VW, Korban Pertama Otomotif China
Volkswagen tak kuat bersaing dengan pabrikan China kalau tetap berproduksi di Jerman. Pabrik mau ditutup
September kelabu untuk Volkswagen Group. Raksasa otomotif Jerman itu mau menutup salah satu pabrik di Jerman. Merek kebanggaan Jerman menutup pabrik di Jerman. Sulit dipahami.
Rencana penutupan itu diungkap CEO Volkswagen Group Oliver Blume pada Rabu (4/9/2024). Ia menyebut, situasi memaksanya mempertimbangkan penutupan salah satu pabrik di Jerman. Kelompok usaha yang menaungi 10 jenama otomotif itu juga mengabarkan hal buruk lain pada pekerja.
Baca juga: ”Serbuan” Mobil Listrik China, Dilema bagi Jerman dan Perancis
VW Group akan mengakhiri perjanjian perlindungan ketenagakerjaan yang berlaku sejak tiga dekade lalu. Perjanjian itu melindungi pekerja dari pemecatan. Setidaknya hal itu berlaku sampai akhir dekade ini.
Alasannya, industri otomotif Eropa berada dalam situasi yang sangat menuntut dan serius. ”Kondisi ekonomi menjadi lebih sulit, dan pesaing baru memasuki pasar Eropa. Jerman khususnya sebagai lokasi manufaktur semakin tertinggal dalam hal daya saing,” ujar Blume.
Penghematan telah dicoba selama beberapa tahun terakhir. Tahun lalu, VW meluncurkan program pemotongan biaya. Hasilnya, kelompok usaha itu bisa berhemat hingga 10 miliar euro hingga 2026. Sayangnya, belum cukup. Media Jerman, Handelsblatt, menyebut VW perlu memangkas pengeluarannya hingga 4 miliar euro lagi.
Baca juga: Mobil Listrik, Kuda Troya China di Era Multipolar
Akibatnya, restrukturisasi tak terhindarkan. Opsi untuk menutup salah satu pabrik di Jerman pun dibuka. Hal yang belum pernah terjadi setelah hampir sembilan dekade VW berdiri. Penutupan pabrik dan memberhentikan karyawan dianggap tidak mungkin bagi perusahaan yang berkantor pusat di Wolfsburg tersebut.
Rencana Blume dan manajemen ditentang keras oleh serikat pekerja. Para karyawan VW Grup beruntung memiliki wakil serikat yang duduk di separuh kursi Dewan Pengawas Perusahaan, lembaga yang menunjuk manajemen, termasuk Blume.
Daniella Cavallo, pemimpin umum Serikat Pekerja VW yang duduk di dewan pengawas, mengumumkan serikat akan melawan kebijakan itu. Kepala Negosiator IG Metall, Thorsten Groeger, menyebut, kondisi yang dialami VW saat ini karena manajemen salah urus.
”Pendekatan ini tidak hanya picik, melainkan juga sangat berbahaya. Berisiko berisiko menghancurkan jantung Volkswagen. Kami tidak akan menoleransi rencana yang dibuat perusahaan dengan mengorbankan tenaga kerja,” kata Groeger.
Baca juga: China yang Makin Menakutkan AS
Pernyataan Groeger didukung sejumlah pemerintah daerah lokasi pabrik perakitan VW Grup berada. Akan tetapi, manajemen menyebut, dengan berbagai kendala yang ada di depan mata, ada yang harus dikorbankan. ”Kita butuh ide-ide yang berpikiran maju,” kata Christiane Benner, Ketua IG Metall tingkat nasional. ”VW pernah melewati situasi sulit sebelumnya.”
Konsumen berubah
Sejatinya, angka penjualan VW Grup secara global sempat naik pada 2023. Paruh pertama 2023, nilai penjualan naik 18 persen atau senilai 174 miliar dollar AS. Akan tetapi, situasi tak terduga terjadi di tahun ini.
Turunnya permintaan konsumen di China, pasar terbesar VW, memukul perusahaan. Penjualan di China turun hingga tujuh persen dibanding periode yang sama tahun 2023 dan membuat laba perusahan anjlok 11,4 persen menjadi hanya 11,2 miliar dollar AS.
Ada juga masalah persaingan. Produsen otomotif China mampu memproduksi kendaraan yang lebih terjangkau dengan kualitas yang baik serta dilengkapi dengan fitur-fitur terkini. Konsumen lebih memilih produk China.
Menurut data JATO Dynamics, rata-rata harga kendaraan produksi China turun hingga 32.000 Euro selama tujuh tahun terakhir. Sebaliknya, harga kendaraan buatan Eropa dan Amerika naik 17 persen dan 12,5 persen dalam periode yang sama. Begitu juga dengan kendaraan listrik China, yang rata-rata 33 persen lebih murah dibandingkan dengan harga kendaraan BBM buatan pabrikan Eropa atau Amerika.
Baca juga: Produk Otomotif China Menantang Eropa
Selama beberapa dekade, produsen mobil Jerman mendominasi pasar otomotif China, termasuk VW, yang menempatkan Negeri Tirai Bambu itu sebagai rumah keduanya. Caranya adalah dengan menerapkan strategi trickle down: memperkenalkan teknologi baru sebagai tambahan atau optional bagi konsumen. Konsumen bisa mendapatkannya dengan tambahan harga. Ini akan mengerek harga mobil semakin tinggi.
Willy Wang, Direktur Pelaksana Berryls China mengatakan, inovasi yang dilakukan industri otomotif China membuat hampir semua teknologi baru disematkan di produksi mereka. Meski ada perbedaan dari sisi harga, hal itu tidak terlalu signifikan. ”Pelanggan di China tidak memiliki kesabaran untuk menunggu teknologi menetes ke bawah maupun kemauan untuk membayar ekstra untuk fitur-fitur terbaru,” kata Wang, dikutip dari laman DW.
Dulu di China, kendaraan mewah Jerman dianggap sebagai simbol status ideal bagi kelas menengah dan atas yang sedang naik daun. Jenama dalam negeri dianggap kurang berkembang secara teknologi dan kualitasnya kurang meyakinkan. Kini, yang terjadi sebaliknya. Jenama dalam negeri menjadi raja di negerinya sendiri.
Pembeli mobil di China, dari kelas menengah maupun golongan berpendapatan tinggi, semakin menyukai merek domestik. BYD adalah salah satunya, dengan penjualan 29 persen lebih banyak dibandingkan Tesla. BYD, menurut data Asosiasi Mobil Penumpang China tahun 2023, bisa mengirimkan mobil 20 kali lebih banyak dibandingkan VW.
Baca juga: Transformasi Industri Otomotif China
Fitur digital adalah yang paling menarik dicari oleh konsumen saat ini, khususnya di China. Sistem hiburan yang canggih ditambah dengan kenyamanan berpadu dengan kualitas, dianggap konsumen sudah bisa ditemui di produk-produk otomitif asal China.
Gregor Sebastian, pakar China dari Merics Institute, mengatakan, bagi konsumen produk otomotif China, teknologi menggantikan kualitas tradisional sebagai alasan untuk melakukan pembelian. ”Industri otomotif Jerman kemungkinan tidak akan memainkan peran dominan yang sama di sektor mobil China seperti yang terjadi dalam 20 tahun terakhir,” kata Sebastian.
Kejar ketertinggalan
VW berupaya mengejar ketertinggalan. Bila yang dicari konsumen adalah kendaraan yang memiliki fitur atau teknologi kekinian, VW telah bekerja sama dengan dua perusahaan, yaitu Xpeng dari China dan Rivian dari AS. Dengan Xpeng, pabrikan otomotif di China, VW berniat mengembangkan beberapa kendaraan listrik anyar dengan teknologi baru untuk pasar global.
Sementara dengan Rivian, VW berencana mengembangkan peranti lunak untuk produk-produknya di masa depan. Nilai kemitraannya mencapai 5 miliar Euro. Kerja sama ini yang ditentang oleh Cavallo.
Dia mendesak Blume memberikan penjelasan mengenai nilai dan tujuan kerja sama ini yang dinilainya terlalu besar. Pada saat yang sama, perusahaan membutuhkan ”penghematan”.
Baca juga: Eropa Semakin Pusing gara-gara Kendaraan Listrik China
Situasi yang dihadapi VW juga sebenarnya kini dirasakan oleh dua perusahaan lain, yakni BASF dan Thyssenkrupp. Pemangkasan tidak bisa dihindari oleh keduanya. Carsten Brzeski, Kepala Kebijakan Makro ING Global, mengatakan, situasi yang dihadapi sejumlah perusahaan besar di Jerman harus menjadi alarm bagi Pemerintah Jerman.
”Jika perusahaan industri besar seperti itu benar-benar harus memperketat program penghematan dan menutup pabrik, mungkin ini merupakan peringatan yang terlambat bahwa langkah-langkah kebijakan ekonomi yang diambil sejauh ini perlu ditingkatkan secara signifikan,” Brzeski. (Reuters)