Deteksi hewan ternak yang tidak optimal mengakibatkan penyebaran virus penyakit mulut dan kuku (PMK) semakin masif. Petugas dan peternak di lapangan hanya mengandalkan pengamatan gejala fisik tanpa tes PCR.
Oleh
DHANANG DAVID, ANDY RIZA HIDAYAT, IRENE SARWINDANINGRUM, INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM
Pujo Santoso (44), warga Ampel, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, merawat sapi-sapinya yang bergejala penyakit mulut dan kuku dengan segala cara yang ia dengar. Selama sebulan penuh, empat ekor ternak itu ia rawat dengan cairan infus NaCl, formalin, hingga obat luka.
JAKARTA, KOMPAS - Deteksi dini penyakit mulut dan kuku (PMK) pada hewan ternak belum berjalan. Deteksi dini dibutuhkan untuk akurasi data penanganan wabah PMK.
Sebagian besar peternak maupun petugas dinas kesehatan hewan di lapangan hanya mengandalkan pengamatan dari gejala klinis hewan ternak yang terpapar virus PMK. Deteksi dini terhadap hewan ternak yang terpapar PMK seharusnya dilakukan menggunakan tes antigen dan polymerase chain reaction (PCR).
Guru Besar Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Ali Agus menilai deteksi dini sangat penting untuk penanganan wabah agar lebih baik. Sebab hewan ternak bisa menjadi pembawa virus meski tidak bergejala. Virus tersebut bahkan masih bisa mengendap di tubuh hewan hingga setahun lebih.
"Selain itu, ada istilahnya masa inkubasi virus. Mungkin saja sapi ini tidak terlihat bergejala sekarang, namun tiba-tiba besok sakit. Karena virusnya sudah terlanjur jadi wabah, sebaiknya pemerintah bisa fokus menyelesaikan masalah ini," ucapnya.
KOMPAS/ALBERDI DITTO PERMADI
Domba Wonosobo di pasar hewan Garung Wonosobo, Jawa Tengah, Rabu (15/6/2022)
Di Pasar Hewan Garung, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Rabu (15/6/2022), pemeriksaan kesehatan hewan ternak dilakukan dengan cara manual. Petugas memeriksa ratusan ekor kambing dan domba yang masuk ke sana dengan melihat gejala klinis.
Jika tidak ada luka di bagian kaki dan mulut, ternak tersebut diizinkan masuk dan boleh dijual. Pasar hewan baru buka dibuka kembali, setelah sebelumnya tutup sejak awal Mei karena Wonosobo dinyatakan sebagai zona merah PMK.
Mungkin saja sapi ini tidak terlihat bergejala sekarang, namun tiba-tiba besok sakit. Karena virusnya sudah terlanjur jadi wabah, sebaiknya pemerintah bisa fokus menyelesaikan masalah ini
Hingga pertengahan Juni lalu, ada sekitar 700 ternak yang terjangkit virus PMK meliputi sapi, kambing, dan domba. Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pangan, Pertanian dan Peternakan Kabupaten Wonosobo Sidik Driyono menjelaskan, deteksi dini, belum dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat pemeriksaan karena jumlah hewan ternak yang terlalu banyak.
"Kalau tes PCR biayanya mahal dan butuh waktu sekitar satu sampai dua hari supaya keluar hasilnya. Selain itu, belum ada bantuan pemerintah pusat maupun provinsi untuk menyediakan alat-alat PCR ini," katanya.
Di Kabupaten Wonosobo belum ada laboratorium yang sanggup menguji hasil tes PCR hewan ternak. Biaya yang diperlukan untuk tes PCR bisa Rp 500.000 per ekor.
"Biasanya yang bertugas mengambil sampel PCR itu dari Balai Besar Veteriner Wates. Saya yakin di sana juga pasti sedang sibuk karena banyaknya sampel yang harus diuji," katanya.
Hal serupa terjadi di Jawa Timur (Jatim). Nanang Miftahudin, relawan Satgas PMK Jatim meyakini angka kasus yang sebenarnya lebih tinggi dari catatan resmi.
KOMPAS/ANDY RIZA HIDAYAT
Topan Nugroho (40) mantri kesehatan hewan sedang memberi pengobatan pada sapi di Desa Kesamben Kulon, Kecamatan Wringin Anom, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Kamis (16/6/2022). Topan bertugas di tiga kecamatan selama wabah penyakit mulut dan kuku melanda.
Informasi resmi baru menjangkau jumlah wilayah yang terpapar dan kasus dengan gejala klinis pada mulut dan kaki. Sementara untuk hewan ternak yang bergejala tetapi terlihat sehat, tidak terpantau. Kondisi ini diperparah oleh adanya kasus yang tidak terlaporkan.
"Untuk jumlah kasus yang sebenarnya belum (sesuai kenyataan), karena sangat banyak yang tidak melaporkan. Mereka itu bisa dari pihak-pihak di luar tenaga dari dinas teknis, baik itu oleh dokter hewan atau paramedik veteriner praktisi mandiri ataupun oleh pihak-pihak yang tidak punya kompetensi," kata Nanang Miftahudin.
Sementara sistem informasi kesehatan hewan nasional (iSIKHNAS) hanya menerima laporan dari aparat di daerah. Laporan iSIKHNAS, nyaris tidak mendapat informasi keberadaan penyakit hewan di daerah dari praktisi mandiri di sektor peternakan dan kesehatan hewan.