Indonesia Merangkul Afrika, Memperkuat Ketahanan Dunia Selatan
Indonesia dan Afrika punya kepentingan sama: meningkatkan kesejahteraan dan melawan diskriminasi ekonomi negara maju.
Indonesia menggelar Forum Indonesia-Afrika (IAF) Ke-2 di Nusa Dua, Bali, pada 1-3 September 2024. Dengan mengusung tema ”Semangat Bandung untuk Agenda 2063 Afrika”, IAF 2024 didasarkan pada solidaritas global south (dunia selatan) yang berakar dari Konferensi Asia-Afrika di Bandung 1955.
Konferensi ini akan berfokus pada kerja sama ekonomi. Empat fokus utama adalah ketahanan energi, ketahanan pangan, ketahanan kesehatan, dan ketahanan mineral.
Digelar pertama kali pada 2018, IAF merupakan upaya diplomasi ekonomi Indonesia menggalang kerja sama saling menguntungkan dengan negara-negara di Benua Afrika.
”Jadi, ini adalah satu guliran momentum yang harus kita bangun terus secara konsisten. Tidak bisa hanya dibangun dalam sehari. Perlu ada konsistensi dan keberlanjutan dalam hal membangun kerja sama secara positif,” kata Wakil Menteri Luar Negeri Pahala Nugraha Mansury dalam wawancara khusus dengan Kompas di Jakarta, Rabu (28/8/2024).
Baca juga: Indonesia-Afrika yang Berkelanjutan
Pertemuan IAF 2024 ini ditargetkan menandatangani nota kesepahaman (MoU) berbagai bidang dengan potensi senilai 3,5 miliar dollar AS. Hingga Rabu (28/8/2024), sebesar 2,8 miliar dollar AS sudah pasti disepakati. Jumlah tersebut jauh di atas capaian IAF pertama pada 2018 sebesar 586 juta dollar AS.
Beberapa kerja sama itu dilakukan oleh PT Pertamina (Persero). Di IAF, Pertamina akan mengumumkan empat kerja sama yang sudah berjalan beberapa bulan terakhir.
Baca juga: Pertamina Teken Komitmen Kerja Sama di Empat Negara Afrika
VP Business Development International Market Pertamina Litta Indriya Ariesca mengatakan, kerja sama pertama adalah dengan Tanzania dalam bidang pembangunan kapasitas (capacity building) untuk pengembangan upstream di Tanzania. MoU ini terjalin antara Pertamina Hulu Energi dan Pertamina International EP dengan Tanzania Petroleum Development Cooperation.
Kedua, kerja sama ekspor produk pelumas dari Pertamina Lubricants ke Tanzania. Ekspor perdana ke Tanzania telah dilakukan pada April 2024. Selain itu, kerja sama bidang bahan bakar aviasi dengan Mesir.
”Ketiga, kami juga akan mengumumkan kerja sama antara anak perusahaan kami, yaitu Pertamina Training Consulting, dan Namibia. MoU telah ditandatangani 1 Agustus lalu untuk capacity building," kata Litta di Jakarta, Kamis (29/8/2024).
Kerja sama keempat dilakukan melalui anak perusahaan PT Pertamina Internasional EP (PIEP), Maurel & Prom SA (M&P) di Tanzania telah mengakuisisi sebagian perusahaan minyak dan gas Wentworth Resource PLC yang telah selesai pada 2023.
Litta mengatakan, kerja sama dengan negara-negara Afrika sangat penting untuk mengamankan ketahanan energi dalam negeri. Minyak mentah dari Afrika merupakan salah satu yang cocok untuk kilang Pertamina.
Kerja sama sektor migas
Saat ini, Indonesia merupakan importir bahan bakar. Sementara Afrika merupakan salah satu kawasan dengan cadangan minyak terbesar di dunia. Sekitar 10 persen cadangan minyak bumi dunia dan 8 persen cadangan gas dunia berada di Afrika.
Untuk itu, Pertamina telah melakukan ekspansi di Afrika untuk sektor hulu migas sejak 2013. ”Kami telah memiliki jejak atau footprint di Aljazair, Gabon, Nigeria, Angola, Namibia, dan Tanzania, yang mencakup produksi kurang lebih 78,2 mbopd per tahun atau minyak mentah sebanyak 34,1 miliar barrel oil per day dan gas sekitar 255,4 cub mn per hari,” tutur Litta.
Selain di hulu, lanjut Litta, pihaknya juga telah bekerja sama dengan subholding Pertamina International Shipping (PIS) International Marine, yaitu anak usaha Pertamina yang bergerak di bidang pelayaran internasional. Sejauh ini, PIS telah memiliki beberapa pelabuhan muatan di Aljazair, Nigeria, Angola, dengan rute internasional melalui Mesir, Aljazair, Nigeria, Afrika Selatan, Tanzania, dan Qatar.
Sekitar 10 persen cadangan minyak bumi dunia dan 8 persen cadangan gas dunia berada di Afrika.
Pertamina Group telah melakukan sejumlah kerja sama dengan Tanzania dan Namibia sejak awal tahun ini. Dalam IAF 2024, Pertamina juga akan memamerkan produk atau jasa yang berpotensi dapat dikolaborasikan dengan negara-negara di Afrika, terutama pengembangan sektor hulu.
Untuk IAF 2024, Pertamina mencoba memperluas area kerja sama di luar bidang energi fosil, yaitu penjajakan sektor energi baru terbarukan. ”Kami memperkenalkan Pertamina Geothermal yang membantu perkembangan geotermal di Afrika, khususnya di Kenya. Saat ini kami sedang melakukan joint study geotermal di Kenya,” tutur Litta.
Selain melibatkan badan-badan usaha milik negara, IAF 2024 juga mendorong peran serta swasta untuk menjajaki kerja sama dengan negara-negara Afrika. Salah satunya adalah PT ESSA Industries yang bergerak di bisnis kilang gas dan amonia.
Presiden Direktur PT ESSA Industries Indonesia Kanishk Laroya mengatakan, dalam IAF ini, pihaknya menjajaki potensi investasi di Tanzania di bidang industri pupuk. ”Kami melihat ada potensi industri yang cukup atraktif di Tanzania, terutama di bidang pupuk yang masih perlu dieksplorasi lebih lanjut,” katanya.
Menurut Kanishk, sejak kunjungan Presiden Joko Widodo ke Tanzania pada Agustus 2023, yang didampingi oleh delegasi dari BUMN dan perusahaan swasta, berbagai peluang investasi telah diidentifikasi. PT ESSA termasuk dalam rombongan presiden tersebut.
Baca juga: Indonesia Bangun Solidaritas dengan Tanzania
Kerja sama antara Indonesia dan Tanzania tidak hanya didasari oleh potensi ekonomi, tetapi juga oleh sejarah panjang hubungan kedua negara. Presiden Tanzania saat ini memiliki hubungan yang dekat dengan Indonesia, yang dimulai sejak era Presiden Soekarno.
Keterkaitan budaya di antara kedua negara, dengan banyaknya kesamaan dalam hal keberagaman agama, suku, dan bahasa, menjadi landasan kuat bagi pengembangan hubungan yang lebih dalam.
Benua masa depan
Sebagai bagian dari dunia selatan atau negara berkembang, Indonesia dan negara-negara Afrika mempunyai semangat, nilai, dan kepentingan yang sama. Indonesia mempunyai Visi Indonesia Emas 2045. Visi ini antara lain mewujudkan Indonesia menjadi negara maju dengan pendapatan per kapita 30.000 dollar AS, tingkat kemiskinan mendekati 0, ketimpangan berkurang, dan menurunkan emisi hingga 93,5 persen.
Adapun Afrika memiliki Agenda 2063, yaitu menjadikan Afrika sebagai kekuatan global dengan pertumbuhan inklusif dan pembangunan berkelanjutan serta Afrika yang damai dan aman. Selain itu, Indonesia dan Afrika sama-sama mempunyai potensi ekonomi yang sangat besar yang masih perlu terus dioptimalkan pemanfaatannya.
Pahala mengatakan, Benua Afrika diproyeksikan sebagai benua masa depan, yaitu pusat pertumbuhan ekonomi baru pada akhir abad ke-21 ini. Sejumlah posisi strategis Afrika bagi Indonesia adalah pertumbuhan penduduk yang tinggi dan kekayaan sumber daya alamnya.
Populasi Afrika semakin meningkat dan diperkirakan mencapai 2,5 miliar (25 persen penduduk dunia) pada 2050. Pertumbuhan penduduk ini tentu merupakan ceruk pasar yang menggiurkan ketika pertumbuhan penduduk di banyak kawasan lain justru menyusut.
Di bidang sumber daya alam, potensi Benua Afrika juga tak kalah memesona. Kawasan tersebut kaya akan mineral kritis yang juga menjadi bagian dari cadangan mineral kritis dunia, seperti kobalt (55 persen), mangan (48 persen), granit (22 persen), dan litium (5 persen). Negara yang mampu menguasai mineral kritis ini tentu akan mempunyai kedaulatan energi dan ekonomi.
Baca juga: KTT Indonesia-Afrika Pererat Solidaritas Negara-negara Dunia Selatan
Menurut Pahala, Afrika akan menjadi kawasan strategis untuk upaya diversifikasi pasar dan tujuan investasi bagi Indonesia. Dengan populasinya yang terus tumbuh, Afrika menjadi tujuan ekspor dengan pasar besar untuk pemasaran produk-produk Indonesia.
Dari sisi pembangunan industri dalam negeri, Afrika dengan kekayaan sumber daya alamnya merupakan sumber pasokan komoditas vital negara, yaitu minyak, gas, dan mineral kritis.
Afrika akan menjadi kawasan strategis untuk upaya diversifikasi pasar dan tujuan investasi bagi Indonesia.
Kuatnya kerja sama Indonesia dengan kawasan Afrika juga akan memperluas pengaruh Indonesia di dunia internasional. Selama ini, dengan berbagai diplomasi ekonomi yang sudah dilakukan, produk-produk dan sejumlah perusahaan di Indonesia sudah masuk ke sejumlah negara di Afrika.
Beberapa produk itu, antara lain, mi instan, produk turunan sawit, obat-obatan, dan vaksin. Salah satu perusahaan farmasi di Indonesia setiap tahun mengekspor sekitar 1.000 miliar vaksin ke sejumlah negara di Afrika. Sebuah perusahaan swasta Indonesia juga telah mendirikan pabrik mi instan di Nigeria.
Sebuah perusahaan swasta Indonesia juga telah beroperasi di Zanzibar di bidang pengolahan minyak asiri cengkeh. Saat ini, perusahaan tersebut telah memiliki enam kilang penyulingan minyak cengkeh dan tengah menjajaki pengembangan dengan potensi sekitar 100 kilang.
Pahala mengatakan, hal ini menunjukkan tidak hanya BUMN yang didorong pemerintah untuk berinvestasi di Afrika, tetapi juga perusahaan-perusahaan swasta.
”Tapi, tidak cukup rasanya kalau hanya berhenti di situ. Potensi kerja sama di bidang ketahanan pangan masih luas. Dengan jumlah penduduk sebanyak 1,7 miliar orang pada 2023, Afrika kerap mengimpor pangan dan pupuk yang merupakan penunjang ketahanan pangan,” katanya.
Persaingan di Afrika
Untuk mencapai tujuan di Afrika, Indonesia harus bersaing dengan negara-negara lain. Sebab, potensi ekonomi Benua Afrika telah memikat banyak negara maju yang mempunyai modal jauh lebih besar daripada Indonesia.
Salah satunya adalah China yang juga hadir di Afrika dengan Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI). China juga memiliki Forum Kerja Sama China-Afrika (FOCAC) yang bakal digelar setelah IAF 2024.
Tak hanya itu, Jepang dan Korea Selatan juga memiliki forum kerja sama serupa. Negara-negara maju itu melirik Afrika tidak hanya lantaran pangsa pasarnya yang besar, tetapi juga berkat kekayaan sumber daya alamnya berlimpah.
Dalam persaingan yang sulit itu, solidaritas dunia selatan yang lahir pada Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 menjadi modal Indonesia di Afrika. ”Saya sering ditanya, apa bedanya Indonesia dengan negara lain, solidaritas dari KAA ini yang menjadi pembedanya,” kata Pahala.
”Indonesia lebih menyasar sektor-sektor yang mencerminkan kesamaan kepentingan, seperti pangan, energi, kesehatan, dan mineral kritis,” ujar Pahala. ”Berbeda dengan China. Dengan modal besar yang dimilikinya, China dapat berinvestasi di sektor infrastruktur di Afrika, termasuk dalam megaproyek Prakarsa Sabuk dan Jalan.”
Baca juga: Wamenlu Pahala: RI-Afrika Bakal Wujudkan Rantai Pasok Empat Sektor Strategis
Teuku Faizasyah, Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Norwegia dan Eslandia, dalam tulisan berjudul ”Indonesia dalam Pusaran Geopolitik dan Geoekonomi” yang dimuat di harian Kompas, 11 Januari 2024, mengatakan, KAA merupakan cerminan semangat zaman pasca-Perang Dunia II.
Hasil akhir dari KAA 1955 hingga sekarang tetap menjadi suluh yang mempertautkan suasana kebatinan negara-negara berkembang untuk berjuang mengatasi berbagai tantangan pembangunan yang mereka hadapi. ”Gagasan itu merupakan denyut nadi dari diplomasi Indonesia dengan Afrika,” tulisnya.
Di Afrika, Indonesia lebih menyasar sektor-sektor yang mencerminkan kesamaan kepentingan, seperti pangan, energi, kesehatan, dan mineral kritis.
Di tengah situasi geopolitik saat ini yang tegang oleh rivalitas negara-negara adidaya dan konflik bersenjata yang mendisrupsi rantai pasok saat ini, semangat solidaritas dunia selatan ini dinilai semakin penting. Konflik dan disrupsi rantai pasok menyebabkan kenaikan harga bahan pangan dan komoditas energi.
”Kalau kita tidak memastikan memiliki rantai pasok sendiri terhadap komoditas-komoditas itu, sangat mungkin akan menjadi sangat mahal buat kita. Atau bisa jadi kita tidak dapat memperolehnya secara langsung,” kata Pahala.
Di antaranya, Indonesia sedang menjajaki bagaimana mendapat komoditas fosfat sebagai bahan baku pupuk. Setelah perang Rusia-Ukraina meletus, terjadi kenaikan harga fosfat yang sangat luar biasa. Sejumlah negara di Afrika utara memiliki kekayaan mineral fosfat.
Konflik di Timur Tengah juga telah memicu kenaikan harga minyak mentah yang signifikan. Bukan tak mungkin, konflik ini bisa berlangsung lebih dari 2-3 tahun mendatang. Untuk itu, Indonesia harus bersiap-siap memiliki sumber daya alam tersebut, apakah dalam bentuk minyak atau dalam bentuk gas.
Melawan diskriminasi ekonomi
Selain potensi besar, Indonesia dan negara-negara Afrika juga memiliki satu kepentingan bersama, yaitu menghadapi kebijakan diskriminasi ekonomi dan proteksionisme yang dinarasikan sebagai kebijakan hijau. ”Mengatasi diskriminasi ini menjadi salah satu kepentingan bersama global south,” kata Pahala dalam paparannya.
Kebijakan ini telah diberlakukan Uni Eropa (UE) pada komoditas Indonesia, yaitu nikel dan minyak kelapa sawit. Setidaknya ada tiga kebijakan UE yang membatasi, yaitu instruksi energi terbarukan (RED II), aturan antipenggundulan hutan (EUDR), dan aturan sanksi sepihak.
Baca juga: Uni Eropa Larang Produk Indonesia jika Tak Lolos Uji Tuntas Deforestasi
Parlemen Eropa dengan jelas menyebut EUDR menyasar sawit, kedelai, kulit, karet, kakao, kayu, dan produk turunannya. Sementara RED II membatasi impor sawit dan kedelai. Semua komoditas yang dituding berkontribusi pada penggundulan hutan dilarang masuk ke UE.
Mengatasi diskriminasi dan proteksionisme, yang dinarasikan sebagai kebijakan hijau, menjadi salah satu kepentingan Indonesia bersama global south.
Adapun sanksi sepihak dipakai UE untuk menyikapi banding Indonesia dalam sengketa larangan bijih nikel. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menetapkan, larangan itu tidak sesuai dengan peraturan perdagangan internasional. Indonesia mengajukan banding dan tetap melarang ekspor bijih nikel. Ekspor hanya diizinkan untuk nikel olahan.
UE menilai keputusan Indonesia tidak sesuai dengan peraturan internasional. Karena itu, saat menggunakan sanksi sepihak, UE akan keluar sementara dari aturan dagang internasional. Setelah itu, UE dapat menjatuhkan sanksi kepada Indonesia dengan hukuman yang bisa saja tidak selaras dengan aturan internasional.
Sementara itu, dengan aturan kesehatan publik, sejumlah negara Afrika juga telah menjadi sasaran kebijakan Eropa yang melarang ekspor sejumlah produk hewani dan nabati.
Pahala mengatakan, semua negara memiliki hak untuk berkembang dan menetapkan kebijakan pembangunan sesuai dengan kepentingan dan keadaan nasional masing-masing. Negara berkembang juga mempunyai kepentingan bersama untuk tidak hanya menjadi pengekspor bahan mentah, tetapi juga produk jadi dengan nilai tambahan.
IAF menjadi momentum untuk menggalang solidaritas menangani masalah tersebut. ”Mereka (negara-negara Afrika) juga ingin melihat hilirisasi nikel yang sudah dilakukan Indonesia,” kata Pahala.
Baca juga: Jalan Panjang Menciptakan Nilai Tambah Nikel di Indonesia
IAF 2024 dihadiri kepala negara dan sektor usaha dari 28 negara. Lebih dari 1.000 peserta telah memberikan konfirmasi ikut serta. Sebanyak lima kepala negara yang hadir ialah Zimbabwe, Rwanda, Ghana, Liberia, Eswatini, dan Zanzibar mewakili dari Tanzania.
Peserta lainnya terdiri dari menteri dari 11 negara, 297 perwakilan negara, 383 pelaku bisnis, dan sejumlah organisasi internasional. Fokus forum tingkat tinggi ini adalah kerja sama bidang ekonomi antara Indonesia dan negara-negara Afrika. Diharapkan hasilnya berupa kerja sama konkret.
Namun, di luar IAF, butuh langkah nyata yang berkelanjutan untuk menunjukkan keseriusan bahwa Indonesia menjadikan Afrika sebagai prioritas dalam diplomasi ekonomi. Salah satunya dengan menambah kedutaan besar Republik Indonesia (KBRI) di benua itu. Menurut data The Habibie Center, 1 September 2023, saat ini dari total 55 negara di Afrika, jumlah KBRI baru hadir di 16 negara.
Diplomasi ekonomi di Afrika tidak seharusnya hanya berhenti di acara konferensi semacam IAF atau hanya mengandalkan semangat KAA 1955. Justru dengan modal IAF dan KAA 1955 tersebut, ke depan dibutuhkan upaya berkesinambungan untuk Indonesia betul-betul hadir di Afrika.