Indonesia dan Takhta Suci Vatikan, Selaras dalam Genderang Diplomasi
Takhta Suci Vatikan dan Indonesia memiliki pijakan yang sama dalam hubungan diplomasi, perdamaian, dan kemanusiaan.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·2 menit baca
Setelah terbang hampir 13 jam dari Roma, Italia, pada Senin (2/9/2024), Paus Fransiskus tiba di Jakarta pada Rabu (3/9/2024). Dengan lawatan Paus Fransiskus, sudah tiga kali Indonesia disambangi pemimpin tertinggi 1,39 miliar umat Katolik. Sebelum ini, Paus Paulus VI berkunjung ke Indonesia pada 1970 dan Paus Yohanes Paulus II pada 1989.
Bagi Indonesia, Takhta Suci memiliki tempat tersendiri dalam hubungan luar negerinya dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Vatikan, yang saat itu dipimpin oleh Paus Pius XII, menjadi negara Eropa pertama yang mengakui kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada 1947 atau dua tahun setelah Indonesia merdeka, mengutip Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Takhta Suci mendirikan Apostolic Delegate atau Perutusan Takhta Suci di Jakarta.
Duta Besar RI untuk Takhta Suci Vatikan Michael Trias Kuncahyono saat berbicara di Menara Kompas, Rabu (28/8/2024), mengatakan, Indonesia memiliki tempat khusus di hati Paus Fransiskus dan Takhta Suci Vatikan. Indonesia dan Vatikan, katanya, juga memiliki keselarasan tujuan dalam konteks global, yakni kemerdekaan, perdamaian, dan persaudaraan.
Selaras beriringan
Trias mengatakan, Vatikan mengagumi prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Di kedua aturan dasar bernegara Indonesia itu terkandung hal yang sama yang juga menjadi prinsip bernegara dan bekerja Vatikan, yakni kemanusiaan.
Ini sudah pernah disampaikan saat Vatikan mengakui kemerdekaan Indonesia. ”Kemerdekaan dan perdamaian serta kemanusiaan. Posisi Vatikan dan Indonesia sama,” katanya.
Dia mencontohkan bagaimana Paus Fransiskus berulang kali mengutarakan pemikirannya soal Perang Gaza. Perang itu kini sudah menewaskan lebih dari 40.000 warga sipil Palestina.
Dalam pandangan Paus, kata Trias, perang menghasilkan perang lagi. Untuk Palestina, lanjutnya, solusi dua negara juga mendapat dukungan dari Paus Fransiskus sebagai jalan tengah menghentikan kekejaman terhadap warga sipil.
Paus sangat menghargai kebinekaan. Begitu banyak suku bangsa di Indonesia dan bisa hidup berdampingan dalam damai.
Selain itu, dalam pandangan Paus, Indonesia dan Vatikan memiliki kesamaan pandangan soal kedudukan yang setara antarumat beragama. Kerja sama antara Vatikan dan Indonesia yang paling utama adalah menumbuhkembangkan rasa persaudaraan dan kerukunan antarumat beragama.
”Apa pun agamanya, apa pun suku dan rasnya, kita ini semua bersaudara. Penekanan yang sama juga dilakukan oleh Vatikan,” ujarnya.
Berbeda dengan hubungan diplomatik Indonesia lainnya, hubungan dengan Vatikan pun banyak dilandasi kerja sama untuk menggaungkan pemahaman antaragama. Indonesia, misalnya, tidak hanya mengirimkan agamawan (suster, biarawati, atau pastor) ke Vatikan.
Indonesia juga mengirimkan mahasiswa non-Katolik ke Vatikan. Mereka memperdalam pemahamannya tentang umat Katolik. Vatikan pun sering kali mengadakan dialog antariman, antaragama, dan antarkepercayaan dengan tokoh-tokoh dari Indonesia. ”Kalau berbeda, ya, enggak apa-apa asal tidak tabrak-tabrakan,” kata Trias.
Trias lebih lanjut mengatakan, ada kekaguman dalam diri Paus Fransiskus terhadap Indonesia, terutama dalam menjaga keberagaman tetap hidup dan terus tumbuh harmonis. Kunjungan Paus Fransiskus kali ini, ujarnya, ingin menegaskan penghargaan Takhta Suci terhadap Indonesia soal keberagaman, Bhinneka Tunggal Ika.
”Paus sangat menghargai kebinekaan. Begitu banyak suku bangsa di Indonesia dan bisa hidup berdampingan dalam damai. Indonesia jauh dibandingkan Balkan, Timur Tengah,” katanya.
Paus dan Takhta Suci, tutur Trias, mengapresiasi pemerintah dan rakyat Indonesia karena dinilai memberikan perlindungan bagi umat Katolik untuk beribadah dan berkembang. Pada saat yang sama, Paus juga ingin datang ke Indonesia untuk belajar mengenai Islam meski hanya sebentar.