Belum Lama Paus Fransiskus Pulang, Kerusuhan Pecah di Papua Niugini
Kekerasan antarsuku kembali terjadi di Papua Niugini. Kekerasan di area tambang emas menewaskan puluhan orang.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·4 menit baca
Sepertinya, pesan Paus Fransiskus selama di Papua Niugini belum terdengar sampai ke pelosok. Buktinya, perang suku terkait penambangan pecah di pedalaman negara itu. Padahal, selama di Papua Niugini, kekerasan dan tambang jadi bagian pesan Paus.
Komisaris Kepolisian Nasional Papua Niugini David Manning mengatakan, perang terjadi antara suku Piande dan Sakar. Mereka berperang dekat tambang ilegal di Lembah Porgera. ”Situasi yang memburuk ini disebabkan petambang ilegal dan pendatang menggunakan kekerasan untuk meneror penduduk setempat dan pemilik lahan,” ujarnya, Senin (16/9/2024), di Port Moresby.
Menurut Manning, perang itu terjadi beberapa hari lalu. Dengan demikian, perang pecah beberapa hari selepas Paus Fransiskus meninggalkan Papua Niugini pada 9 September 2024. Selama di sana, Paus antara lain membahas soal perang suku. Paus juga menyoroti soal tambang.
Pada Minggu (15/9/2024) terdengar ratusan kali tembakan dari lokasi perang suku. Karena itu, menurut Manning, aparat menggunakan kekuatan yang diperlukan. ”Mudahnya seperti ini, kalau Anda yang membawa senjata di tempat umum atau mengancam orang lain, Anda ditembak,” ujarnya.
Dampak perang kali ini antara lain kematian sedikitnya 30 orang. Sementara ratusan lainnya cedera karena tertembak, terkena panah, atau cedera akibat senjata lain. Selain itu, tercatat pula ratusan rumah dibakar dan banyak orang harus mengungsi.
Lembah Porgera di Provinsi Enga dikenal kaya emas. Mei lalu, ada longsor yang menewaskan setidaknya 2.000 orang di lembah itu.
Sejumlah perusahaan tambang di Porgera menghentikan operasi gara-gara perang suku Sakar dan Tiande. Belum diketahui kapan kondisi akan sepenuhnya pulih.
Gubernur Provinsi Enga Peter Ipatas mengatakan, jumlah resmi korban tewas memang belum dirilis. Akan tetapi, kekerasan telah menyebabkan hilangnya banyak nyawa yang tidak bersalah. ”Situasi ini mengerikan. Kami telah menyaksikan nyawa orang tak berdosa melayang dan harta benda hancur,” kata Ipatas.
Kekerasan antarsuku, menurut Kepolisian Papua Niugini, dimulai pada Agustus lalu. Tepatnya ketika petambang ilegal melukai seorang pemilik tanah di Lembah Porgera hingga mengancam jiwanya.
Berbagai pihak telah berusaha memediasi perdamaian para pihak bertikai. Sayangnya, perdamaian tidak kunjung tercapai sehingga perang pecah lagi. Sakar merupakan pendatang di lokasi perang, sedangkan Piande penduduk asli.
Untuk mengatasi perang kali ini, polisi memberlakukan jam malam. Alkohol dilarang dijual untuk sementara waktu. Kepolisian juga berusaha mengusir para petambang ilegal.
Sudah lama
Menurut Manning, perang suku sudah lama kerap terjadi di Papua Niugini. Kondisi memburuk dengan penyelundupan senapan dan pistol ke pedalaman negara itu. Akibatnya, korban tewas dan cedera meningkat setiap kali ada perang suku.
Dalam perang kali ini, polisi memperkirakan setidaknya ada 100 senapan dan pistol di antara pihak bertikai. Polisi tidak mengetahui secara pasti dari mana senjata itu berasal.
Pemerintah Papua Niugini telah mencoba beragam cara untuk mengatasi gangguan keamanan di negara itu. Salah satunya dengan merekrut polisi Australia. Hingga beberapa tahun ke depan, Kepolisian Papua Niugini akan menjaring 20.000 anggota baru. Pemerintah Papua Niugini berharap mereka akan mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk dilatih dan nantinya mampu menangani masalah internal di negara itu.
Dikutip dari laman media Australia, ABC, penandatanganan perjanjian keamanan itu diperlukan karena PNG tengah bergulat dengan kekerasan antarsuku yang kini telah menggunakan senjata api modern. Bulan Agustus lalu, konflik antarsuku di wilayah dataran tinggi PNG mengakibatkan puluhan warga tewas.
Papua Niugini menggandeng Amerika Serikat dan Australia untuk membantu kemampuan aparatnya mengurus keamanan. Australia memberikan hingga Rp 2 triliun untuk pelatihan dan penambahan anggota baru kepolisian Papua Niugini.
Sebenarnya, personel polisi Australia sudah ada di negara itu sejak tahun 2005. Akan tetapi, karena sifatnya perbantuan, mereka tidak memiliki kewenangan apa pun dalam kegiatan penyelidikan dan penyidikan layaknya polisi setempat. Mereka lebih banyak bertindak sebagai penasihat dan tidak memiliki kewenangan menggunakan senjata.
Dengan perjanjian keamanan Desember 2023, sekitar 50 personel dengan kemampuan tinggi akan ditempatkan di berbagai posisi di pusat ataupun daerah. Mereka akan menjadi komandan kepolisian hingga memimpin unit penyelidikan tindak pidana yang bisa menangani kasus tertentu.
Meski tetap menjadi warga Australia, para polisi itu berstatus aparat Papua Niugini. Mereka ikut hukum Papua Niugini, bukan Australia.
Pesan Paus
Dalam lawatan ke Papua Niugini pada 6-9 September 2024, Paus Fransiskus menyoroti kekerasan suku. Pusaran kekerasan perlu dihentikan dan semua pihak perlu bekerja sama untuk itu. ”Saya memohon kepada semua orang untuk merasa bertanggung jawab menghentikan kekerasan dan menapaki jalan menuju kerja sama yang menghasilkan,” ujarnya.
Pusaran kekerasan perlu dihentikan dan semua pihak perlu bekerja sama untuk itu. ”Saya memohon kepada semua orang untuk merasa bertanggung jawab menghentikan kekerasan dan menapaki jalan menuju kerja sama yang menghasilkan,” ujarnya.
Paus Fransiskus meminta agar semua pihak yang terlibat menjaga agar sumber daya alam dan manusia dikembangkan secara berkelanjutan dan adil. ”Negara Anda, selain terdiri dari pulau-pulau dan bahasa, juga kaya akan sumber daya alam. Barang-barang ini ditakdirkan oleh Tuhan untuk seluruh masyarakat,” kata Paus. (AP/AFP/REUTERS)