Harga Tiket Oasis Terlalu Mahal, Pemerintah Inggris-UE Selidiki Ticketmaster
Ticketmaster kena sorot lagi gara-gara tiket Oasis. Kali ini Pemerintah Inggris dan UE turun tangan melindungi konsumen.
LONDON, JUMAT — Pemerintah Inggris melalui Otoritas Persaingan dan Pasar akhirnya turun tangan menyelidiki perusahaan penyedia tiket, Ticketmaster, atas kasus penjualan tiket pertunjukan reuni band Oasis, Kamis (5/9/2024). Salah satu poin yang diselidiki adalah penggunaan praktik ”harga dinamis atau harga lonjakan”.
Praktik itu strategi penetapan harga fluktuatif mengikuti kondisi pasar. Harga bisa naik ketika permintaan tinggi dan harga bisa turun ketika sepi. Praktik ini tidak hanya digunakan pada harga tiket konser, tetapi juga pada harga tiket pesawat dan tarif kamar hotel selama musim liburan. Atau juga harga transportasi daring selama jam-jam sibuk. Praktik ini lebih umum digunakan di Amerika Serikat ketimbang di Inggris.
Baca juga: Calo dan ”Ticket War” Bikin Penggemar Oasis Emosi
Lembaga pengawas itu akan memastikan, apakah Ticketmaster, mitra tiket resmi Oasis, telah melanggar undang-undang perlindungan konsumen. Mereka juga akan mengecek, apakah terjadi praktik komersial yang tidak adil, apakah konsumen diberi informasi yang jelas dan tepat waktu yang menyebutkan tiket dapat dikenai skema harga dinamis, dan apakah konsumen ditekan untuk membeli tiket dalam waktu singkat.
Anggota Parlemen Eropa dari Irlandia, Regina Doherty, juga telah menyerukan penyelidikan terhadap Ticketmaster oleh Komisi Persaingan dan Perlindungan Konsumen Irlandia (CCPC). CCPC akan mempertimbangkan semua opsi untuk memastikan hukum perlindungan konsumen dipatuhi.
Baca juga: Dampak Baik Reuni Oasis
Anggota Parlemen Eropa Irlandia lain, yang juga anggota Komite Pasar Internal dan Perlindungan Konsumen Parlemen Uni Eropa, Cynthia Ní Mhurchú, mengatakan bahwa dia akan meminta Komisi Eropa untuk menyelidiki kasus tersebut.
Ribuan penggemar Oasis protes setelah menunggu berjam-jam dalam antrean virtual lalu mendapati harga tiketnya melonjak dua kali lipat dari 148,50 pound sterling atau sekitar Rp 3 juta menjadi 355,20 pound sterling atau Rp 7,2 juta. Para pembeli tiket Oasis diminta untuk menyerahkan bukti pembayaran dan kronologi cerita mereka sebagai bagian dari proses penyelidikan.
Para pembeli tiket Oasis diminta untuk menyerahkan bukti pembayaran dan kronologi cerita mereka sebagai bagian dari proses penyelidikan.
Seorang juru bicara Ticketmaster mengatakan, mereka berkomitmen bekerja sama dengan pemerintah dan berharap dapat berbagi lebih banyak fakta tentang penjualan tiket dengan mereka. Ticketmaster sudah menyatakan, berkaitan tiket konser, artis atau promotor bertanggung jawab untuk menentukan jumlah tiket dan menetapkan harga nominal tiket.
Mereka dapat memilih penetapan harga dinamis jika mereka mau. Selain itu, skema ini baru bisa diterapkan setelah mendapat persetujuan dari artis atau promotor.
Sementara Oasis, yang dipimpin dua bersaudara, Noel dan Liam Gallagher, Rabu (4/9/2024), mengatakan, mereka tidak tahu bahwa ”penetapan harga dinamis” akan digunakan. Semua keputusan tentang tiket dan harga merupakan tanggung jawab promotor dan manajemen.
Baca juga: Penggemar Frustrasi Tak Dapat Tiket, Oasis Tambah Dua Pertunjukan
Oasis mengaku, pelaksanaan rencana penjualan tiket tidak memenuhi harapan. ”Perlu diperjelas bahwa Oasis tidak pernah menyadari bahwa harga dinamis akan digunakan,” sebut Oasis.
Stop calo
Menurut Otoritas Persaingan dan Pasar Inggris, penetapan harga dinamis sudah menjadi semakin lazim di sejumlah pasar yang berbeda. Kasus Oasis ini bukan pertama kalinya memicu keresahan dan perdebatan di kalangan penggemar acara musik dan olahraga.
Meski harga dinamis mungkin tampak tidak adil bagi konsumen, praktik ini legal selama perusahaan mematuhi hukum dan peraturan terkait transparansi harga, perlindungan konsumen, dan persaingan yang adil.
Ticketmaster pertama kali memperkenalkan harga dinamis pada tahun 2022. Alasannya, ini upaya menghentikan para calo yang membeli banyak tiket untuk dijual kembali dengan keuntungan lebih besar.
Baca juga: Berjibaku di Perang Tiket Konser Sheila on 7
Di Inggris, pasar Viagogo dan StubHub adalah dua situs web tiket sekunder utama. Ticketmaster menutup situs penjualan kembalinya, GetMeIn dan Seatwave, pada tahun 2018 setelah kritik terus-menerus terhadap penjualan kembali tiket oleh calo.
Di Inggris, harga dinamis ini digunakan untuk penjualan tiket Harry Styles, Coldplay, dan Blackpink. Bruce Springsteen memberi Live Nation lampu hijau untuk memperkenalkan harga dinamis untuk jadwal turnya tahun lalu. Ini juga menuai kritik.
Berbeda dengan artis lainnya, Taylor Swift memilih tidak menggunakan harga dinamis pada tur The Eras-nya.
Selama bertahun-tahun, penggemar konser dan politisi telah menyerukan pemeriksaan ulang pembelian Ticketmaster oleh Live Nation pada 2010. Desakan menguat setelah penjual tiket mengacaukan penjualan untuk tur konser pertama Taylor Swift pada tahun 2022. Para penggemar harus mengantre secara daring selama berjam-jam dan mendapat harga yang terlalu tinggi.
Baca juga: Calo Tiket Konser Taylor Swift Bergentayangan
Departemen Kehakiman Amerika Serikat mengajukan gugatan antimonopoli terhadap Live Nation, perusahaan AS pemilik Ticketmaster, karena diduga memonopoli pasar di seluruh industri konser.
Pada tahun lalu, Komisi Eropa mengaku sedang memantau penetapan harga dinamis. Mereka menekankan bahwa hukum UE melarang perusahaan dominan mengenakan harga yang terlalu tinggi.
Nonton di negara lain
Untuk mengakali harga tiket konser yang mahal, banyak penggemar memilih menonton konser di negara lain. Seperti yang terjadi pada konser Taylor Swift dan Coldplay. Banyak penggemar menonton di Singapura atau negara lain di Eropa karena di Indonesia tak mendapat tiket konser—memang tak kebagian atau harganya terlalu mahal.
Para ahli mengatakan, UE punya undang-undang perlindungan konsumen yang lebih baik dan membantu menjaga harga tiket tetap rendah dibandingkan di AS. Ini membuat perjalanan jarak jauh lebih menarik bagi para penggemar yang butuh tiket.
Dean Budnick, salah satu penulis buku Ticket Masters: The Rise of the Concert Industry and How the Public Got Scalped, menjelaskan, jika ada artis tertentu yang sangat populer, harga tiketnya otomatis sedikit lebih mahal karena ada algoritma yang mengenali tiket itu berharga.
Baca juga: Minnesota Buat Perlindungan Konsumen dari Calo Tiket Konser
Karena berharga, secara teoretis bisa dijual di pasar sekunder seharga 1.000 dollar AS dari harga, misalnya, 100 dollar AS. Atau mungkin dua sampai tiga kali lipatnya.
Keputusan akhir memang ada di tangan artis, manajer, atau promotor. Masalahnya, banyak yang mengandalkan Ticketmaster yang sudah mendunia.
Ticketmaster mempunyai kekuatan dominan dalam musik langsung di sebagian besar negara ekonomi utama. Dari harga dinamis yang ditetapkan, perusahaan itu akan mengambil potongan harga tiket. Semakin tinggi harga tiketnya, semakin tinggi pula potongannya.
Harian The Guardian, 1 September 2024, menyebutkan bahwa artis sering diberi tahu bahwa harga dinamis menghalangi calo menipu konsumen. Secara teori, harga nominal yang lebih tinggi mengurangi margin yang ditawarkan untuk calo.
Baca juga: Berburu Tiket Konser Sheila on 7: Terlalu Singkat sampai FOMO
Namun, tiket Oasis juga telah diberi harga dinamis di Irlandia, di mana penjualan kembali untuk mencari keuntungan adalah ilegal dan situs sekunder tidak mengiklankan tiket untuk pertunjukan di Croke Park.
Layanan streaming musik seperti Spotify juga menghancurkan kemampuan artis mendapatkan uang melalui penjualan album. Itu berarti tur keliling negara menjadi aliran pendapatan yang jauh lebih penting.
Guru Besar Ekonomi di Virginia Tech, Jadrian Wooten, mengatakan, ada dua faktor perilaku utama yang menyebabkan konsumen mau mengeluarkan ratusan dollar untuk tiket konser meski itu tidak menguntungkan mereka secara finansial.
Baca juga: Kegilaan Massal Berburu Konser
Yang pertama disebut ”bias masa kini” atau mengabaikan masa depan dan memprioritaskan hal-hal yang dilakukan hari ini. Setelah melewati pandemi Covid-19, orang takut tidak akan mendapat kesempatan menonton konser lagi sehingga mereka berusaha keras melakukannya sekarang.
Faktor kedua, konsumen mendasarkan nilai atau harga suatu produk pada pengalaman. Konsumen tak mau ketinggalan dari orang lain—atau FOMO (fear of missing out) alias merasa tertinggal—menonton konser sehingga cara apa pun akan dilakukan.
Sulit bagi seseorang untuk tidak bersikap impulsif ketika ada banyak orang yang ingin pergi ke konser. Padahal, barangkali, seseorang itu tak sungguh-sungguh mau menonton konsernya. FOMO saja. (REUTERS/AFP/AP)