Ketika hukum tak terjangkau bagi korban penipu berkedok cinta, media sosial menjadi tempat mengadu. Meski beresiko, media sosial menjadi ruang perlawanan para korban penipu berkedok cinta.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM, ANDY RIZA HIDAYAT, INSAN ALFAJRI, DHANANG DAVID
·4 menit baca
IRENE SARWINDANINGRUM
Media sosial menjadi tempat korban penipu berkedok cinta mencari keadilan. Sejumlah unggahan soal penipu berkedok cinta semakin marak di berbagai media sosial.
Korban penipu berkedok cinta memilih media sosial untuk menyuarakan kisahnya. Meski beresiko, ruang maya itu dinilai sebagai ruang mencari keadilan ketika hukum tak terjangkau. Media sosial juga efektif memberi sanksi sosial serta mencegah korban baru.
November 2021 lalu, CB (33) sebenarnya menyiapkan berkas untuk melaporkan Faris Ahmad Faza (31) ke polisi. Lelaki yang dikenalnya lewat Tinder, Mei 2021 itu sudah menjeratnya dalam pinjaman daring (pinjol) hingga Rp 60 juta selama lima bulan mereka dekat sebagai pasangan yang akan menikah. Namun beragam faktor membuat ia bimbang.
“Malah ada yang bilang, ini masuknya perdata utang-piutang,” kata analis keuangan bank di Purwokerto, itu, Jumat (15/4/2022).
Di sisi lain, nurani CB mendesak bahwa diam bukan pilihan. Sebab Faza begit aktif beraksi. Antara Mei-November 2021 di Purwokerto saja, ada lima perempuan menjadi korban lelaki itu. Ia tahu risikonya besar saat mengunggah utas itu. CB siap dengan cemoohan dan olok-olok warganet yang bisa memperparah luka hati. Ia juga mengantisipasi apabila Faza membalas dendam.
Dari semua itu, hal yang paling ia cemaskan, identitasnya terbongkar sehingga orang-orang di sekitarnya tahu tentang peristiwa itu. Rasa malu dan tekanan lingkungan akan berlipat ganda. Bukan rahasia, stigma dangkal penipuan berkedok cinta masih mewabah. Hal ini terlihat dari komentar warganet yang justru mencemooh dan menyalahkan korban.
“Saya tetap beranikan diri supaya tak ada perempuan lain jadi korban,” katanya. Pada 23 Februari 2022, CB mengunggah kisahnya di Twitter. CB tak berani menggunakan identitas asli. Ia meminjam akun keponakannya, @cubiddable.
IRENE SARWINDANINGRUM
Media sosial menjadi tempat korban penipu berkedok cinta mencari keadilan. Sejumlah unggahan soal penipu berkedok cinta semakin marak di berbagai media sosial.
Seluruh kronologi, tangkapan layar percakapan dan foto-foto Faza ia unggah di utas tersebut. Dokumen-dokumen yang sebenarnya ia siapkan untuk melapor ke polisi itu pun berakhir di utas Twitter tersebut. Di luar dugaan, utas itu itu viral dan dibagikan hingga ribuan kali.
Unggahan itu juga mempertemukan korban-korban Faza lain yang tersebar di berbagai kota. Saat ini, ada sembilan perempuan korban Faza di berbagai kota saling terhubung karena utas tersebut. Titik bangkit Unggahan itu jadi titik kebangkitan korban Faza. Setelah terpuruk, bersama-sama para korban saling menguatkan, bahkan saling menemani dan membantu menyusun berkas untuk lapor ke kepolisian.
“Saya sempat depresi berat karena Faza. Setelah ketemu postingan itu, jadi enteng dan berani lapor ke polisi,” kata Ll (25), salah satu korban Faza di Kediri, Jawa Timur.
Di Facebook, WT (25) juga mengunggah kisah penipuan berkedok cinta yang ia alami. Pelakunya Muhammad Iqbal Pangestu (29), warga Kabupaten Tangerang, Banten. Bak detektif, WT yang kehilangan Rp 40 juta selama dua pekan bersama Iqbal itu melacak beragam alamat hingga ke rumah orangtua Iqbal di Kabupaten Tangerang, Banten. Dari pelacakannya, WT yang tinggal di Semarang, Jateng, berhasil menemukan empat korban Iqbal lain. “Saya sempat kerja sama dengan korban lain untuk menjebak Iqbal,” katanya.
Sanksi sosial
Sempat viral di 2020, akun Instagram @aliskamugemash merupakan gerakan kolektif anonim (tanpa nama) berisi testimoni soal Leonardus Dewala. Pemilik akun menyembunyikan identitas untuk menghindari ancaman atau pelaporan mencemarkan nama baik. Akun itu mengunggah testimoni terkait Leonardus Wahyu Dewala yang dituduh sebagai predator aplikasi kencan sepanjang 2018-2020. Sebanyak 74 orang memberikan testimoni di sana. Mereka umumnya mengenal Dewala lewat aplikasi kencan Tinder, Bumble dan OKCupid.
“Sebenarnya ada 100 orang lebih tapi hanya 74 bersedia di-up,” kata pengelola akun yang tak mau membuka identitas.
Akun itu merupakan alternatif karena mereka takut melapor ke kepolisian. Sebab, foto dan video mereka masih disimpan Dewala sehingga mereka cemas jejak itu akan disebar. “Jadi karena sulit, ya akhirnya lewat sanksi sosial saja,” kata LN, salah satu pemberi testimoni.
Upaya itu efektif. Dewala merasa hidupnya hancur oleh akun itu. Sejumlah proposalnya mendadak ditolak. Sejak akun itu dikenal luas, Dewala meninggalkan kosnya di Mampang, Jakarta Selatan. Ia sekarang pulang kampung di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Komunitas
Sejak 2020, Komunitas Waspada Scammer Cinta (WSC) mendampingi korban penipuan berkedok cinta, mulai dari pendampingan hukum, melacak pelaku, atau sekedar curhat. Selama 2020-2021, sebanyak 306 kasus sudah dilaporkan ke komunitas yang dibentuk Bunda Fey, penggiat penipuan berkedok cinta ini. Penderitaan korban penipuan berkedok cinta sulit dibayangkan orang yang tak pernah mengalami. Selain patah hati mendalam, ada korban yang mengalami kesulitan ekonomi dan gangguan emosi berkepanjangan.
“Bahkan di kasus yang dilaporkan ke kami, ada yang akhirnya bunuh diri,” kata Ketua WSC Diah Esfandari.
KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM
Tiga korban penipu berkedok cinta Faris Ahmad Faza (31), yaitu dari kiri ke kanan Tr (31), Li (25) dan Il (28) ,saat melapor bersama-sama di Polres Kediri Kota, Jawa Timur, Minggu (20/3/2022).
Sementara itu, No Recruit List (NRL) membantu korban penipuan membei sanksi mempersempit kesempatan kerja. Komunitas ini menyimpan data orang yang pernah dilaporkan melakukan kekerasan seksual. Melalui jejaringnya, NRL memberi informasi soal laporan iti pada perusahaan atau pemberi kerja. Dewala juga dilaporkan ke NRL.
“Biasanya kami pakai strategi, dengan bergerak kolektif,” kata Poppy Dihardjo, penggiat di NRL. Andai tak ada stigma dangkal, tentu korban tak perlu melawan lewat media sosial.