Dituduh Abaikan Konten Kejahatan, CEO Telegram Ditangkap di Perancis
Aparat Perancis menilai Telegram dan Pavel Durov congkak karena merasa tidak akan ditangkap.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
LE BOURGET, MINGGU — Pavel Durov (39), Direktur UtamaTelegram, pelantar media sosial dari Rusia, ditangkap oleh aparat penegak hukum Perancis. Ia sudah diincar selama beberapa waktu karena pelantar Telegram dituduh tidak memoderasi konten, termasuk yang mengandung unsur kejahatan.
Peristiwa ini terjadi pada Sabtu (24/8/2024) waktu setempat. Penangkapan dilakukan oleh unit penyelidikan kejahatan terhadap anak-anak atau OFMIN yang berada di bawah kepolisian nasional Perancis. Surat penangkapan ini hanya berlaku apabila Durov berada di wilayah Perancis.
Durov yang memiliki kewarganegaraan ganda Perancis dan Rusia ditangkap di Bandara Le Bourget, 11 kilometer di utara ibu kota Paris. Bandara ini bukan bandara komersial karena dipakai untuk pesawat kargo dan pesawat pribadi. Menurut media Perancis, TF1, Durov ditangkap begitu ia turun dari pesawatnya yang tiba dari Azerbaijan pukul 20.00 waktu lokal.
Surat penangkapan oleh OFMIN menyebutkan, mereka menggelar penyelidikan terkait sejumlah tindak kejahatan, di antaranya penipuan, peredaran narkoba, perundungan daring, kejahatan terorganisasi, dan mempromosikan aksi serta ideologi terorisme.
Telegram dinilai abai dan lalai memoderasi konten-konten tersebut. Di dalam kasus ini, OFMIN khusus membahas kejahatan yang korbannya adalah anak-anak. ”Sudah cukup Telegram menganggap diri mereka kebal hukum,” kata salah satu penyelidik.
Menurut OFMIN, kecongakakan Telegram dan Durov ini terbukti dari kedatangan Durov ke Perancis. Bahkan, para penyelidik sampai kaget melihatnya. Sebab, Durov tahu dirinya diincar OFMIN, tetapi ia menganggap bisa mengatasinya dan kepolisian tidak akan benar-benar menindaknya. Perkiraan Durov terbukti salah.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, menantang lembaga-lembaga swadaya masyarakat Barat. Konteksnya adalah melihat standar ganda yang diterapkan kepada para pengelola pelantar media sosial Barat dengan Rusia.
Pemilik dan Direktur Utama X Elon Musk dikenal sangat kontroversial dan membiarkan konten-konten bermasalah, bahkan berbahaya merajalela di X. Ia mengatakannya sebagai bagian dari kebebasan berekspresi.
Direktur Utama Meta Mark Zuckerberg dan Direktur Utama Tiktok Shou Zhi Chew pada kadar tertentu juga memiliki masalah serupa dalam moderasi konten di pelantar masing-masing. Masih ada konten berbahaya yang lolos dari pengawasan moderator. Terlepas dari banyaknya keluhan masyarakat, mereka tidak dihadapkan dengan hukum dalam konteks pidana.
”Apakah para LSM ini akan meminta pembebasan Durov atau hanya bungkam?” Kata Zakharova.
Telegram
Durov bersama kakaknya, Nikolai, adalah pemilik dan pendiri Telegram yang pertama kali diluncurkan di tahun 2013. Peranti lunak ini merupakan aplikasi mengobrol dan dibuat untuk bersaing dengan Whatsapp, Line, dan Wechat.
Pada 23 Juli 2024, Durov mengunggah di laman resmi akunnya di Telegram bahwa pengguna pelantar tersebut mencapai 950 juta orang. Ini hanya pengguna aktif. Telegram menargetkan bisa mencapai 1 miliar pengguna per akhir 2024.
Media TechCrunch mengatakan, mayoritas pengguna Telegram berada di Asia. India adalah negara dengan jumlah pengguna Telegram terbanyak. Di negara-negara pecahan Uni Soviet, Telegram adalah pelantar media sosial nomor satu.
Telegram berperan penting menyebar informasi terkait Perang Rusia-Ukraina. Oleh sebab itu, Telegram oleh para pengamat politik dan militer dianggap sebagai medan perang virtual antara Rusia dan Ukraina.
Durov meninggalkan Rusia pada tahun 2014 karena ditekan oleh pemerintah. Ia menolak menghapus akun para tokoh oposisi pemerintah. Ia kemudian pindah ke Dubai, Uni Emirat Arab. Di situ pula letak kantor pusat Telegram. Durov memperoleh kewarganegaraan Perancis pada 2021.
”Saya sangat mementingkan kebebasan. Saya tidak mau diperintah siapa pun,” kata Durov kepada Fox News pada April 2024. Ia oleh majalah Forbes ditaksir memiliki kekayaan sebesar 15,5 miliar dollar AS.
Pada November 2023, majalah Wired bekerja sama dengan Jeff Allen, pendiri lembaga kajian Institut Integritas, menyelidiki 100 kanal yang oleh Telegram dikategorikan dibatasi secara ketat. Terungkap, para anggota kanal itu masih bisa menyebar hoaks secara bebas dan diakses oleh pengguna awam.
Penyelidikan ini menemukan, kanal-kanal yang dinilai sensitif itu tidak akan muncul apabila pengguna mencari di kolom peramban Telegram. Namun, kanal-kanal itu bisa diakses dengan cara disebar melalui laman percakapan. Satu grup di Telegram anggotanya bisa mencapai 200.000 orang.
Laporan media NBC juga menyebutkan, Telegram pernah memblokir kanal yang menginspirasi gerakan anti-Israel di sebuah bandara di Rusia. (AFP/REUTERS)