Indonesia Ingin Lebih Berperan dalam Perdamaian Timteng, Luhut Akan Temui MBZ-MBS
Luhut berencana menemui dua tokoh penting di Timteng, MBZ dan MBS, untuk buka peran Indonesia dalam perdamaian Timteng.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
KOMPAS/MAHDI MUHAMMAD
Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan (berdiri di podium) memberikan pandangan umum mengenai konflik di Timur Tengah dan dampaknya terhadap Indonesia dalam diskusi di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta, Jumat (22/11/2024).
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia sebagai negara demokrasi berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia bisa mendorong perubahan situasi di Timur Tengah. Sejumlah organisasi keagamaan, termasuk Nahdlatul Ulama, memiliki peran penting untuk membantu mengurangi atau meredam konflik di kawasan itu.
Hal tersebut dikemukakan Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan dalam diskusi di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jakarta, Jumat (22/11/2024). Dalam kesempatan itu, ia menyatakan akan mencoba mendorong peran Indonesia untuk terlibat lebih jauh dalam upaya mendinginkan suasana di kawasan Timur Tengah.
Terkait hal tersebut, Luhut mengungkapkan, pekan depan dirinya akan bertemu dengan Presiden Uni Emirat Arab Sheikh Mohamed bin Zayed al-Nahyan, atau yang populer dengan sapaan MBZ, di Abu Dhabi. Di sana, selain mendiskusikan hubungan ekonomi kedua negara, Luhut juga akan berupaya mendorong peran Indonesia dalam proses perdamaian di Timur Tengah, khususnya Gaza.
Selain itu, lanjut Luhut, dirinya juga mengupayakan bertemu dengan Pangeran Mohammed bin Salman atau MBS, Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, penguasa de facto negara itu. Sama seperti dalam pertemuan dengan MBZ, pada pertemuan dengan MBS, Luhut akan mendorong peran Indonesia yang lebih aktif untuk perdamaian di Timur Tengah.
BPMI SEKRETARIAT PRESIDEN/MUCHLIS JR
Presiden Uni Emirat Arab (UEA) Mohamed bin Zayed al-Nahyan atau MBZ (kanan) memberikan penghargaan Order of the Union kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan di Qasr Al Watan, Abu Dhabi, UEA, Rabu (17/7/2024).
Menurut Luhut, perkembangan situasi di Timur Tengah, khususnya konflik di Gaza dan Lebanon yang terus berlanjut, akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi global. Indonesia yang tengah mengejar pertumbuhan hingga 8 persen di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto juga dipastikan akan merasakan dampak tersebut.
Pemerintah dan kelompok-kelompok kepentingan, termasuk para pemuka agama, diharapkan bisa mengambil peran aktif untuk membantu menstabilkan situasi di Timur Tengah.
Ia mengatakan, perang dan situasi konflik di sejumlah kawasan bisa menyebabkan perekonomian melambat. Hal ini bisa mengganggu program kerja yang dicanangkan pemerintahan Prabowo.
Ia mengatakan, fragmentasi geopolitik global bisa menguras ekonomi dunia hingga 2 triliun dollar AS. Tak hanya itu, era pemerintahan baru Amerika Serikat yang pada Januari mendatang akan dikuasai Republikan di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump hampir dipastikan bakal memberikan pengaruh terhadap Indonesia.
KOMPAS
Prabowo Telepon Trump, Rencanakan Pertemuan di Amerika Serikat
Secara khusus menyoroti Timur Tengah, Luhut menyebut, perang dan konflik yang tidak pernah usai di kawasan tersebut dan berpotensi semakin melebar akan menaikkan risiko perekonomian global. Ancaman nyata adalah kenaikan harga minyak mentah dan kenaikan ongkos distribusi barang, terutama karena selama ini pengiriman barang atau komoditas melewati titik-titik rawan konflik di Timur Tengah.
Peran agama
Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf mengatakan, harus diakui bahwa konflik yang terjadi di wilayah tersebut adalah dinamika sejarah masa lampau dan masih terjadi sampai saat ini. Perebutan wilayah adalah bagian dari sejarah dan bahkan termaktub di dalam ajaran agama yang berkembang di wilayah itu. Dia menyebut, Islam, Kristen, dan Yahudi menjadi bagian dari agama yang berkembang di kawasan tersebut.
Menurut Yahya, akan menjadi masalah jika wacana keagamaan yang berkembang dari wilayah tersebut tidak berubah, terutama mendorong terjadinya konflik dengan kelompok dari keyakinan atau agama berbeda.
”Misalnya, (Pemerintah) Israel bisa berdamai dengan (Pemerintah) Arab Saudi, dengan (Pemerintah) Iran, tetapi wacana keagamaan tidak berubah, mindset atau cara berpikir masing-masing kelompok masyarakat yang menganut agama tertentu tidak berubah, ancaman konflik tidak akan hilang. Sehingga kesepakatan itu akan menjadi rentan. Masalah tidak selesai dengan tuntas,” tutur Yahya.
KOMPAS/MAHDI MUHAMMAD
Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf (ketiga dari kiri) memberikan pandangan mengenai peran agama dan agamawan dalam penyelesaian konflik di Timur Tengah dalam diskusi di kantor PBNU, Jakarta, Jumat (22/11/2024). Hadir dalam diskusi itu Pendeta Martin Lukito Sinaga (kiri), Franz Magnis-Suseno (kedua dari kiri), Staf Ahli Menteri Luar Negeri Mochsin Shihab (kedua dari kanan), dan CEO Center for Shared Civilization Values Muhammad Cholil.
Untuk itu, lanjut Yahya, yang harus didorong adalah kesepakatan dari setiap agama untuk tidak mengingkari akar sejarah konflik yang terjadi di Palestina. ”Kita jadi begini, kan, bukan ruang hampa. Dulu harus diakui semua agama melakukan kekerasan, supaya kita paham kondisi sekarang,” katanya.
Ia menambahkan, jangan sampai sejarah dijadikan alasan untuk menuntut sesuatu yang pernah dijanjikan (ganti rugi) di masa lampau.
Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah kesepakatan soal nasib umat manusia di masa sekarang dan masa mendatang (shared destiny). Harus ada kesadaran dan penyadaran bahwa nasib satu kelompok, termasuk di dalamnya kelompok agama, tidak bisa lepas dari kelompok yang lain.
”Nasib umat Islam, Kristiani, dan Yahudi itu akan sama ketika terjadi sesuatu di masa depan,” kata Yahya. Kesadaran ini akan membuat kelompok-kelompok tersebut bekerja sama untuk mencari cara mengurangi konflik.
”Apalagi kalau terbentuk kesadaran bahwa biaya yang dikeluarkan pascakonflik itu sudah tidak terhitung besarannya. Termasuk jika kita berhadapan dengan konflik yang melibatkan nuklir,” ujar Yahya.
KOMPAS/MAHDI MUHAMMAD
Presentasi dalam diskusi tentang konflik Timur Tengah di kantor PBNU, Jakarta, Jumat (22/11/2024).
Sementara itu, Pendeta Martin Lukito Sinaga menyebut, dialog antarkeimanan atau dialog tiga pihak (trialogue) yang pernah diusung oleh mendiang Abdurrahman Wahid bisa menjadi cara kelompok agama di Indonesia melakukan kerja diplomatiknya. Kerja-kerja seperti itu juga perlu terus dikuatkan dan didorong untuk diperluas, termasuk kepada kelompok masyarakat akar rumput dan tentu saja para pengambil kebijakan.
Mochsin Shihab, Staf Ahli Menteri Luar Negeri, mendorong kelompok agamawan dari Indonesia untuk berdialog lebih lanjut dengan para pengambil kebijakan terkait Gaza, seperti Kantor Komisi Tinggi HAM PBB (OHCHR), Pelapor Khusus PBB untuk Situasi HAM di Palestina Francesca Albanese, dan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.