Merasa Ditinggalkan, Laki-laki Gen Z Bisa Berpaling ke Donald Trump
Laki-laki gen Z mendukung Donald Trump, bukan Kamala Harris, semata karena alasan kecemasan ekonomi.
WASHINGTON DC, SABTU — Banyak pria generasi Z di Amerika Serikat gelisah. Mereka merasa seperti Ken di Barbie Land.
Ketika ikut Barbie masuk ke ”dunia nyata” manusia, Ken menemukan ”patriarki”. Di mana-mana, Ken melihat dominasi laki-laki. Setelah tahu di dunia nyata laki-laki berkuasa, Ken lalu berasumsi dia memenuhi syarat untuk melakukan pekerjaan apa pun.
Kembali ke Barbie Land, dia memimpin para Ken untuk mendobrak dominasi para Barbie. Ia menolak hidup di bawah bayang-bayang para Barbie terus. Barbie Land lalu diubah menjadi Kendom yang memamerkan kejantanan dengan simbol kuda, kalung rantai, perkelahian, dan mantel bulu panjang.
Baca juga: Dekonstruksi Fantasi Barbie
Di Barbie Land, para Barbie dapat melakukan semua hal yang dilakukan para Ken dan terkadang lebih baik. Presiden, hakim agung, peraih Nobel bidang Fisika, dokter, pengacara, wartawan, dan diplomat semuanya perempuan. Ini yang membuat gusar Ken lalu berujung pemberontakan Ken.
Masyarakat AS tidak lagi membiarkan anak laki-laki menjadi anak laki-laki. Sejak kecil, kami sudah tidak boleh ini dan itu. Jadi laki-laki sekarang lebih susah.
Kegusaran Ken ini juga terjadi pada para Ken di dunia nyata di Amerika Serikat. Lebih tepatnya, para pemilih pria berusia di bawah 30 tahun. Mereka yang termasuk generasi Z ini merasa ditinggalkan atau tak diperhatikan oleh gerbong kereta Wakil Presiden AS dan calon presiden AS Kamala Harris.
Pemilihan presiden AS pada November 2024 akan menjadi pemilu dengan kesenjangan jender terlebar dalam sejarah AS. Harian The New York Times, Sabtu (24/8/2024), menyebutkan pilpres ini menjadi referendum tentang peran jender. Generasi dengan perbedaan pendapat terbesar antara pemilih laki-laki dan perempuan ada pada gen Z.
Baca juga: Gen Z Jadi Rebutan Trump dan Harris Si ”Ratu Meme”
Di satu sisi, ada perempuan pemilih muda yang liberal dan tergerak secara politik oleh bom jender seperti #MeToo dan pencalonan Harris. Di sisi lain ada pemilih laki-laki muda yang sebagian merasa peran jender berubah cepat dan meninggalkan mereka secara sosial dan ekonomi.
Karena merasa tertinggal, mereka melihat capres dari Republik, Donald Trump, sebagai tokoh yang memperjuangkan kejantanan. Ketika Presiden AS Joe Biden masih jadi bakal capres, laki-laki berusia 18-29 tahun lebih suka kepada Trump. Sementara perempuan muda menyukai Biden.
Itu menurut jajak pendapat nasional The New York Times/Siena College, Desember 2023-Juni 2024. Trump disukai khususnya di kalangan anak muda tanpa gelar sarjana dan kulit berwarna.
”Mereka merasa ditinggalkan secara ekonomi, politik, dan budaya. Mereka menganggap tidak ada yang peduli kepada mereka. Mereka tertarik kepada Trump karena pesannya, kepribadiannya, dan kejantanannya yang selama ini ditonjolkan,” kata Direktur Pusat Survei tentang Kehidupan Amerika di lembaga kajian American Enterprise Institute, Daniel A Cox.
Baca juga: Menyelami Pola Pikir Gen Z dalam Memilih
Meski cenderung memilih Trump, masih banyak laki-laki gen Z yang belum mau pindah ke Partai Republik. Mayoritas juga masih mendukung hak aborsi dan pernikahan sesama jenis. Bahkan, menurut Cox, laki-laki gen Z yang memilih Republik juga belum tentu konservatif secara sosial.
Gen Z yang kemungkinan akan mendukung Trump mengaku menjadi laki-laki itu sekarang lebih sulit. Mereka menghargai kekuatan seorang presiden. Mereka tidak menunjukkan kebencian terhadap perempuan atau memuji aksi berlebihan yang ditunjukkan kampanye Trump.
Kepala keluarga
Kekhawatiran mereka sebagian besar sebenarnya terkait dengan ekonomi. Mereka tidak yakin apakah mereka dapat memenuhi peran tradisional maskulin untuk menghidupi keluarga. Dalam beberapa tahun terakhir, baik Demokrat maupun Republik dianggap menawarkan visi berbeda kepada laki-laki tentang posisi dan peran mereka dalam masyarakat AS.
”Masyarakat AS tidak lagi membiarkan anak laki-laki menjadi anak laki-laki. Sejak kecil, kami sudah tidak boleh ini dan itu. Jadi laki-laki sekarang lebih susah,” kata Ranger Irwin (20), pemilih Trump di Nevada.
Baca juga: Generasi Z dan Pemilu 2024
Guru Besar Psikologi Perkembangan di New York University Niobe Way menduga ini yang ditangkap Trump yang kemudian mengatakan, ”Saya menganggap kalian ada dan menghargai Anda. Saya melihat kejantanan Anda.”
Sejak perempuan memasuki dunia kerja dan pendidikan tinggi dalam jumlah besar pada 1970-an, setiap generasi telah membuat langkah maju menuju kesetaraan ekonomi dengan laki-laki. Perempuan muda saat ini adalah yang paling terdidik—meraih lebih banyak gelar sarjana daripada laki-laki, semakin banyak mengabdi sebagai pencari nafkah keluarga, dan mencapai puncak kekuasaan dalam masyarakat AS.
Sebaliknya, bagi laki-laki, beberapa dekade terakhir lebih rumit. Jumlah laki-laki yang bekerja menurun. Banyak pekerjaan yang mayoritas dilakukan laki-laki, terutama pekerjaan kasar yang tidak perlu gelar sarjana, sudah hilang. Jumlah laki-laki yang tidak punya pasangan terus bertambah.
Dalam survei Pusat Penelitian Pew, banyak responden laki-laki yang mengaku kemajuan perempuan mengorbankan laki-laki. Mereka cenderung dipandang rendah. Daniel Romstad (28), pemilih Trump dan lulusan SMA di Michigan yang bekerja di bengkel, merasa begitu. Bahkan urusan pendidikan saja, dia merasa sekolah lebih fokus pada anak perempuan.
Baca juga: Demi Gaet Para Pemilih Muda, Biden Pun Tergoda Main Tiktok
Kampanye Trump menawarkan versi maskulinitas alternatif yang agresif. Ditambah lagi cawapres dari Republik, JD Vance, yang menekankan pentingnya keluarga patriarki dalam membesarkan anak. Vance pernah mengatakan Demokrat dijalankan oleh perempuan-perempuan pemelihara kucing dan tidak punya anak. Demokrat lalu ditudingnya partai feminin.
Ia mengabaikan isu-isu sehari-hari, seperti krisis fentanil, krisis perbatasan, dan warga AS yang tidak mampu membeli bahan makanan atau bensin.
Apalagi karena isu jender, seperti hak reproduksi, menjadi inti dari kampanye pilpres Harris. Sebaliknya, Republik menggambarkan dirinya sebagai partai maskulin, berotot, kelas pekerja, naik truk pikap, dan memakai barang buatan AS.
Dalam penelitian Cox, banyak anak muda memilih Trump karena mengagumi kekuatan dan sikap macho-nya. Bagi mereka, presiden harus macho. Presiden AS harus kuat dan mampu menunjukkan AS sebagai negara adikuasa yang kuat supaya tidak ada satu negara pun yang berani melawan AS.
Baca juga: Kamala Harris Mimpi Buruk Kelompok Sayap Kanan AS
Namun, bagi para pendukung Harris, meski banyak bicara soal hak reproduksi, Harris tidak menjadikan jender sebagai fokus. Cawapres pasangan Harris, Tim Walz, juga menawarkan versi maskulinitas yang berbeda.
Strategi Demokrat
Guru Besar tentang Perempuan, Jender, dan Seksualitas di Smith College di Massachusetts, Carrie Baker, menilai pilihan Harris pada Walz brilian. Sebab, Harris bisa menarik perhatian laki-laki muda lewat fakta Walz adalah pelatih sepak bola dan guru sekolah menengah. Walz juga pernah bertugas di militer selama 24 tahun.
Walz adalah gambaran laki-laki tradisional dan ini diyakini dapat membantu Demokrat menjangkau laki-laki kulit putih. ”Saya pikir Demokrat akhirnya memikirkan jender sebagai cara menjangkau pemilih laki-laki. Ini pendekatan penting dan sudah lama ditunggu-tunggu,” kata Baker kepada majalah Newsweek, 18 Agustus 2024.
Baca juga: Kamala Harris Kehilangan Kesempatan Raih Suara Penting
Strategi Demokrat ini, menurut Jackson Katz, pakar pendidikan pencegahan kekerasan jender, akan menghancurkan gagasan Republik bahwa ”laki-laki sejati” akan memilih Republik. Selama ini, Katz menilai Demokrat sangat buruk dalam menjangkau laki-laki, terutama laki-laki muda yang aktif di dunia maya.
Kellen Habibelahy, Ketua Federasi Republik Sekolah Menengah Atas Virginia, juga menilai mayoritas pesan kampanye Harris tidak ditujukan kepada laki-laki, tetapi kepada perempuan. Harris terus bicara soal isu-isu yang tidak dihadapi warga AS setiap hari.
”Dia menghabiskan banyak waktunya untuk bicara soal aborsi. Akan tetapi, ia mengabaikan isu-isu sehari-hari, seperti krisis fentanil, krisis perbatasan, dan warga AS yang tidak mampu membeli bahan makanan atau bensin,” ujarnya.
Sebaliknya, menurut Baker, Republik sudah menargetkan anak muda selama bertahun-tahun. Mereka mengembangkan pesan yang menarik anak muda. Ini tidak dilakukan Demokrat.
Menurut studi terbaru oleh Young Men's Research Initiative yang dilakukan 9-23 Juli 2024, laki-laki usia 18-29 tahun lebih cenderung mendukung kandidat perempuan daripada Trump ketika menyangkut kebijakan dukungan untuk pekerjaan bergaji tinggi dan perumahan yang terjangkau. Mereka tidak peduli dengan narasi Harris sebagai presiden perempuan pertama AS.
Baca juga: Plus-Minus Kekuatan Kamala Harris, Bagaimana Cara Dia Taklukkan Trump?
Para ahli meyakini alasan laki-laki muda mendukung Trump semata karena alasan kecemasan ekonomi. Menurut Pew, persentase perempuan di bawah 30 tahun yang mencapai kemandirian finansial lebih besar dibandingkan dengan wanita muda pada 1980.
Sementara, lebih sedikit laki-laki muda yang mencapai tonggak sejarah itu dibandingkan dengan 40 tahun lalu. Sementara itu, di kota-kota AS tertentu, perempuan muda melampaui laki-laki muda dalam pendapatan tahunan rata-rata. Barangkali, Harris akan lebih menarik jika menyuarakan kebijakan-kebijakan ekonomi ketimbang hanya membingkai kampanye dengan narasi ”perempuan presiden pertama AS”. (AP/REUTERS)