalur resmi. Alim dan istrinya berniat mengadopsi bayi karena kehilangan anak tunggalnya pada 2019 lalu yang meninggal karena kanker. Pasangan itu mencari anak untuk diadopsi untuk meneruskan garis keluarga.
Karena usia, pasangan itu merasa sudah tidak mungkin mempunyai anak kandung sendiri lagi. Al sudah sempat mencari informasi mengenai prosedur resmi untuk mengangkat anak. Namun ia memperoleh informasi yang keliru, yaitu salah satu syaratnya adalah mempunyai slip gaji. Sementara Al merupakan pemilik kios sayuran di salah satu pasar tradisional di Surabaya yang tak mempunyai slip gaji.
Padahal, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak hanya menyebutkan syarat Surat keterangan penghasilan sehingga layak mengangkat anak. Peraturan itu tak menyebutkan slip gaji sebagai syarat. PP 54/2007 tersebut merupakan turunan dari UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Berdasar informasi keliru itu, ia pun enggan menempuh jalur resmi. “Saya dapat info begitu, ya tidak mungkin kan saya lewat jalur resmi karena tidak ada slip gaji. Meskipun ya penghasilan kios kami ini mungkin lebih dari gaji rata-rata pegawai di sini,” ujarnya.
Tahun 2022, Al memperoleh informasi adanya bayi yang tersedia untuk adopsi di Kota Probolinggo, Jawa Timur. Informasi yang ia terima, ibu kandung bayi tersebut awalnya berniat menggugurkan kandungan. Tanpa proses yang rumit, ia berhasil mengangat bayi lelaki dari Kota Probolinggo itu ke Surabaya. Pasangan Alim dan istrinya berniat baik untuk merawat anak yang menurut informasi tak diinginkan ibunya itu.
Mereka mengadakan syukuran meriah untuk seluruh kampung untuk memperkenalkan bayi itu sebagai keluarrga. Setelah merawat selama tiga bulan, ibu kandung bayi, YH (27), meminta anak itu kembali. Alasannya, YH merasa tertipu oleh para bidan yang menolong persalinannya. Saat bayi lahir, YH mengurungkan niat mengadopsikan bayinya. Namun ia tak berani membawa pulang bayinya karena para bidan itu mengancam YH harus membayar Rp 100 juta karena awalnya sepakat mengadopsikan.
Awalnya, Al berusaha mempertahankan bayi lelaki itu karena keluarga besarnya sudah jatuh sayang. Namun, ia ketakutan dengan tuduhan pasal perdagangan orang. Dengan berat hati, ia menyerahkan kembali bayi itu ke ibu kandungnya. Al menghitung kerugian karena masalah itu mencapai sekitar Rp 75 juta dari biaya merawat selama tiga bulan termasuk biaya menyelenggarakan syukuran.
Uang itu tak pernah digantikan. “Saya sudah habis uang banyak sebenarnya. Untuk syukuran, lalu merawat bayi tiga bulan. Saya sempat mau minta ganti rugi Rp 75 juta, tapi melihat kondisi ibunya yang kurang mampu, saya batal minta,” katanya.
Tak hanya kerugian materi, Alim dan keluarganya juga mengalami kerugian secara mental. Mereka harus memutus tali kasih pada bayi yang sempat mereka rawat tersebut. Selain itu, mereka juga terbeban secara mental karena harus berurusan dengan pihak berwajib karena perkara itu. Setelah kejadian itu, Alim mengaku trauma untuk mengangkat anak lagi. Untuk melepas rindu, ia masih sering membuka foto-foto bayi yang masih banyak tersimpan di telepon pintarnya.
Yang sangat kurang adalah sosialisasi dari pemerintah. Tapi untuk aturan, kalau diikuti tidak susah-susah banget kok. Hanya saja, banyak orang tidak sabar melalui prosedurnya
Ketua Umum Yayasan Sayap Ibu Jakarta Tjandrawati Subiyanto mengatakan, sosialisasi prosedur adopsi dari pemerintah masih kurang. Sehingga, aturan yang sebenarnya mudah terkesan rumit dan memakan waktu panjang. Padahal, katanya, aturan ini dibuat untuk melindungi hak anak yang diadopsi dan orangtua yang mengangkat anak.
“Yang sangat kurang adalah sosialisasi dari pemerintah. Tapi untuk aturan, kalau diikuti tidak susah-susah banget kok. Hanya saja, banyak orang tidak sabar melalui prosedurnya,” katanya. Yayasan Sayap Ibu merupakan salah satu yayasan yang memperoleh izin resmi untuk menjalankan prosedur resmi adopsi anak.
Di sejumlah grup mengenai adopsi anak di media sosial, sejumlah percakapan juga membahas mengenai modus-modus penipuan berkedok adopsi lewat jalur tak resmi. Penipuan yang banyak terjadi adalah orang yang berminat mengangkat anak dimintai uang sebelum pertemuan.
Namun anak yang dijanjikan itu sebenarnya tidak ada. "Saya kena Rp 2 juta waktu itu. Dia minta transfer, tapi tidak pernah datang seperti janjinya. Ini bukan soal materi saja yang hilang, tapi juga korban perasaan karena merasa akan segera dapat momongan, ternyata ditipu," kata akun facebook Puti di salah satu grup adopsi tersebut.