Anak Difabel Keluarga Indonesia Ditolak Pemerintah Australia
Keluarga Indonesia di Melbourne ingin memboyong anak mereka yang difabel, tetapi Australia tak menginginkannya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F08%2F24%2Fef0c95ee-5db9-4717-bff7-ff79eab1b51b_jpg.jpg)
Lily Lumintang (43, kiri), Martin Cahyo (45), dan anak bungsu mereka, Raphael (3), berfoto dengan memegang foto masa kecil Jonathan, anak sulung mereka, ketika ditemui di rumah mereka di Kew, di timur Melbourne, Australia, Sabtu (24/8/2024). Permohonan residensi permanen keluarga mereka ditolak Pemerintah Australia karena Jonathan, yang kini berusia 14 tahun dan tinggal di Surabaya, memiliki cerebral palsy dan disebut akan menjadi beban anggaran bagi pemerintah.
Kalau harus jujur, hati Lily Lumintang (43) sebenarnya luluh lantak tiap kali harus meninggalkan Jonathan (14) di Surabaya untuk kembali ke Melbourne. Namun, setelah 12 tahun terpisah dari anak sulungnya itu, agaknya Lily semakin terbiasa meredam gejolak batin dan air mata.
”Kalau saya di depan dia enggak kuat, gimana saya bisa survive (untuk) ngurus dia?” kata Lily, Kamis (1/8/2024) sore, di ruang tamu rumahnya di Kew, sebuah distrik di timur pusat kota Melbourne.
Dengan kapasitas fisik dan intelektual yang berbeda karena cerebralpalsy, Jonathan memang tak banyak protes. Namun, Lily tahu, Jonathan punya pertanyaan besar yang diiringi rasa iri: mengapa cuma dia yang harus tinggal? Mengapa papanya, Martin Cahyo (45), dan adiknya, Raphael (3), bisa ikut pergi?
Lily untuk sementara hanya bisa melapangkan hati Jonathan. ”Saya bilang, ’Kamu tunggu, ya. Sabar. (Kami) akan jemput kamu, soon.’”
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F08%2F24%2Fa3514cf0-fe0c-4655-8772-8edc6b551dde_jpg.jpg)
Lily Lumintang (43) menunjukkan video Jonathan (14), putra sulungnya yang tinggal di Surabaya, ketika ditemui di rumahnya di Kew, di timur Melbourne, Australia, pada Sabtu (24/8/2024).
Perpisahan yang dilipur dengan temu setahun sekali itu bukan tanpa tujuan. Lily, seorang administrator kontrak di sebuah perusahaan konstruksi di Melbourne, sedang mempersiapkan masa depan yang dia yakini cerah bagi Jonathan di Australia.
Negeri itu disebut-sebut sebagai ”The Land of the Fair Go”, tempat semua orang setara dan berkesempatan sama, termasuk difabel. Kata Lily, itu terlihat dari ketersediaan fasilitas dan layanan publik yang ramah difabel hingga sikap inklusif masyarakat.
”Itu yang bikin saya tetap fight for the better future. Bukan future saya, tapi future anak saya (Jonathan). One day, dia yang akan ke sini,” kata Lily, yang untuk sementara hanya bisa hadir bagi Jonathan lewat telepon video dengan perantaraan seorang asisten rumah tangga.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F08%2F24%2Ff6625cfa-79c4-4907-b8d4-82b07ff1a0c2_jpg.jpg)
Lily Lumintang (43) menunjukkan video Jonathan (14), putra sulungnya, yang sedang berlatih berjalan di Surabaya, ketika ditemui di rumahnya di Kew, di timur Melbourne, Australia, pada Sabtu (24/8/2024).
Hadiah
Jonathan lahir pada Juli 2010 di Melbourne dengan kelainan pada corpus callosum-nya, yaitu serabut saraf penghubung otak kanan dan kiri. Lily bilang, abnormalitas itu terdeteksi sejak bulan keempat kehamilannya. Dokter bahkan sempat memberikan pilihan aborsi karena bayi yang lahir nantinya akan mengalami keterlambatan tumbuh kembang.
Opsi itu terdengar logis untuk Lily. Saat itu, dia baru saja memulai studi magister akuntansi. Namun, dia dan Martin akhirnya sepakat untuk tetap mempertahankan Jonathan, yang Martin sebut ”hadiah” dari Tuhan.
”Orang yang kadang sudah jungkir balik saja kadang enggak dapet (anak). Ini (Tuhan) ada misi apa? Apa sih rencana-Nya? Pasti ada sesuatu yang mau ditunjukkan,” ujar Martin yang kini bekerja di sebuah pusat ritel.
Pada Januari 2012, ketika Jonathan berusia 1,5 tahun, Martin memutuskan untuk membawanya pulang ke Surabaya. Selain karena ada kakak Martin yang meninggal, kondisi keuangannya dan Lily saat itu tak memungkinkannya untuk memenuhi kebutuhan Jonathan di Australia. Dollar yang telah terkumpul selama tiga tahun akan dia pakai melanjutkan perawatan dan terapi Jonathan di ”Kota Pahlawan”.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F08%2F24%2Fe1168439-20c4-4b9f-939c-c42a57766b85_jpg.jpg)
Martin Cahyo (45, tengah) dan Lily Lumintang (43) bermain dengan anak bungsu mereka, Raphael (3), di rumah mereka di Kew, di timur Melbourne, Australia, pada Sabtu (24/8/2024).
Lily tadinya akan menyusul pada akhir 2012, pulang setelah lulus kuliah. Dia memang tak pernah bermaksud menetap di Australia sejak tiba dengan visa pelajar pada 2009.
Namun, rencana itu berubah setelah Lily mendapat pekerjaan di Melbourne. Gaji yang dia sebut lumayan dan standar hidup yang lebih baik memotivasinya untuk memboyong keluarganya kembali ke Australia sehingga dia mengajukan permohonan residensi permanen pada 2019.
Baca juga: Liku-liku Penyandang Disabilitas Memulai Usaha
Lily tak menyangka cita-cita itu justru dijegal oleh sistem hukum Australia sendiri yang mengecualikan Undang-Undang Migrasi 1958 dari ikatan pada UU Diskriminasi Disabilitas 1992. Sederhananya, pemerintah boleh mendiskriminasi penyandang disabilitas yang mau bermigrasi ke Australia.
Permohonan residensi permanen Lily pun ditolak Departemen Dalam Negeri Australia pada 2021. Fakta bahwa Jonathan lahir di Melbourne tak berarti apa pun karena dia tak pernah tinggal lama di sana. Ketika Martin kembali ke Melbourne pada 2017 pun, ia terpaksa menitipkan Jonathan kepada ibunya yang tinggal di daerah Keputran, Surabaya, karena belum siap secara finansial.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F08%2F24%2F6a74615f-203b-4aa0-b897-792d51b32a7f_jpg.jpg)
Martin Cahyo (45, kiri) dan Lily Lumintang (43) menemani anak bungsu mereka, Raphael (3), bermain ketika ditemui di rumah mereka di Kew, di timur Melbourne, Australia, pada Sabtu (24/8/2024).
Terlepas dari itu, alasan utama penolakan residensi permanen keluarga Lily adalah disabilitas Jonathan yang diperkirakan bakal memaksa Pemerintah Australia merogoh dana 2,39 juta dollar Australia (Rp 24,9 milliar) selama 10 tahun. Hitungan itu jauh melampaui ambang biaya signifikan (significant cost threshold/SCT) sebesar 51.000 dolar (Rp 532 juta) selama 10 tahun yang berlaku saat itu.
SCT adalah patokan untuk menentukan apakah kondisi fisik seorang imigran akan berisiko menimbulkan pembengkakan anggaran layanan kesehatan secara ”signifikan”. Biaya pendidikan dan layanan sosial lainnya juga dipertimbangkan. Jika totalnya melampaui SCT, permohonan visa atau izin tinggal akan ditolak meski biaya tersebut hanya estimasi.
”Regulasi ini sangat menyakitkan karena orang dinilai dari disabilitasnya saja. Seolah-olah ini cuma soal uang, bukan soal hak asasi manusia,” keluh Lily.
Keluarga Lily kemudian mengajukan banding ke Tribunal Banding Administratif (AAT) di Sydney. Proses hukum yang berlangsung 2,5 tahun dengan biaya hampir 3.500 dollar (Rp 36,6 juta) di luar jasa pengacara itu juga berujung penolakan pada awal Juni 2024. Bahkan, estimasi SCT Jonathan melonjak jadi 2,51 juta dollar (Rp 26,1 miliar).
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F08%2F24%2F7a4363af-be03-4981-abbe-f24e0302794a_jpg.jpg)
Dokumen putusan Tribunal Banding Administratif Australia menerakan estimasi dana publik yang dibutuhkan untuk memastikan kesejahteraan Jonathan (14), yang memiliki cerebral palsy, jika ia mendapat izin tinggal di Australia, sebagaimana ditunjukkan Lily Lumintang (43), ibunya, di rumah mereka di Kew, di timur Melbourne, Sabtu (24/8/2024).
Dr Jan Gothard, pengacara imigrasi di Perth yang mendirikan kelompok advokasi Welcoming Disability, menyebut Pemerintah Australia menganggap imigran difabel sebagai beban finansial. SCT menjadi salah satu instrumen untuk mengeksklusikan mereka di bawah UU Migrasi yang dikecualikan dari kepatuhan pada UU Diskriminasi Disabilitas.
Regulasi ini sangat menyakitkan karena orang dinilai dari disabilitasnya saja. Seolah-olah ini cuma soal uang, bukan soal hak asasi manusia.
Dengan mempertahankan tatanan hukum itu, Gothard menyebut Australia mengabaikan kewajiban domestik dan internasionalnya dalam menjunjung HAM difabel. Menurut dia, itu tak sesuai dengan sikap masyarakat Australia yang sudah lebih inklusif, apalagi negara itu sudah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas.
”Saat kita mengatakan kepada penyandang disabilitas dari luar Australia, ’Kami tidak menginginkanmu di sini,’ kita mengirimkan pesan kepada penyandang disabilitas di Australia bahwa jika diberi pilihan, lebih baik tidak ada mereka di komunitas kita,” kata Gothard yang tak terlibat langsung dalam kasus Lily.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F08%2F24%2F2f2b8c74-80e1-4981-bfee-9af05f75b641_jpg.jpg)
Jan Gothard, pengacara migrasi asal Perth, Australia, sekaligus pendiri kelompok advokasi Welcoming Disability, ketika dihubungi pada Selasa (23/7/2024) melalui telepon video.
Kemurahan hati menteri
Kini, satu-satunya harapan yang tersisa bagi Lily adalah intervensi langsung dari Menteri Imigrasi, Kewarganegaraan, dan Multikulturalisme Australia Tony Burke. Karena itu, seiring permohonan intervensi yang dia ajukan awal Juli, Lily juga meluncurkan petisi daring untuk menggalang dukungan publik demi meluluhkan hati sang menteri.
Sejak 16 Juli 2024, sekitar 7.200 orang telah menandatangani petisi itu. ”Saya masih percaya dukungan komunitas di sini bisa membuat suara saya didengar,” kata Lily yang aktif berkomunitas di sebuah gereja Indonesia, Grace of Galilee Church.
Daniel Abraham, pendeta yang menggembalakan gereja itu, menyebut Lily dan Martin aktif di gerejanya sejak 2016. Lily adalah anggota dewan jemaat yang senantiasa ikut mengajar anak-anak sekolah minggu, sementara Martin biasanya menjadi operator elektronika penunjang ibadah.
”Mereka banyak berkontribusi untuk komunitas kami. Saya rasa semua orang yang datang ke negara ini menginginkan kehidupan dan masa depan yang lebih baik. Saya sangat berharap pemerintah bisa mempertimbangkan kondisi mereka,” kata Daniel yang telah menjadi warga negara Australia.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F08%2F24%2F0683cfb7-90cd-4699-88e4-c632758af881_jpg.jpg)
Lily Lumintang (43) menunjukkan laman petisi daring yang ia buat ketika ditemui di rumah mereka di Kew, di timur Melbourne, Australia, pada Sabtu (24/8/2024).
Andrew Woo, pengacara keluarga Lily, menyebut keputusan intervensi menteri biasanya butuh waktu 12 bulan. Namun, keluarga kliennya itu bisa saja harus segera hengkang Oktober mendatang ketika Bridging Visa E mereka kedaluwarsa. Fungsi visa itu adalah memberi waktu bagi imigran untuk mempersiapkan kepulangan.
Woo pun meminta Menteri Imigrasi Burke untuk mempertimbangkan situasi keluarga Lily yang spesifik. ”Mereka sudah berada di sini sejak lama, sudah membangun ikatan komunitas, dan punya profesi yang tetap. Kalau bukan karena disabilitas Jonathan, mereka sudah pasti memenuhi semua kriteria,” ujarnya.
Baca juga: ”Body Mapping” Seni Difabel
Melalui surel, seorang juru bicara Departemen Dalam Negeri Australia menolak mengomentari kasus keluarga Lily. Menurut dokumen yang dia lampirkan, selama 2021 ada 268 permohonan intervensi menteri dari para calon imigran yang sudah ditolak di tribunal, termasuk yang terkait disabilitas. Namun, kurang dari lima yang disetujui.
Jumlah permohonan intervensi melonjak ke 563 pada 2023. Dokumen tersebut tak menerakan secara jelas berapa yang disetujui.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F08%2F24%2F1cf556ee-b94b-480f-8147-609f584c8642_jpg.jpg)
Martin Cahyo (45) dan Lily Lumintang (43) bermain dengan anak bungsu mereka, Raphael (3), di rumah mereka di Kew, di timur Melbourne, Australia, pada Sabtu (24/8/2024).
Juru bicara itu juga menegaskan berbagai aturan keimigrasian telah diubah, termasuk nilai SCT yang dinaikkan menjadi 86.000 dollar Australia (Rp 89,61 juta) selama 10 tahun.
Kendati begitu, hitungan yang baru ini masih tak masuk akal bagi Gothard. Menurut data pemerintah sendiri, rata-rata biaya layanan kesehatan untuk seorang warga pada tahun anggaran 2021-2022 adalah 9.365 dollar (Rp 97,4 juta), sementara rerata biaya jejaring sosial 8.245 dollar (Rp 85,7 juta).
Jika dijumlah, biaya kesejahteraan seorang warga Australia adalah 17.610 dollar setiap tahun, atau 176.100 dollar selama 10 tahun. Angka ini jauh di atas SCT.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F08%2F24%2F6c9fc42e-04c4-40ef-ab7b-024a6bd7c3e8_jpg.jpg)
Lily Lumintang (43) menunjukkan foto keluarganya di halaman depan koran The Age ketika ditemui di rumah mereka di Kew, di timur Melbourne, Australia, pada Sabtu (24/8/2024).
”Bagaimana mungkin biaya (kesejahteraan seorang difabel) menjadi signifikan jika masih bawah rata-rata? Saya tidak mengerti. Harus ada perubahan,” kata Gothard.
Di samping itu, dengan menolak migran difabel, Gothard menyebut Australia juga menolak kedatangan anggota keluarga mereka yang bisa jadi adalah tenaga kerja terlatih. Beberapa keahlian khusus yang dibutuhkan ”Negeri Kanguru” saat ini mencakup aktor, guru, perawat, ahli keamanan siber, akuntan, dan administrator kontrak, seperti Lily.
”Orang dengan disabilitas atau masalah kesehatan pun juga bisa berkontribusi dengan cara mereka sendiri. Mereka membawa dampak baik untuk Australia,” kata Gothard.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F08%2F24%2F4ebe104f-2dbf-4bf9-9ae4-c5f0fc156571_jpg.jpg)
Foto Martin Cahyo (45), Lily Lumintang (43), dan anak sulung mereka, Jonathan, ketika masih kecil, dipajang di rumah mereka di Kew, di timur Melbourne, Australia, pada Sabtu (24/8/2024).
Menanti
Meski sudah ditingkatkan, angka SCT yang baru masih jauh dari cukup untuk mempersatukan Jonathan dan keluarganya di Melbourne. Lalu, mengapa Lily, Martin, dan Raphael tak kembali saja ke Indonesia?
”Saya udah 15 tahun di sini, udah bangun keluarga di sini. Punya pekerjaan full-time. Suami saya juga. Australia udah seperti rumah buat kami,” kata Lily.
Lily juga khawatir akan usianya dan Martin sudah lebih dari 40 tahun. ”Bakal sulit bangetdapet kerja (di Indonesia). Mungkin bisa (bertahan) dengan uang tabungan. Tapi seberapa lama?” ujar Lily.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F08%2F24%2F60b0de25-72dc-4898-8701-39333be9049f_jpg.jpg)
Martin Cahyo (45), Lily Lumintang (43), dan anak bungsu mereka, Raphael (3), ketika ditemui di rumah mereka di Kew, di timur Melbourne, Australia, pada Sabtu (24/8/2024).
Kekhawatiran ini dipertegas sendiri oleh Mahkamah Konstitusi yang akhir Juli lalu menolak permohonan uji materi soal batasan usia pelamar kerja dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Artinya, MK mengizinkan pemberi kerja untuk terus membatasi lowongan pekerjaan berdasarkan usia, biasanya maksimal 25-30 tahun.
Untuk sementara, Lily optimistis bridging visa keluarganya akan diperbarui hingga keputusan intervensi menteri imigrasi diterbitkan. Namun, kalau pada akhirnya memang harus hengkang, mereka tentu tak bisa melawan.
Lily dan Martin mengakui proses ini berat, tetapi sosok Jonathan sendirilah yang menguatkan mereka. ”Jonathan itu strong, very strong. Itu mungkin karena dia udah terbiasa menghadapi ketidakmudahan dalam kehidupannya. Dia enggak gampang nangis,” kata Lily.