Ironi keluarga miskin dengan anak mengalami gizi buruk di Nusa Tenggara Timur. Mereka senang karena status anaknya mengalami gizi buruk. Dengan status tersebut, mereka bisa dapat bantuan.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, M PUTERI ROSALINA, ALBERTUS KRISNA
·5 menit baca
Jawaban pendek ibu muda, Katrina Kaka (19) sontak membuat tim tenaga kesehatan yang berkunjung tertegun. “Senang. Karena ikut gizi buruk to?” kata Katrina sembari memangku anaknya, bocah laki-laki kecil nan kurus bernama Mikaela Andika Bane yang masih berusia 1,5 tahun.
Tim tenaga kesehatan yang berkunjung ke rumah Katrina jelas kaget. Sebab, pertanyaannya yang disampaikan adalah, bagaimana perasaannya mendengar anaknya terus-terusan digolongkan sebagai anak gizi buruk?
Kamis (10/11/2022) siang itu, ahli gizi Imelda Tamo Inya, bersama dokter dari Puskesmas Kawangohari, Sumba Barat Daya, mengunjungi sejumlah keluarga yang memiliki balita berstatus gizi kurang dan buruk.
Para balita ditimbang berat badannya, diukur tinggi badan dan lingkar lengannya. Obat-obatan pun diberikan apabila ada yang sedang sakit.
Mendengar jawaban tidak lumrah, usai wawancara, ia pun 'mengonfrontasi' Katrina. Setelah beberapa menit berbicara dengan Katrina menggunakan bahasa daerah setempat, Bahasa Kodi, Imelda memberikan penjelasan lebih lanjut.
"(Katrina) senang kalau dikategorikan gizi buruk 'kan dapat bantuan pangan," tutur Imelda tersenyum getir.
Kondisi Mikaela memang memprihatinkan, tubuhnya kurus — ketika diukur dengan pita LiLA (lingkar lengan atas), angka menunjukkan balita itu memiliki berat badan di bawah standar. Selain menangis ketika ditimbang dan diukur fisiknya, Mikaela hanya terpejam dan terkulai lemas di pelukan Katrina. Beberapa hari terakhir dia sakit panas.
Untuk sumber karbohidrat dan sayuran memang masih dapat dipenuhi. Namun, sumber protein dan vitamin sangat terbatas
Situasi ekonomi keluarga Katrina tidak kalah menyedihkan. Ia dan suaminya bekerja sebagai pekebun lahan kering. Upahnya adalah hasil dari lahan tersebut: jagung, ubi, dan keladi. Jika tidak ada bantuan uang tunai dari pemerintah, mereka tidak memegang uang tunai.
Untuk sumber karbohidrat dan sayuran memang masih dapat dipenuhi. Namun, sumber protein dan vitamin sangat terbatas. "Kami makan telur ayam sekali seminggu, digoreng untuk berempat," ujar Katrina.
Kini akibatnya, Mikaela tergolong gizi buruk. Gizi buruk bukan sekadar status. Mikaela memiliki daya tahan tubuh yang jauh lebih buruk ketimbang balita sepantarannya. Sejak lahir 1,5 tahun yang lalu, Mikaela sering sekali sakit panas yang berkepanjangan.
"Jika asupan gizi kurang, maka daya tahan tubuh pun rendah dan akan sering jatuh sakit. Asupan makanan yang mereka terima pun tidak bisa digunakan maksimal untuk tumbuh berkembang. Kelak di sekolah pun tidak bisa menerima pelajaran dengan baik," kata Imelda.
Angka tengkes di Sumba Barat Daya menurut data Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 adalah 44 persen. Angka ini masuk kategori tinggi di Indonesia, melebih rata-rata angka stunting NTT (37,8 persen) dan rata-rata nasional (24 persen).
Kurang literasi
Sementara itu, faktor literasi dan pola asuh menjadi penyebab tingginya angka tengkes di Maluku Utara. Dari data SSGI tahun 2021 mencapai 28 persen.
Kafya Syabila (4) berat badannya hanya sekitar 10 kilogram. Padahal menurut ketentuan Kementerian Kesehatan, balita seusia Kafya berberat badan 11,2 – 24,5 kilogram.
Jumat (11/11/2022), Kompas menemui Kafya di rumahnya di desa Wayaua, kecamatan Bacan Timur Selatan, Halmahera Selatan. Kafya mendapat kunjungan Bidan Mala karena tidak datang ke posyandu.
“Berat badan dia berapa bu?” tanya Bidan Mala pada Nur Iman (40), ibu Kafya. Namun, Nur hanya bisa menjawab, ”Hmm.. sepuluh koma,” katanya ragu-ragu. Bahkan Nur pun tidak bisa menunjukkan Kartu Menuju Sehat yang digunakan untuk mencatat berat badan bayi/balita di posyandu.
Menurut cerita Nur, selama ini Kafya hanya makan dengan porsi kecil. “Hanya mau nasi 5 sendok dengan sayur, ikan atau telur. Ini juga baru saja. Sebelumnya dia hanya mau 2 sendok,” jelas Nur. Porsi makan yang sedikit ini juga tidak ditambah dengan susu karena Kafya tidak suka susu.
Hal itu diperburuk dengan kegemarannya jajan permen, biskuit, dan makanan ringan setiap hari. “Iya ini dia jago beli-beli. Dari pagi sampai malam, tiap keluar rumah pasti jajan,” ujar Nur.
Jika asupan gizi kurang, maka daya tahan tubuh pun rendah dan akan sering jatuh sakit. Asupan makanan yang mereka terima pun tidak bisa digunakan maksimal untuk tumbuh berkembang. Kelak di sekolah pun tidak bisa menerima pelajaran dengan baik
Meski berat badan Kafya sangat kurang, tapi Nur merasa tidak khawatir dan menganggap sebagai hal yang lumrah. “Dua kakak Kafya juga kurus-kurus. Tarada (tidak ada) yang gendut. Mungkin karena saya dan suami juga kurus ya,” ujar Nur.
Menurut Mala, hampir semua orang tua balita tengkes di Desa Wayaua juga beranggapan yang sama. “Rata-rata enggak mengingat berat badan anak. Kadang juga tara (tidak) datang ke posyandu,” jelas Mala. Padahal menurutnya, dengan datang ke posyandu setiap bulan, mereka bisa memantau berat badan anak, sebagai salah satu langkah pencegahan tengkes.
Kepala Bidang Bina Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Halmahera Selatan Astuti banyak warga belum mengerti tentang tengkes. “Masih ada desa yang belum terpapar betul apa itu tengkes. Berat badan turun. Orang tua anggap normal-normal saja. Padahal kan salah,” jelas Astuti.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (P3AKB) Halsel Karima Nasarudin mengatakan, pola asuh orang tua juga menjadi penyebab tingginya angka tengkes di Halsel. “Mereka tidak telaten memberikan makanan secara teratur pada anaknya. Kalau anak enggak mau makan ya didiamkan saja,” jelasnya.
Pola asuh lainnya menurut Hajar, bidan Puskesmas Desa Marabose adalah orangtua yang sibuk bekerja sehingga tidak memperhatikan anaknya. “Banyak orangtua di sini yang berkebun. Anak taruh gitu saja sama nenek atau tetangga. Malah ada yang ditinggal tanpa susu atau makanan,” katanya.
Menurut Karima, tengkes di Halsel yang mempunyai potensi sumber daya alam melimpah sebenarnya tidak perlu terjadi. “Saya miris. Begitu kayanya Halsel. Begitu wahnya Halsel. Sekarang tampil dimana-mana karena tengkes,” kata Karima sedih.