10 Tahun FPCI, Membumikan Diplomasi dan Politik Luar Negeri
Isu politik luar negeri dan diplomasi sering dipandang elitis. FPCI mencoba mendekonstruksi hal itu.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
KOMPAS/MAHDI MUHAMMAD
Dino Patti Djalal (kiri), mantan Wakil Menteri Luar Negeri RI yang juga merupakan pendiri Foreign Policy Community Indonesia (FPCI), berdiskusi dengan anggota Desk Internasional Harian Kompas di Menara Kompas, Jakarta, Senin (25/11/2024).
Selama ini, diplomasi—atau dalam lanskap yang lebih luas politik luar negeri dan kebijakan luar negeri—dipandang sebagai pokok bahasan kaum elite. Elitis. Frasa atau pilihan kata dalam bahasa yang digunakan sering kali ndakik-ndakik (kalau meminjam istilah masyarakat di Jawa). Pada akhirnya subyek ini menjadi hal yang tidak populer di kalangan masyarakat umum.
Hal ini yang menjadi salah satu alasan Dino Patti Djalal mendirikan Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) tahun 2015 lalu. ”Motivasinya karena saya ingin memasyarakatkan polugri yang selalu dilihat elitis, susah dipahami. Apalagi, bahasa yang digunakan sangat teknokratis,” kata Dino saat berkunjung ke Menara Kompas, Jakarta, Senin (25/11/2024).
Keinginan ini tertanam di dalam diri Dino yang memang memiliki darah diplomat di tubuhnya. Ia adalah putra Hashim Djalal, salah satu tokoh yang dihormati dalam dunia hubungan internasional dan diplomasi Indonesia era 1980-an. Dino sendiri memiliki rekam jejak sebagai diplomat, termasuk sebagai Duta Besar AS untuk Amerika Serikat (2010-2013), dan terakhir sebagai Wakil Menteri Luar Negeri (Juli-Oktober 2014).
Diakuinya, menyebarkan gagasan itu tidak mudah karena lembaga yang didirikannya sendiri sempat jatuh bangun. Dino menyebut titik baliknya adalah ketika lembaganya, bekerja sama dengan Jaringan Diaspora Indonesia (IDN Network), berhasil mengajak mantan Presiden AS Barack Obama untuk berpidato dalam Kongres Diaspora Indonesia di Jakarta, 1 Juli 2017.
Mengubah pandangan
Dino mengatakan, mengubah pandangan seseorang atau sekelompok orang tidak mudah karena hal demikian sudah tertanam dalam benak sejak lama. Dalam pandangannya, ada pemahaman yang seharusnya sudah bergeser tentang relasi dan kerja sama antarnegara. Dia menyebut masih sangat banyak tertanam dalam benak rakyat Indonesia bahwa orang luar yang datang ke negara ini adalah untuk ”menjajah”. Kedatangan orang asing lebih banyak dikonotasikan secara negatif.
FPCI, katanya, hadir untuk mendorong masyarakat untuk lebih terbuka terhadap gagasan-gagasan baru, khususnya internasionalisme dan hubungan dengan negara-negara lain. Dalam pandangan Dino, internasionalisme, berkolaborasi dengan negara lain, adalah salah satu kunci kesuksesan sebuah negara untuk membawa kesejahteraan bagi rakyatnya. Nasionalisme dan internasionalisme saling melengkapi satu sama lain. Yang dikhawatirkan dari sebuah nasionalisme sempit adalah isolasi.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR
Kiri ke kanan: Ketua dan Pendiri Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) Dino Patti Jalal; Profesor Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional Dewi Fortuna Anwar; Kepala Departemen Luar Negeri Centre for Strategic and International Studies Lina Alexandra; dan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Endy Bayuni. Mereka menjadi narasumber dalam diskusi mengenai arah politik luar negeri Indonesia tahun 2023 yang diselenggarakan oleh FPCI di Jakarta, Selasa (31/1/2023).
Dino menyebut, banyak negara mengalami kemajuan pesat setelah membuka diri pada dunia luar. Sebut saja China dan India. China dipandang sukses karena mereka mampu mengadopsi teknologi dan ide-ide yang semula berkembang di luar, membawanya ke dalam negeri dan dikembangkan dalam bentuk kebijakan dan produk yang bisa berspaing di dunia internasional. Salah satu caranya adalah dengan mendorong banyak siswa-siswi China untuk menyerap ilmu dari luar dan mengembangkannya di tanah air.
”Saya ingin melihat dan mengajak anak muda untuk berpikiran terbuka. Agak prihatin kalau mereka mengisolasi diri dan akhirnya kehilangan peluang. Ini misi kami saat mendirikan FPCI,” kata Dino.
Pendekatan tak hanya dilakukan melalui dialog, pendekatan dan diseminasi dengan mendatangi kampus-kampus di seluruh Indonesia. Bahkan, yang menarik, untuk itu, Dino dan FPCI memilih kampus yang ada di ”pinggiran”.
FPCI juga, menurut Dino, mencoba mengajak para dosen untuk ikut bergiat dalam diskusi dengan para pengambil kebijakan, khususnya yang berhubungan langsung dengan kebijakan luar negeri. Mereka akan mendapatkan perspektif baru, selain perspektif berdasarkan kajian ilmiah dan teoretis yang sehari-hari berkembang di kampus.
Sementara, sasaran utama, yakni para mahasiswa, mereka diajak untuk mendiskusikan lebih jauh berbagai kebijakan dan situasi di sekeliling yang memberikan dampak imbal balik bagi kehidupannya. Berbagai konferensi, seminar ilmiah, atau kajian-kajian dengan menggunakan bahasa yang dekat dengan keseharian.
MEDIA CENTER G20 INDONESIA/ADITYA PRADANA PUTRA
Presiden Joko Widodo (tengah) disaksikan Perdana Menteri India Narendra Damodardas Modi (kiri) dan Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni (kanan) membuka secara resmi KTT G20 Indonesia 2022 di Nusa Dua, Bali, Selasa (15/11/2022).
Beberapa agenda besar, yaitu konferensi tentang iklim atau kegiatan tahunan, seperti Conference on Indonesia Foreign Policy, adalah salah satu daya tarik utama. Bahkan, tutur Dino, ratusan mahasiswa dari salah satu kampus di Jawa Tengah menabung setahun agar bisa hadir dalam kegiatan itu. ”Mereka datang dengan dua bus dan menyewa penginapan. Satu kamar bisa diisi 10 orang,” katanya.
Konferensi Kebijakan Luar Negeri Indonesia 2024 menurut rencana akan dilaksanakan mulai Sabtu (30/11/2024) mendatang di Jakarta.
Dampak
Meski merendah karena menilai FPCI masih sangat kecil dibandingkan dengan organisasi lain yang memfokuskan diri pada kebijakan luar negeri Indonesia, Dino menyebut lembaganya sudah mampu mewarnai sejumlah kebijakan Pemerintah RI, termasuk dalam kebijakan luar negerinya.
Yang pertama adalah target pengurangan emisi Pemerintah Indonesia. Dino menjelaskan, FPCI yang mulai fokus pada perubahan iklim sejak tahun 2020 saat pandemi melanda, memandang bahwa perubahan iklim adalah hal serius yang perlu mendapat respons cepat dari semua pihak, terutama pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Meski semula pemerintahan Joko Widodo enggan menetapkan waktu tertentu penerapan target bebas karbon (nett zero target), sejumlah advokasi bersama berbagai pihak berhasil mendorong ditetapkannya tahun 2070 sebagai tahun Indonesia menerapkan kebijakan itu.
FPCI
Pendiri dan Ketua FPCI Dino Patti Djalal dalam pembukaan Indonesia Net-Zero Summit 2023 di Djakarta Theater, Jakarta Pusat, Sabtu (24/6/2023).
Namun, hal itu tak memuaskan. Advokasi terus berlanjut dan berhasil mendorong percepatan penerapan nett zero target oleh pemerintah pada 2060. Yang terbaru, kata Dino, Presiden Prabowo Subianto menyatakan di KTT G20 bahwa Indonesia mempercepat 10 tahun menjadi tahun 2050. ”Ini kejutan besar bagi kita semua,” ujar Dino.
Tak hanya itu, Dino juga menyebut bahwa konsep middle power (kekuatan menengah) yang diperkenalkan FPCI telah digunakan oleh Kementerian Luar Negeri sejak beberapa tahun terakhir. Dalam pandangannya, meski ada persaingan negara adidaya, khususnya AS-China, dinamika kekuatan negara-negara menengahlah yang berperan sangat besar dalam mengubah lanskap hubungan internasional.
Dia menyebut Turki, Arab Saudi, Meksiko, Brasil, Argentina, India, dan juga Indonesia sebagai negara-negara middle power yang mampu mengubah tatanan hubungan politik global saat ini.
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Suasana diskusi The First Abrahamic Circle: Understanding Interfaith at the Grassroots, di Jakarta, Kamis (22/8/2019). Acara ini diinisiasi oleh Dino Patti Djalal dari Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI).
Hal lain yang tengah diupayakan adalah mengintensifkan dialog antariman melalui platform 1.000 Abrahamic Circles, dialog antara tiga penganut agama, yakni Islam, Kristen, dan Yahudi. Dialog ini penting karena tensi relasi antara penganut tiga agama samawi ini masih sangat tinggi. Upaya ini masih terus dan akan terus bergulir.
Salah satu hal fundamental yang akan selalu menjadi pegangan Dino dan FPCI adalah dia dan lembaganya, yang nonpartisan, tidak akan takut untuk berbicara yang sebenarnya pada kekuasaan. ”Kami bukan pemandu sorak (cheerleader),” katanya.