Kenapa Angka Kelahiran di Negara-negara Maju Menurun?
Ekonomi maju, tetapi bayi jarang. Tingginya biaya hidup hingga krisis iklim membuat orang enggan beranak.
Apa yang bisa Anda pelajari dari artikel ini?
1.Seperti apa situasi kependudukan di sejumlah negara maju?
2.Berapa angka kelahiran di negara-negara maju?
3.Apa penyebab rendahnya angka kelahiran?
4.Seperti apa kebijakan pemerintah masing-masing?
Situasi kependudukan di negara maju
Penduduk Bumi per Januari 2024 diperkirakan 8 miliar jiwa. Menurut pakar demografi Anne Morse, kelahiran 75 juta orang sepanjang 2023 tidak menambah populasi manusia di Bumi. Malah, sebenarnya terjadi penurunan populasi dan hal itu berlangsung sejak 1960.
Baca juga: Ada 75 Juta Bayi Lahir, Populasi Manusia Tetap Berkurang-Kompas.id
Korea Selatan memiliki tingkat kesuburan terendah di antara semua negara maju. Pada triwulan II 2024, hanya 0,71 per perempuan dewasa. Di ibu kota, Seoul, jumlahnya bahkan hanya 0,55. Bandingkan dengan angka kelahiran pada tahun 1970 yang mencapai 4,5 bayi per perempuan dewasa. Menurut perhitungan pemerintah Korsel, angka kelahiran terus menurun sejak 1983.
Baca juga: Anak Muda Korsel Pilih Foya-foya daripada Punya Anak
Tidak hanya di Korsel, banyak anak muda Jepang yang enggan menikah. Populasi Jepang yang saat ini sekitar 125 juta jiwa diperkirakan akan turun sekitar 30 persen dengan menjadi 87 juta pada 2070. Empat dari 10 orang berusia 65 tahun atau lebih.
Baca juga: Krisis Kependudukan di Korsel dan Jepang Semakin Parah
Warga Perancis juga berpikir senada. Mayoritas responden Perancis mengatakan tidak mau memiliki anak atau hanya ingin mempunyai satu anak karena tingginya biaya hidup. Apalagi, pandemi Covid-19, krisis energi, krisis pangan, dan krisis iklim membuat semua serba mahal serta tidak stabil.
Baca juga: Turunnya Angka Kelahiran Perancis dan Ancaman Ambruknya Jaring Pengaman Sosial
Berapa angka kelahiran di negara-negara maju
Jepang memiliki angka kelahiran 1,3 atau paling rendah sejak tahun 1899. Pada saat yang sama, jumlah angka kematiannya dua kali lebih besar. Di negara ini, jumlah penduduk lansia atau yang berumur di atas 65 tahun sebanyak 28 persen dari total populasi. Angka kelahiran Jepang menyentuh titik terendah pada 2023, yakni 758.631 kelahiran. Anak usia di bawah 15 tahun hanya 12 persen dari populasi pada 2022. Kini, hampir 30 persen penduduk Jepang adalah warga dengan kelompok umur di atas 60 tahun.
Baca juga: Bayi Semakin Sedikit, Pabrik Popok di Jepang Bidik Pasar Lansia
Baca juga: Sayonara, Sekolah
Di China, angka kelahirannya 1,2 bayi per perempuan. Bagi negara yang masih mengandalkan sektor industri padat karya, berkurangnya jumlah kelahiran berarti kekurangan tenaga kerja di masa depan.
Baca juga: AS Pun Dihantui Krisis Kelahiran
Apa penyebab rendahnya angka kelahiran?
Tidak ada penyebab tunggal rendahnya angka kelahiran karena di setiap negara ada persoalan kebudayaan, perekonomian, dan kesejahteraan yang unik dengan kawasan masing-masing. Akan tetapi, dari semua permasalahan, bisa digolongkan secara besar ke persoalan ekonomi, kebahagiaan, dan lingkungan.
Baca juga: Sekadar Bagi-bagi Uang Tak Bikin Masyarakat Ingin Berkeluarga
Apalagi, mayoritas keluarga yang memiliki anak umumnya terpaksa mengorbankan karier salah satu orangtua. Biasanya, ibu yang harus berhenti bekerja demi mengasuh anak. Walhasil, ayah menjadi satu-satunya sumber nafkah keluarga. Survei anak-anak muda di Jepang mengungkapkan bahwa mereka tidak ingin terjebak di dalam kehidupan keluarga seperti itu.
”Ibu saya sibuk di rumah, ayah saya bekerja sampai malam. Tidak ada komunikasi di rata-rata keluarga Jepang. Saya tidak mau punya kehidupan seperti itu,” kata seorang pemuda responden survei yang diadakan oleh Universitas Sacred Heart Tokyo itu.
Baca juga: Jepang-China Pusing Memikirkan Turunnya Angka Kelahiran
Sementara itu, di negara-negara Barat terkenal istilah ginks. Ini adalah singkatan dari green inclinations and no kids atau berpola hidup hijau dan tidak memiliki anak. Perspektif ini diambil dengan kesadaran oleh anak-anak muda. Krisis iklim merupakan momok terbesar mereka. Menambah jumlah manusia di Bumi berarti menambah emisi karbon.
Baca juga: Kebijakan Tiga Anak Isyaratkan Masalah Demografis yang Serius
Menurut Pusat Kajian Ilmiah Nasional Perancis, di negara itu, satu anak menghasilkan 40 ton emisi karbon per tahun. Sebagai perbandingan, menggunakan mobil listrik hanya bisa menghemat 2 ton emisi. Artinya, masih ada 38 ton emisi tersisa. Ini belum digabung dengan emisi orang dewasa, industri, pertanian, dan transportasi.
Apa kebijakan negara masing-masing?
Kebijakan pemerintah di negara-negara maju di Asia Timur umumnya masih bertumpu pada pemberian tunjangan. Di China, pemerintah menganjurkan warganya untuk menghemat biaya pernikahan. Tidak perlu yang mewah-mewah dan mengundang ratusan tamu.
Baca juga: Populasi Menua, Jepang Utamakan Anak dan Pengasuhan Anak
Ketua Program Keluarga Berencana China Wang Peian menjelaskan mengenai konsep keluarga modern di negara tersebut. Keluarga ini harus berbagai tanggung jawab pengasuhan anak antara ayah dan ibu. Jangan sampai ibu yang sudah berpendidikan tinggi terpaksa mengorbankan karier demi mengasuh anak dan jangan sampai ayah hanya menjadi ”mesin ATM” keluarga. Ikatan emosional dan komunikasi harus dijaga agar terbuka dan setara.
Baca juga: Tidak Terelakkan, Kemungkinan Perpanjangan Usia Pensiun di China
Pemerintah juga meminta agar perusahaan-perusahaan menerapkan jam kerja yang lentur agar pegawainya, baik laki-laki maupun perempuan, bisa bahu-membahu dengan pasangan masing-masing untuk mengasuh anak. Selain itu, jumlah penitipan anak juga ditambah. Program rintisan ini sedang diuji coba di 20 kota.
Baca juga: China Menyulap TK Menjadi Pusat Kegiatan Warga Lansia
Di Jepang, Perdana Menteri Fumio Kishida menaikkan tunjangan kelahiran anak dari 420.000 yen menjadi 500.000 yen. Di Tokyo, warga berumur 0-18 tahun akan diberi uang saku 5.000 yen per bulan. Perusahaan-perusahaan besar Jepang menaikkan gaji karyawan 5-30 persen. Akan tetapi, perkiraan nasional kenaikan gaji hanya 2,85 persen. Tujuannya, memberi insentif agar warga merasa punya uang untuk menikah.
Baca juga: Cara Korsel-China Lecut Warga Menikah, Harga Rumah-Mahar Kawin Diturunkan
Berbagai penelitian mengatakan, sekadar bagi-bagi uang tidak akan membuat masyarakat mau berkeluarga dan memiliki anak. Dua ekonom Eropa, Fabrizio Zilibotti dan Matthias Doepke, menulis buku Love, Money, and Parenting: How Economics Explains the Way We Raise Our Kids yang terbit pada 2019. Harus ada ruang bagi setiap masyarakat untuk mengaktualisasi diri tanpa khawatir mengorbankan apa pun ketika berkeluarga. Pernikahan pun tidak menjadi tekanan ekonomi dan sosial.