Dengan China, Negosiasi Ekonomi Jangan Dicampur Negosiasi Politik (Bagian 2-Habis)
Perlu cara taktis dan cerdas dalam berhubungan dengan China.
Apakah berhubungan dagang dengan China tidak mudah? Kata orang, demikian. Namun, menurut Duta Besar Indonesia untuk China Djauhari Oratmangun saat berkunjung dan berdiskusi dengan Redaksi Kompas di Menara Kompas, Jakarta, Senin (9/9/2024), tidak demikian halnya.
Dari pengalamannya bertugas hampir tujuh tahun sebagai duta besar di China, banyak hal bisa dimanfaatkan guna mendukung hubungan dan diplomasi di Negeri Tirai Bambu. Diaspora Indonesia di China dan orang China di Indonesia, dengan sejarah hubungan antarorang yang sudah lama terjalin, menjadi salah satu kekuatan hubungan kedua negara.
Berikut lanjutan petikan wawancaranya:
Apa potensi penguatan kerja sama ekonomi RI-China?
China akan konsentrasi pada beberapa sektor, termasuk inovasi teknologi dan ekonomi hijau. Kita bisa memanfaatkan perundingan tarif yang ada dalam konteks AFTA (Area Perdagangan Bebas ASEAN). Nanti kemudian juga Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP). Kita yang memulai perundingan RCEP, mestinya we gain a lot of benefit.
Kata orang-orang, berdagang dengan China itu tidak mudah. Tapi, menurut saya, sama saja. Orang lain saja bisa, kenapa kita tidak. Kita bisa meminta dukungan dari diaspora Indonesia dan orang China yang ada di Indonesia dan itu kekuatan kita. Sudah saatnya kita membuka akses pasar China seluas-luasnya.
Baca juga: ”Kita Masih ’Western-Oriented’, Saatnya Fokus ke China Juga” (Bagian 1)
Selain kerja sama ekonomi, sebenarnya yang kuat juga kerja sama orang ke orang, termasuk kerja sama media. Ini harus diperkuat. Media, kan, sumber informasi yang bisa menciptakan energi positif. Begitu pula dengan mahasiswa. Kerja sama ini, kalau digarap, bisa besar sekali dampaknya.
Perguruan tinggi China juga banyak yang bagus. Lulusannya juga laris manis. Banyak sekali ilmu yang bisa kita pelajari dari China, seperti perdagangan dan inovasi teknologi. Bener dong kita belajar berdagang dari China karena mereka memang ahlinya berdagang.
Hanya saja, negosiasi ekonomi dan perdagangan sebaiknya tidak dicampur dengan proses negosiasi politik. Jangan campuradukkan antara negosiasi politik yang butuh waktu bertahun-tahun dan kebutuhan ekonomi ”urusan perut”. Keduanya harus tetap seiring sejalan dan itu yang ternyata dilakukan oleh negara-negara claimant states di Laut China Selatan.
NKRI harga mati, tetapi tetap pendekatan ekonomi harus dilakukan. Kita tidak ada masalah seperti negara-negara itu, tetapi malah ada di posisi lima. Kita bicarakan baik-baik dan bahas solusi. Tetapi, harus tetap tegas dengan perundingan perbatasan. Lobi politik dan lobi ekonomi itu berbeda dan dua hal yang tidak nyambung.
Bagaimana kita menyikapi perubahan geopolitik dan geoekonomi yang sedang terjadi saat ini?
Geoekonomi dan geopolitik sedang bertransformasi. Kalau lihat tingkat pertumbuhan ekonomi di Asia, khususnya China, di atas 5 persen. Di Eropa dan AS, kan, maksimal 2 persen. Produk domestik bruto China sekarang 18,2 triliun dollar AS.
Kalau dengan kecepatan sekarang, mungkin dalam waktu 10-15 tahun konstelasi akan berubah. Di atas akan ada China, AS, India, dan most likely ASEAN. Jadi, tahun emas itu memungkinkan kalau lihat dari konstelasi seperti ini.
Lalu, bagaimana kita menyikapinya? Mungkin AS belum rela jadi nomor 2. Saran saya, kita tetap pegang teguh prinsip politik luar negeri bebas aktif. Kita bukan kekuatan papan atas, kita kelas menengah. Tapi, kelas menengah itu bisa jadi penyeimbang yang luar biasa.
Kita tetap pegang teguh prinsip politik luar negeri bebas aktif.
Kita bisa jadi jembatan antara pemain-pemain utama. Kita dengan China itu diplomasinya ekonomi, menyangkut isi perut kita. Yang lain juga begitu.
Baca juga: China-Malaysia Perbarui Pakta Kerja Sama Ekonomi dan Perdagangan
Tapi, kita tahu persis dalam konteks strategi global ini arsitektur finansial itu kan masih AS dan teman-temannya. Kita tidak bisa main-main dengan itu. Kalau ada masalah dengan itu saja, ekonomi kita bisa kolaps. Kalau perdagangan, memang sudah dengan China. Bagaimana kita diplomasi perutnya dengan China, tapi diplomasi yang memakai nice verbal conversation dengan yang di sana. Keseimbangannya harus dijaga.
Tentu kita harus ada take and give. Sebagai pemimpin di ASEAN, kita juga membuka jalur komunikasi antara kekuatan-kekuatan besar yang bertikai, seperti waktu di G20 dengan pertemuan Presiden AS Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping di Bali.
Kita menciptakan lingkungan yang kondusif yang memungkinkan mereka bisa saling bicara. ASEAN bisa melakukan itu karena ada mekanismenya. Sudah tidak mungkin menghambat pertumbuhan China dan apa pun yang dilakukan pihak lain tidak akan bisa membuat ekonomi mereka kolaps.
Apa yang membuat ekonomi China bisa kuat?
Di awal-awal kebangkitan, ya, industrialisasi fokusnya. Mereka belajar dari Rusia untuk industrialisasi itu. Pada zaman Mao Zedong, mereka mulai belajar dan perlahan-lahan berkembang pesat. Ada beberapa faktor yang membuat ekonomi China tumbuh pesat.
Begitu strategi membuka diri kembali China dimulai, 40 tahun lalu, yang dibangun pertama adalah SDM-nya melalui pendidikan dan penelitian serta pengembangannya. Itu dulu yang dibenahi sehingga muncul banyak peneliti dan hasil penelitian yang luar biasa.
Baca juga: China dan Potensi Strategi Nonperang
Setelah itu disusul pembangunan infrastruktur, seperti jalur transportasi, sehingga orang di Inner Mongolia, misalnya, tidak merasa asing dengan mereka yang tinggal di kota. Pembangunan di kota-kota baru melalui pembangunan jalan transportasi ini yang kemudian menggerakkan perekonomian di daerah.
China juga memilih inovasi teknologi yang tepat sehingga mereka bisa lompat jauh seperti sekarang. Pilihannya, teknologi informasi. Hasilnya terasa sekarang.
Selain tentunya teknologi hilirisasi yang juga mereka lakukan. Itu yang membuat mereka bisa lompat jauh. Perusahaan teknologi, seperti Alibaba dan Huawei, itu berkembang pada periode tahun 1990-an.
Sekarang, China mengejar ekonomi hijau dengan menggenjot kendaraan listrik yang kini produksinya sudah melampaui Jepang, Eropa, dan AS. Produsen kendaraan listrik terbesar di dunia sekarang sudah China. Mereka berhasil memilih kebijakan ekonomi yang tepat untuk kondisi mereka.
Baca juga: China Kontribusi Mayoritas Energi Terbarukan Global 2023, Indonesia Sumbang Panas Bumi
Menurut saya, yang mendorong ekonomi China itu sebenarnya nasionalisme. Rasa cinta tanah air. Kalau dari survei China, elemen-elemen yang mendorong ekonomi itu semangat cinta bangsa sehingga mereka semua bisa mengarah ke satu tujuan yang sama. Itu menurut hemat saya setelah hampir tujuh tahun bertugas di sana.