”Menyepi” di Restoran, Mencecap Santapan dalam Keheningan
Makan sendirian di restoran kerap diasosiasikan kesepian. Belum tentu. Dalam kesendirian, keheningan bisa dinikmati.
Parisa Imanirad bukan single alias belum menikah. Ilmuwan peneliti kanker ini sudah menikah. Dia juga punya banyak teman. Namun, sekali atau dua kali dalam sepekan, dia memilih mengunjungi restoran favoritnya sendirian.
Imanirad menuturkan, makan sendirian memberinya waktu berpikir, kontemplatif. Di sela-sela lidahnya mencecap rasa dari makanan atau minuman yang dihidangkan, dia juga membaca.
Dia berusaha untuk tidak menyentuh gawainya. Dalam kesendirian, ia menikmati keheningan. ”Rasanya seperti berada di spa. Hanya, jenisnya berbeda,” ujar Imanirad.
Saat ditemui di Spruce, sebuah restoran mewah di San Francisco, Amerika Serikat, 22 Agustus 2024, dia tengah menikmati makan siang sendirian.
Baca juga: Restoran, Bukan Cuma Urusan Makan
Shawn Singh, seorang kreator konten, mengungkapkan, sekitar 70 persen dari waktunya ia makan sendirian. ”Cara terbaik untuk mengunjungi restoran yang sudah lama ingin Anda kunjungi adalah dengan pergi sendiri,” kata Singh. ”Jika saya datang pukul 17.00 dan sendirian, saya tidak pernah ditolak di satu tempat pun.”
Caroline Ray, CEO dan Editor JourneyWoman, mengatakan, melakukan semua kegiatan sendiri membuktikan bahwa perempuan itu mandiri dan berdaya. ”Kita bisa pergi ke restoran mana pun yang kita inginkan, mendapatkan meja untuk satu orang dan merasa senang karenanya,” ujarnya.
Pengalaman Ray saat mengunjungi Lucerne, Swiss, membuatnya tercengang. Di sebuah restoran, sang pelayan membawanya ke meja dengan pemandangan danau yang indah. Selain kursi dan meja hanya untuk satu orang, ada satu vas bunga kecil menambah syahdu suasana.
Semakin populer
Pengalaman Imanirad, Ray, dan Singh hanyalah salah satu dari semakin banyak individu yang memilih untuk mencari ketenangan di restoran. Di AS, menurut situs reservasi restoran OpenTable, tingkat pemesanan untuk satu tamu atau pengunjung naik hingga 29 persen dalam dua tahun terakhir.
Di Jerman, fenomena yang sama naik 18 persen. Sementara di Inggris Raya, fenomena seperti itu naik 14 persen. Jepang juga mengalami fenomena yang sama. Di ”Negeri Sakura”, pergi ke restoran dan menikmati santapan sendirian disebut ohitorisama.
Kenaikan pengunjung sendirian itu membuat banyak restoran di Jepang atau di tempat lain menata ulang interior dan mengubah menu mereka.
Survei anyar Hot Pepper Gourmet Eating Out Research Institute Jepang menemukan bahwa 23 persen orang Jepang makan di luar sendirian, naik dari angka tahun 2018, yakni 18 persen.
Baca juga: Manusia Tak Berbakat Jaga Jarak Fisik
Kenaikan pengunjung sendirian itu membuat banyak restoran di Jepang atau di tempat lain menata ulang interior dan mengubah menu mereka. Sentuhan khusus lain juga disematkan untuk menarik pengunjung yang memilih datang sendirian.
Masahiro Inagaki, peneliti di Hot Pepper, menemukan ada restoran keluarga yang menyediakan tempat khusus untuk pengunjung yang datang sendiri. ”Restoran menawarkan hidangan dengan porsi yang lebih kecil sehingga mereka bisa mencicipi berbagai menu,” kata Inagaki.
Norma sosial berubah
Ada beberapa hal yang menyebabkan fenomena ini semakin meningkat. CEO OpenTable Debby Soo menilai, bekerja jarak jauh adalah salah satu alasan fenomena ini menjadi semakin marak. Dia mengira, makan sendiri adalah salah satu cara konsumen untuk ”beristirahat” setelah hari yang melelahkan di kantor.
Namun, ada alasan lain yang lebih dalam. ”Saya pikir, ada gerakan yang lebih luas untuk mencintai dan merawat diri sendiri dan benar-benar menikmati suasana diri sendiri,” ujar Soo.
Makan sendiri adalah salah satu cara konsumen untuk ’beristirahat’ setelah hari yang melelahkan di kantor.
Anna Mattila, profesor manajemen penginapan Penn State University, menilai bahwa pandemi mengubah segalanya, termasuk membuat interaksi sosial menjadi berkurang. Akibatnya, interaksi dinilai kurang penting saat seseorang makan di restoran.
Selain itu, keberadaan gawai pintar membuat individu tersebut tetap merasa terhubung dengan komunitas atau orang-orang terdekat meski dia tengah sendirian di restoran.
”Norma sosial telah berubah. Orang tidak lagi melihat pengunjung restoran yang datang sendiri dan berpikir, ’Anda pasti penyendiri,’”kata Mattila.
Fenomena tersebut semakin terlihat seiring dengan meningkatnya orang yang memilih hidup sendiri. Penelitian Pew Research Center tahun 2019 menemukan 38 persen orang dewasa AS berusia 25-54 tahun memilih hidup tanpa pasangan. Angka ini naik dari 29 persen di tahun 1990-an.
Sikap pengelola restoran
Fenomena itu tak selalu menyenangkan bagi setiap manajemen restoran. Semakin banyak orang yang datang, semakin besar pemasukan yang didapat oleh pengelola. Tidak semua pengelola senang ketika hanya ada satu pengunjung duduk di sebuah meja yang memiliki lebih dari satu kursi.
Baca juga: Orang Makan Lebih Banyak Ketika Bersama Teman
Tahun lalu, Alex Dilling, restoran Michelin yang terletak di Hotel Cafe Royal, London, Inggris, membuat heboh ketika memasukkan tagihan untuk dua orang meski pengunjungnya hanya satu orang. Menu makan malam delapan hidangannya, meliputi kaviar dan cumi-cumi Cornish, harganya 215 pound sterling (280 dollar AS) atau setara Rp 4,3 juta per orang.
Manajemen restoran Alex Dilling tidak menanggapi permintaan komentar. Kebijakan itu memang sudah tercantum di laman restoran yang tidak mengizinkan reservasi untuk kurang dari dua orang.
Namun, tak semuanya bersikap seperti restoran di Inggris itu. Banyak pengelola restoran menilai, memberikan pelayanan terbaik meski hanya untuk satu konsumen akan membuat konsumen tersebut memiliki perasaan khusus. Akhirnya, konsumen sendirian itu menjadi pelanggan setia.
”Meskipun mungkin ada kerugian jangka pendek, saya pikir kami memainkan permainan jangka panjang dan membangun diri sebagai tempat yang benar-benar istimewa,” kata Drew Brady, kepala operasi di Overthrow Hospitality, yang mengoperasikan 11 konsep restoran vegan di New York.
Baca juga: Memburu Oase di Tengah Belenggu Pandemi
Brady mengakui, fenomena santap sendirian di restoran itu nyata. Di restoran utama perusahaan, Avant Garden, jumlah konsumen khusus tersebut mencapai delapan persen dari total pelanggan.
Area khusus
Alih-alih menolak, mereka mengembangkan program ”makan solo” alias makan sendirian. Bekerja sama dengan Lightspeed, perusahaan teknologi dan konsultan, mereka mengembangkan konsep khusus untuk para pengunjung yang memang datang sendirian.
Mereka merancang tempat khusus dan luas untuk pengunjung sendirian, lengkap dengan empat menu utama seharga 65 dollar AS atau sekitar Rp 1 juta. Jika pengunjung solo memesan koktail, seorang bartender akan mencampurnya di meja.
Mattila menilai, bentuk furnitur yang bersudut, baik itu meja, lampu maupun piring, akan lebih menarik bagi para konsumen ini dibandingkan bundar. Mereka juga lebih menyukai musik bertempo lambat.
Baca juga: Virus Covid-19 Ubah Cara Transaksi di Restoran dan Kafe-kafe di China
Jill Weber, pendiri Sojourn Philly, perusahaan pengelola dua restoran dan bar anggur di Philadelphia, mengatakan, ia menyediakan meja bersama untuk acara khusus, seperti mencicipi anggur. Ia juga tidak menawarkan menu khusus yang dirancang untuk dua orang pada tamu yang datang sendirian.
Weber, yang juga seorang arkeolog, senang makan sendirian saat bepergian.
”Ada sesuatu yang Anda tidak harus sepakat. Tentang ke mana harus pergi dan segala hal yang menyertainya. Anda punya kebebasan untuk tinggal selama yang Anda inginkan, memesan apa yang Anda inginkan,” kata Weber. (AP)