K-Pop Tanpa Orang Korea? Tak Masalah Selama Bercita Rasa Korea
K-Pop bernilai 2 persen dari bisnis hiburan dunia. Menambah keragaman artisnya berarti meningkatkan jangkauan pasar.
Para penggemar pop Korea, atau istilah trendinya K-Pop, akan dimanjakan oleh tontonan dokumenter baru mengenai salah satu industri hiburan terbesar di dunia ini. Pelantar layanan video berbayar Apple TV+ menayangkan serial K-Pop Idols sejak Jumat (30/8/2024).
Dokumenter ini akan fokus, salah satunya, pada grup perempuan Blackswan dengan tema keragaman di ranah penampil.
Blackswan saat ini adalah kelompok K-Pop yang seluruh anggotanya tidak ada warga Korea Selatan (Korsel). Kelompok ini terdiri dari Fatou Samba, warga Belgia keturunan Senegal; Shreya Lenka (Sriya) dari India; Gabriela Strassburger Dalcin (Gabi) yang campuran Brasil-Jerman; dan Florence Alena Smith (Nvee) dari Amerika Serikat.
Baca juga: Skandal Kejahatan Seksual di Balik Gemerlap Dunia K-pop
Di dalam serial K-Pop Idols dikupas keseharian mereka yang penuh dengan latihan dan kerja keras. Fatou dan Nvee mengungkapkan, mereka berlatih 10 jam per hari. Di luar latihan, mereka menghadiri berbagai acara untuk mempromosikan lagu terbaru Blackswan.
Gabi menuturkan, selain latihan, ia juga harus diet ketat. Ia hanya makan dada ayam, telur, dan ubi selama masa latihan.
Baca juga: Silaturahmi dengan Idola dari Korea
”Saya harus mengurangi berat badan atas perintah kepala rumah produksi,” tutur Gabi.
Masihkah disebut K-Pop?
Salah satu tujuan dari serial ini ialah menjawab pertanyaan masyarakat: apakah kelompok itu masih bisa disebut K-Pop apabila para anggotanya tidak ada orang Korsel-nya?
Selama ini, memang ada penampil-penampil asing di dalam K-Pop. Akan tetapi, biasanya hanya setengah dari keseluruhan anggota.
Blackswanberlatih 10 jam per hari dan harus diet ketat. Selama masa latihanhanya makan dada ayam, telur, dan ubi.
Contohnya ialah grup musik Blackpink. Dari empat orang, dua anggotanya berasal dari luar Korsel. Mereka adalah Lalisa Manobal (Lisa) dari Thailand dan Roseanne Park (Rosé) yang keturunan Korsel tetapi berkewarganegaraan Selandia Baru dan besar di Australia.
Perdebatan itu dimunculkan ketika mantan anggota Blackswan Youngheun diwawancara di dalam dokumenter tersebut. ”Bagaimana bisa dibilang K-Pop kalau tidak ada orang Korea di dalamnya? Jadinya, kan, cuma cover group yang menyanyikan lagu-lagu K-Pop,” ujarnya.
Sementara itu, Hyeongjun dari boyband Cravity berpendapat lain. Salah satu anggota mereka, Allen, adalah keturunan Taiwan dan berkewarganegaraan AS. Menurut Hyeongjun, selama para penampil asing ini menyanyikan lagu berbahasa Korea dengan gaya khas pop Korea dan menargetkan mayoritas pemasaran di Korsel, mereka sah disebut sebagai K-Pop.
Baca juga: K-Pop Semakin Global dengan Grup Lokal
Blackswan menjawab dengan album terbaru mereka yang berjudul The Karma dan album tunggal Roll Up. Mayoritas lagu dalam album itu berbahasa Korea.
Di dalam video klip lagu-lagunya, tata rias dan busana mereka juga sangat khas dengan mode K-Pop. Tampilannya berbeda dengan kelompok-kelompok musik populer dari Barat.
Pada saat yang sama dengan serial dokumenter di Apple TV+, BBC juga menyiarkan serial dokumenter yang bekerja sama dengan rumah produksi SM Entertainment di Korsel. Judulnya Made in Korea: The K-Pop Experience.
Bedanya, dokumenter BBC itu fokus kepada kelompok musik pemuda bernama Dear Alice. Mereka terdiri dari Blaise Noon, Dexter Greenwood, James Sharp, Olly Quinn, dan Reese Carter. Rentang usia mereka adalah 19-23 tahun.
Selama para penampil asing menyanyikan lagu berbahasa Korea dengan gaya khas pop Korea dan menargetkan mayoritas pemasaran di Korsel, mereka sah disebut sebagai K-Pop.
Kelimanya berasal dari Inggris dan diaudisi untuk membentuk kelompok musik bernama Dear Alice. Setelah itu, mereka diterbangkan ke Seoul, Korsel, untuk menjalani latihan di bawah binaan Hee Jun-yoon, Direktur Pengembangan Bakat SM Entertainment. Perusahaan ini yang membidani kelahiran, antara lain, BoA, Super Junior, Girls’ Generation, dan Aespa.
Baca juga: Aktivisme ”K-poppers” yang Tak Sekadar Senang-senang
Selain berlatih vokal dan menari, para anggota Dear Alice juga belajar bahasa Korea. Terdapat juga pelajaran khusus mengenai budaya Korea yang membawa mereka ke berbagai tempat penting dan bertemu orang-orang yang bisa membangun pengetahuan dan kesadaran mengenai potensi pasar Korsel.
”Saya belajar disiplin. Apalagi, saya mengidap diabetes tipe 1, tetapi saya tidak menjadikannya hambatan di dalam menggapai cita-cita. Saya benar-benar mengatur pola hidup supaya sesuai dengan kebutuhan latihan yang padat,” kata Greenwood kepada BBC.
Memperluas bisnis
Seperti dilansir liputan kantor berita Korsel, Yonhap, melalui kanal Korea Now edisi 22 Juni 2023, selama lima tahun belakangan meragamkan anggota kelompok-kelompok musik K-Pop menjadi perhitungan yang serius bagi industri hiburan tersebut.
Penampil asing membuat kelompok itu semakin bercitra internasional. Harapannya, juga bisa menggaet penggemar baru dari negara asal penampil itu. Saat ini, bisnis K-Pop sebesar 2 persen dari total bisnis hiburan global.
Keputusan ini juga menunjukkan adanya perubahan pikiran di kalangan para penggemar K-Pop di Korsel. Ketika Lisa debut sebagai anggota Blackpink pada 2016, reaksi warganet campur aduk. Ada yang menyukai, tetapi banyak juga yang mengutarakan ujaran diskriminatif di media sosial.
Lisa disasar karena ia berasal dari Thailand, mulai dari bentuk wajah, warna kulit, hingga selera berpakaiannya dikritik. Sebaliknya, Rosé yang berkewarganegaraan Selandia Baru, tetapi keturunan Korsel, relatif aman dari kritik.
Baca juga: Kekurangan Tempat Konser, Industri K-pop Pusing
Bahkan, diskriminasi tampak di sejumlah iklan yang dibintangi Blackpink di awal-awal karier mereka. Lisa kerap ditempatkan di pojok dan tidak disorot sesering anggota lain. Seiring melejitnya kesuksesan Blackpink, praktik itu berkurang.
Liputan Korea Now pada 29 Mei 2023 mengikuti muda-mudi asing yang berharap bisa masuk pelatihan rumah produksi top di Seoul. Mereka meninggalkan negara masing-masing di usia sangat belia demi mengejar cita-cita menjadi bintang K-Pop.
Usia mereka umumnya 15-23 tahun. Ada yang dari Jepang, Perancis, dan Jerman.
Di Seoul, mereka mengikuti kelas bahasa Korea secara intensif, diikuti dengan les menari dan menyanyi. Bagi yang sudah memiliki agen, walaupun berskala kecil, ada yang menampung dan membantu membiayai. Sering kali karena masih sangat muda, mereka harus menggunakan uang yang dikirimkan oleh keluarga.
Kompas pada periode 2012-2014 juga mengikuti sepak terjang sekelompok anak muda Indonesia yang berusaha menjajal pasar K-Pop di Seoul. Pada akhirnya, walaupun wajah dan rambut sudah dipermak habis-habisan, tidak satu pun yang berhasil menembus rumah produksi top dan harus balik kanan pulang ke Indonesia.
Mungkin sekarang kesempatan yang baik bagi anak-anak muda Indonesia untuk mencoba lagi. Siapa tahu kali ini berhasil. (AP)