Terlihat ribet, namun adopsi jalur resmi adalah jalan yang paling aman untuk menjamin hak anak. Sementara, cara lewat jalur tidak resmi berisiko menghilangkan berbagai hak anak yang hendak diadopsi di kemudian hari.
Oleh
ADITYA DIVERANTA, INSAN ALFAJRI, IRENE SARWINDANINGRUM, DHANANG DAVID ARITONANG, ANDY RIZA HIDAYAT
·4 menit baca
Adopsi anak lewat jalur resmi terlihat ribet, tetapi inilah jalan yang paling aman menjamin hak anak. Sementara adopsi di luar prosedur formal tanpa penetapan pengadilan sekilas tampak mudah dilakukan.
Namun, praktik ini bisa membawa masalah di kemudian hari. Tak jarang, terjadi konflik keluarga terkait asal usul, harta warisan, dan masalah keluarga lain.
Proses adopsi lewat jalur tidak resmi berisiko menghilangkan hak anak-anak yang diadopsi. Mereka bisa kehilangan jejak asal-usulnya.
Jika asal-usul yang disembunyikan diketahui pada usia dewasa, pencarian orangtua kandung mereka dapat memakan waktu dan energi. Situasi seperti itu dialami ribuan orang yang tergabung di grup Facebook dengan akun Mencari Orang Tua Kandung. Forum dengan 11.000 pengikut ini dibuat untuk mempertemukan orang-orang yang terpisah dari orangtua kandung mereka.
Adopsi alias pengangkatan anak adalah sesuatu yang legal dan diatur negara. Pasal 39 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 juncto Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan, praktik ini bertujuan untuk kepentingan terbaik anak, dan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan serta perlindungan anak. Cara yang dilakukan pun harus sesuai adat kebiasaan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Proses adopsi lewat jalur tidak resmi berisiko menghilangkan hak anak-anak yang diadopsi. Mereka bisa kehilangan jejak asal-usulnya
Merujuk aturan itu, adopsi anak yang sah dilakukan melalui penetapan pengadilan untuk memastikan berbagai hak anak di masa mendatang. “Ketika dia (anak) tidak punya status secara legal. Maka berbagai hak anak yang melekat, apakah itu hak melanjutkan pendidikan, hak mendapat perlindungan, itu tidak akan didapatkan. Itu kerugian besar untuk anak-anak kita,” kata Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial Kanya Eka Santi, Rabu (29/3/2023).
Adopsi yang berjalan di Indonesia juga tidak memutus pertalian atau nasab antara anak yang diangkat dengan orangtua kandung. Hal ini untuk memastikan kejelasan asal-usul anak sehingga dia tahu siapa orangtua kandungnya.
Kanya menyesalkan para orangtua yang menempuh jalan pintas dengan mengabaikan syarat formal adopsi. Tim Investigasi Harian Kompas mengungkap adanya upaya mengubah jejak asal usul anak sejak proses kelahiran, seperti yang terjadi pada anak yang dilahirkan NI (26), di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, 17 Juni 2022 lalu.
Cara-cara seperti itu merugikan anak karena dia terancam terputus hubungan keluarganya dengan orangtua kandung. Sementara dalam aturan adopsi anak, anak memiliki hak mengetahui nasab serta orangtua kandungnya.
Berbagai hak anak yang melekat, hak melanjutkan pendidikan, hak mendapat perlindungan, itu tidak akan didapatkan. Itu kerugian besar untuk anak-anak kita
Terlalu lama
Di satu sisi, sebagian orangtua angkat yang menempuh proses legal merasakan adopsi di Indonesia terlalu lama. Karmila (57), bukan nama sebenarnya, baru berhasil mengadopsi anak setelah dua tahun. Pada akhir 2021, dia baru bisa hidup bersama anak angkatnya yang kala itu masih usia empat tahun.
Proses yang dijalani itu pun tidak mudah. Dia melalui pemeriksaan psikologi, kesehatan, kelengkapan dokumen perizinan, hingga fase adaptasi bersama sang anak.
Dia memahami ada proses yang mesti ditempuh demi memastikan hak anak terpenuhi. Namun, waktu dua tahun dirasa terlalu lama untuk meninjau berbagai aspek itu. Perempuan yang tinggal di Jakarta ini masih ingat, berlarut-larutnya penerbitan dokumen perizinan menyebabkan calon anak angkatnya terlambat mendaftar sekolah dasar.
Dia berharap, proses penerbitan dokumen perizinan untuk adopsi tidak perlu memakan waktu berbulan-bulan. “Aku bilang mestinya dipermudah. Tes psikologi itu harus. Tetapi syarat-syarat yang lain, kayak syarat formal dokumen itu mestinya bisa dipercepat,” tutur perempuan arsitek ini.
Pengalaman Karmila sejalan dengan ketentuan yang berlaku. Dari sisi anak, ada syarat-syarat yang harus dipehuni, di antaranya belum berusia 18 tahun. Ia juga dipastikan berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak, merupakan anak terlantar atau ditelantarkan, serta memerlukan perlindungan khusus.
Sementara, calon orangtua angkat harus sehat jasmani dan rohani, dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial, beragama sama dengan calon anak angkat, berumur minimal 30 tahun hingga paling tinggi 55 tahun, serta telah berstatus menikah paling singkat lima tahun.
Calon orangtua angkat juga harus memperoleh izin persetujuan tertulis dari Kementerian Sosial, atau dari lembaga pengasuhan anak. Syarat-syarat tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
Pada tahap awal proses adopsi lewat lembaga pengasuhan anak, ada prosedur wawancara untuk mengetahui motivasi calon orangtua angkat memutuskan adopsi. Selanjutnya, calon orangtua mesti memenuhi syarat dalam PP Nomor 54 Tahun 2007.
“Kalau cara yang benar memang agak sulit. Adopsi itu tidak seperti kita membeli barang. Karena ini berhubungan langsung dengan manusia,” jelas Ketua Yayasan Sayap Ibu Jakarta Tjondrowati Subiyanto.
Setelah berkas-berkas dapat dipenuhi, ada pula proses kunjungan dari Dinas Sosial untuk memastikan informasi dari calon orangtua angkat. Selepas verifikasi berbagai berkas dan proses kunjungan, calon orangtua diberikan pengasuhan anak sementara selama enam bulan. Fase ini menjadi kesempatan untuk memastikan bahwa orangtua angkat ini cocok dan layak mengasuh.
Apabila fase pengasuhan sementara berjalan lancar, maka selanjutnya dikeluarkan surat rekomendasi izin pengangkatan anak agar dapat diproses di Kementerian Sosial. Apabila berjalan lancar, fase terakhir adalah penilaian kelayakan dengan Tim Pertimbangan Pengangkatan Anak di Kementerian Sosial yang memutuskan apakah calon orangtua angkat diizinkan mengadopsi anak.
Menurut Tjondrowati, proses adopsi paling cepat bisa memakan waktu sekitar satu setengah tahun. Lama atau tidaknya proses asesmen adopsi sangat bergantung dari calon orangtua angkat. Sebagian proses adopsi memakan waktu lama lantaran calon orangtua angkat tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan.