Israel Akan Diultimatum Angkat Kaki dari Wilayah Palestina dalam 12 Bulan
Palestina mengajukan resolusi di Majelis Umum PBB untuk mengultimatum Israel agar angkat kaki dari wilayah pendudukan.
NEW YORK, RABU — Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rabu (18/9/2024) waktu setempat, akan menjadi ajang pertarungan antara negara-negara pendukung Palestina dan sekutu Israel. Dalam sidang Majelis Umum PBB itu, negara-negara anggota PBB akan memberikan suara untuk rancangan resolusi yang menuntut Israel mengakhiri pendudukannya di wilayah Palestina dalam waktu 12 bulan.
Jika rancangan itu disetujui mayoritas negara anggota PBB, besarnya dukungan akan mencerminkan opini dunia. Resolusi Majelis Umum (MU) PBB itu tidak mengikat secara hukum. Juga tidak ada hak veto, hak untuk membatalkan sebuah resolusi, seperti di Dewan Keamanan PBB.
Baca juga: Kursi Palestina di Majelis Umum PBB
”Silakan berdiri di sisi sejarah yang benar, dengan hukum internasional, dengan kebebasan, dengan perdamaian,” kata Duta Besar Palestina untuk PBB Riyadh Mansour saat berbicara pada sidang darurat khusus (special emergency session) di Markas Besar PBB di New York, AS, Selasa (17/9/2024).
Mansour menambahkan, masyarakat internasional memperhatikan perilaku dan kebijakan negara-negara anggota PBB terkait persoalan Palestina.
Rancangan resolusi yang tersebut adalah langkah resmi pertama wakil Palestina di PBB yang diajukan setelah Palestina mendapat kursi di MU PBB. Hak yang diterima Palestina termasuk mengusulkan rancangan resolusi.
Baca juga: Abbas Dapat Kursi di Majelis Umum PBB, Akankah Palestina Jadi Anggota Tetap PBB?
Pendapat Mahkamah Internasional (ICJ) pada 19 Juli 2024, yang menyatakan bahwa pendudukan Israel di wilayah Palestina, termasuk Jerusalem Timur, sejak 1967 adalah tindakan ilegal, menjadi alasan rancangan resolusi yang disodorkan oleh Palestina sejak 13 September 2024. Rancangan resolusi setebal delapan halaman itu mendesak Israel angkat kaki dari wilayah Palestina yang diduduki dalam waktu selambat-lambatnya 12 bulan setelah resolusi itu disepakati dan diadopsi.
Rancangan resolusi setebal delapan halaman itu mendesak Israel angkat kaki dari wilayah Palestina yang diduduki dalam waktu selambat-lambatnya 12 bulan setelah resolusi itu disepakati dan diadopsi.
Tak hanya itu, Israel juga harus menarik semua pasukannya dari wilayah Palestina yang diduduki, termasuk wilayah udara dan laut. Israel juga harus mengembalikan tanah dan harta tak bergerak milik rakyat dan Bangsa Palestina sejak Israel menduduki wilayah tersebut pada 1967. Tak cukup itu saja, Israel juga memberikan ganti rugi atas kerusakan yang mereka lakukan di wilayah Palestina serta mencabut semua peraturan perundangan dan kebijakan yang mendiskriminasi rakyat dan bangsa Palestina.
Resolusi itu juga menuntut Israel bertanggung jawab atas segala pelanggaran hukum internasional agar sanksi dijatuhkan kepada mereka yang bertanggung jawab terhadap keberadaan Israel (secara historis) di wilayah itu. Resolusi juga memerintahkan negara-negara menghentikan ekspor senjata ke Israel jika senjata itu dicurigai digunakan untuk melakukan kejahatan di Palestina.
Mansour mengatakan, bangsa Palestina saat ini menghadapi ancaman eksistensial. Hal ini dibuktikan dengan tindakan militer Israel yang membabibuta terhadap para pengungsi Palestina di kawasan yang seharusnya merupakan zona aman di Jalur Gaza.
Baca juga: Israel Tidak Berhak atas Wilayah Palestina, Pendudukan Israel Ilegal
Rancangan resolusi MU PBB itu sudah mengalami revisi, terutama pada batasan waktu bagi Israel untuk meninggalkan wilayah pendudukan Palestina. Mansour mengatakan, rancangan awal menuntut Israel mengakhiri pendudukannya dalam waktu enam bulan.
”Orang-orang Palestina ingin hidup, bukan bertahan hidup. Mereka ingin aman di rumah mereka," kata Mansour.
"Berapa banyak lagi orang Palestina yang akan dibunuh sebelum perubahan akhirnya terjadi untuk menghentikan tindakan yang tidak manusiawi ini?” lanjut Mansour.
Hak perdamaian dan keamanan
Seperti dikutip laman UN News, saat membuka sesi tersebut, Presiden Majelis Umum Philemon Yang (Kamerun) menyatakan, “Tanpa keadilan dan supremasi hukum, baik warga Israel maupun Palestina tidak akan memperoleh hak yang didambakan, yakni perdamaian dan keamanan.”
Yang juga mengingatkan agar MU PBB tidak boleh "melupakan banyaknya nyawa yang hilang, tantangan kemanusiaan dan kerusakan infrastruktur yang terus terjadi, khususnya di Gaza dalam beberapa bulan terakhir."
Delegasi Mesir menyebut pemerintah dan militer Israel telah bertindak terlalu jauh. Operasi militer yang dilakukan Israel di Gaza telah merenggut lebih dari 40.000 nyawa rakyat Palestina di Jalur Gaza. Belum lagi dengan jumlah korban jiwa di Tepi Barat Palestina dan penghalang-halangan pengiriman bantuan kemanusiaan, tidak hanya oleh pemerintah dan militer Israel, akan tetapi juga warga sipil Israel.
Baca juga: Indonesia Ingatkan Komunitas Internasional Hentikan Israel
Perwakilan Malaysia mengatakan, anak-anak Palestina telah menjadi korban kengerian yang tidak seharusnya dialami oleh anak-anak seusia mereka. Perang di Gaza adalah kekejaman terburuk yang dilakukan terhadap warga Palestina sejak Nakba tahun 1948.
Sementara perwakilan Iran menyatakan, melihat kekejaman yang dilakukan Israel, semua negara anggota PBB harus mempertimbangkan kembali status keanggotaan Israel di PBB.
Menghadapi situasi di Palestina, pertemuan anggota MU pada 27 Oktober 2023 telah mengeluarkan seruan gencatan senjata untuk kemanusiaan di Gaza. Saat itu sebanyak 120 negara anggota mendukung sikap tersebut. Dua bulan kemudian, Desember 2023, sebanyak 153 negara anggota PBB memilih menggunakan terminologi menuntut dilaksanakannya gencatan senjata.
Duta Besar Israel untuk PBB Danny Danon mengritik sesi tersebut dan rancangan resolusi yang diusulkan Palestina. Ia mengatakan, alih-alih membantu Israel, rancangan resolusi itu sebagai alat yang bisa menghancurkan Israel.
“Resolusi ini adalah terorisme diplomatik. Menggunakan alat diplomasi bukan untuk membangun jembatan, tetapi untuk menghancurkannya,” kata Danon.
AS tak berubah
AS, sekutu terdekat sekaligus pelindung utama Israel, juga menolak rancangan resolusi itu. Dubes AS untuk PBB Linda Thomas Greenfield menyebut resolusi itu memiliki banyak kekurangan, terutama tidak menyebut kelompok Hamas sebagai pelaku kekerasan dan tindakan terorisme terhadap warga Israel. Pada saat yang sama, dia juga menilai, resolusi itu melampaui kewenangan Mahkamah Internasional.
Baca juga: Kemanusiaan Sedang Berlibur Dari Sekitar Gaza
Posisi AS tak berubah dari sikap mereka selama ini dalam isu Palestina di PBB. Dalam isu keanggotaan Palestina di PBB, misalnya, seperti diperlihatkan dalam resolusi MU PBB, 10 Mei 2024, mayoritas negara di dunia sudah jelas menginginkan Palestina menjadi anggota tetap PBB. Namun, seperti dilakukan pada April 2024, AS dengan vetonya di Dewan Keamanan (DK) PBB selalu mengganjal setiap aspirasi—meski telah didukung komunitas internasional—untuk menjadikan Palestina sebagai anggota tetap PBB.
Laporan terbaru Francesca Albanese, pelapor khusus PBB untuk Palestina, Senin (16/9/2024), menyatakan, impunitas atau kekebalan telah sangat lama diberikan pada Israel atas tindakannya terhadap bangsa Palestina. Secara tegas, Albanese menyebut bahwa ada upaya yang nyata dari pemerintah dan militer Israel untuk melenyapkan mereka sebagai sebuah bangsa.
“(Kebijakan) apartheid Israel menargetkan Gaza dan Tepi Barat secara bersamaan menjadi bagian dari keseluruhan proses eliminasi, penggantian, dan perluasan wilayah," kata Albanese.
Dia menambahkan, impunitas telah membuat pemerintah dan militer Israel melaksanakan de-Palestinisasi wilayah yang diduduki. Tindakan ini juga sekaligus tindakan untuk melenyapkan mereka sebagai sebuah kelompok nasional (bangsa).
Baca juga: Mantan Pemimpin Mossad Sebut Israel Terapkan Apartheid Terhadap Palestina
Albanese mendesak masyarakat internasional melakukan segala hal yang dapat dilakukan untuk segera mengakhiri risiko genosida terhadap rakyat Palestina di bawah pendudukan Israel, memastikan akuntabilitas, dan pada akhirnya mengakhiri penjajahan Israel atas wilayah Palestina. (AP/AFP/Reuters)