Kasus Telegram di Perancis dan X di Brasil, Kenapa Medsos Jadi Target?
Bos Telegram Pavel Durov ditahan di Perancis. Medsos X milik Elon Musk diblokir di Brasil. Apa yang sebenarnya terjadi?
Apa yang bisa Anda pelajari dari artikel ini?
1. Kenapa negara berusaha memblokir atau memejahijaukan perusahaan media sosial?
2.Perusahaan media sosial mana saja yang sekarang sedang berhadapan dengan hukum karena kasus kebebasan berekspresi?
3.Perusahaan media sosial mana saja yang pernah mengalami kasus serupa?
4. Selain Perancis dan Brasil, negara mana yang saat ini menindak pelantar medsos?
Kenapa negara berusaha memblokir atau memejahijaukan perusahaan medsos?
Setelah penangkapan pendiri dan Direktur Utama Telegram Pavel Durov di Perancis pada akhir Agustus 2024, Brasil pada Sabtu (31/8/2024) resmi memblokir pelantar media sosial X. Kedua media sosial itu, oleh negara-negara yang menggugat, dianggap tidak mematuhi aturan terkait moderasi konten-konten yang dinilai membahayakan masyarakat.
Baca juga: Teman ”Flexing” Jet Pribadi, Pavel Durov Tertangkap
Pelantar media sosial selalu mengatakan, mereka menjunjung kebebasan berekspresi. Akan tetapi, pada praktiknya, konten yang digolongkan bebas diutarakan ini memiliki banyak masalah terkait keamanan masyarakat dan ketahanan demokrasi.
Pada kasus Telegram, Perancis menyelidiki peredaran antara lain konten pornografi anak, ideologi teroris, dan kejahatan terorganisasi.
Pavel Durov, selaku direktur utama pelantar itu, dinilai mengetahui berbagai kegiatan ilegal yang menjadikan Telegram sebagai wadah. Akan tetapi, Durov oleh aparat penegak hukum Perancis dianggap abai serta tidak mau bekerja sama di dalam memoderasi ataupun melarang pengunggahan konten-konten tersebut.
Baca juga: Unit Kejahatan Siber Kecil dengan Ambisi Besar Menangkap Bos Telegram
Sementara itu, di Brasil, Hakim Agung Alexander de Moraes memerintahkan pemblokiran pelantar media sosial X. Pelantar ini dinilai melanggar setidaknya dua aturan di negara itu. Pertama, X tidak memenuhi persyaratan hukum Brasil bahwa semua pelantar media sosial yang beroperasi di Brasil harus memiliki kantor perwakilan di sana. Sampai sekarang, X tidak memilikinya.
Hukum kedua yang dituduhkan Moraes dilanggar oleh X ialah penolakan memblokir orang-orang ataupun konten yang membahayakan demokrasi. Konten ini mencakup unggahan oleh golongan sayap kanan, terutama para pendukung mantan Presiden Brasil Jair Bolsonaro. Unggahan mereka dianggap memecah belah bangsa dan membahayakan demokrasi di Brasil.
Baca juga: Tak Patuhi Perintah Pengadilan Brasil, X Diblokir
Perusahaan medsos mana saja yang kini berhadapan dengan hukum?
Dua perusahaan besar yang prinsip kebebasan berekspresinya tengah berhadapan dengan hukum adalah Telegram dan X. Di dalam prinsip perusahaan, keduanya mengatakan memberi wadah kepada setiap orang, terlepas latar belakang politik, agama, sosial, dan ekonomi untuk mengutarakan pendapat tanpa harus takut disensor.
Baca juga: Penangkapan Pavel Durov, Sinyal Peringatan untuk Hak Kebebasan Bersuara di Ruang Digital?
Terkait penangkapan Durov, Telegram mengeluarkan pernyataan resmi bahwa Durov tidak memiliki hal yang ia sembunyikan. Adapun Elon Musk yang kini memimpin X mengkritik Moraes melalui cuitannya. ”Orang ini penjahat yang menyamar menjadi hakim,” kata Musk.
X sendiri telah lama diblokir di sejumlah negara dengan pemerintahan otoriter, antara lain Rusia, Pakistan, Myanmar, dan Iran.
Brasil dan Perancis merupakan negara-negara dengan pemimpin yang beraliran tengah-kiri. Pemerintahan yudisial kedua negara menjelaskan, mereka tidak melarang kebebasan berekspresi, tetapi menekankan bahwa kebebasan itu bisa melanggar batas kejahatan akibat konten tertentu.
Perusahaan medsos mana saja yang pernah mengalami kasus serupa?
Mark Zuckerberg, pemilik Meta yang membawahkan Facebook, Whatsapp, dan Instagram, mengirim surat terbuka kepada DPR Amerika Serikat. Di dalamnya, ia mengungkapkan bahwa selama pandemi Covid-19, Presiden AS Joe Biden dan Wakil Presiden Kamala Harris memerintahkan semua pelantar milik Meta untuk memoderasi konten yang menyebarkan kebohongan ataupun teori konspirasi mengenai vaksin Covid-19.
Di Perancis, aparat penegak hukum pada 2020 menyelidiki pelantar media sosial Encrochat dan Sky ECC. Kedua pelantar itu adalah aplikasi untuk mengobrol yang terenskripsi. Walhasil, banyak geng kejahatan terorganisasi menggunakannya untuk melakukan transaksi jual-beli senjata dan narkoba.
Baca juga: Perancis Perpanjang Penahanan Durov, Hubungan Paris-Moskwa Memburuk
Paul Krusky, pemimpin Encrochat, kini berada di Perancis dan masih menunggu persidangan. Adapun pemimpin Sky ECC Jean-Francois Eap berada di tahanan kepolisian Perancis. Ia berusaha melawan surat penangkapannya.
”Klien saya tidak bersalah. Ia membuat pelantar Sky ECC untuk mengobrol, bukan untuk dipakai penjahat,” kata pengacara Eap, Stephane Bonifassi. Menurut dia, pemimpin perusahaan media sosial tidak bisa disalahkan apabila ada orang yang menyalahgunakan pelantarnya.
Selain Perancis dan Brasil, negara mana yang saat ini menindak medsos?
Selain Perancis dan Brasil, negeri jiran Malaysia pada 27 Juli 2024 mengumumkan aturan baru bagi perusahaan pengelola platform media sosial dan layanan pengiriman pesan dengan sedikitnya 8 juta pengguna untuk memiliki izin lisensi beroperasi di negara itu.
Baca juga: Raksasa-raksasa Teknologi "Melawan" Malaysia dalam Aturan Baru Media Sosial
Menurut aturan baru, mulai 1 Agustus 2024, pengelola platform media sosial dan aplikasi pesan dengan lebih dari delapan juta pengguna harus memiliki izin. Jika tidak mematuhi aturan ini sampai 1 Januari 2025, mereka bisa dikenai denda hingga 500.000 ringgit atau setara Rp 1,7 miliar dan/atau penjara hingga 5 tahun.
Setelah dinyatakan bersalah melanggar aturan tersebut dan tak memenuhi ketentuan itu, mereka akan dikenai denda 1.000 ringgit atau setara Rp 3,5 juta per hari.
”Mengingat pesatnya kemajuan teknologi, dengan cakupan hingga 97 persen di negara ini, kami menemukan penyalahgunaan platform media sosial, khususnya berkaitan dengan perundungan siber, kejahatan siber, dan ujaran kebencian,” kata Datuk Zulkarnaen Mohd Yasin, Wakil Direktur Pelaksana Komisi Komunikasi dan Multimedia Malaysia (MCMC) Pemerintah Malaysia, di program Bernama TV.
Melalui surat terbukanya, Koalisi Internet Asia (AIC)—asosiasi yang menaungi antara lain Google, Meta, dan X—tertanggal 23 Agustus 2024 menyebut alasan kebijakan baru tersebut kurang jelas dan tidak dapat dijalankan oleh industri. ”Tidak ada platform yang akan mengajukan lisensi dengan ketentuan ini,” tulis Direktur Pelaksana AIC Jeff Paine dalam surat terbuka itu.
Entah mengapa, seperti diberitakan Reuters pada 26 Agustus 2024, surat terbuka itu sudah dihapus dari situs AIC. (AP/AFP/REUTERS/KOMPAS.ID)