Tak Mempan Ditekan AS, Israel Ciptakan Konflik Baru dengan Pembunuhan Komandan Fatah
Serangan tersebut menandai serangan pertama Israel terhadap Fatah yang berpotensi memperkeruh perang di Timur Tengah.
SIDON, KAMIS — Israel semakin menunjukkan sikap tak berniat mencapai gencatan senjata. Di tengah upaya keras AS menekan Israel untuk mencapai perdamaian di Gaza, Israel justru memperparah konflik dengan membunuh komandan senior Fatah.
Israel juga menegaskan tak mau menarik pasukan dari koridor Philadelphi, sebuah poin yang ditentang Hamas untuk menyetujui kesepakatan. Upaya Amerika Serikat tak mempan oleh aksi-aksi Israel.
Serangan Israel di kota Sidon, Lebanon, Rabu (21/8/2024), menewaskan salah satu komandan senior Fatah, Khalil Maqdah. Hal ini dikonfirmasi anggota senior Fatah yang berbasis di Lebanon, Fathi Abu al-Aradat. Demikian kantor berita nasional resmi Lebanon. ”Maqdah tewas dalam serangan terhadap sebuah mobil,” kata Al-Aradat.
Serangan tersebut menandai serangan pertama Israel terhadap Fatah yang berpotensi memperparah perang di Timur Tengah. Padahal, selama perang Gaza berlangsung, Fatah tak pernah menyatakan serangan ke Israel.
Selama 10 bulan sejak perang Gaza dimulai pada 7 Oktober 2023, perang Gaza melibatkan Israel dengan Hamas. Sementara di perbatasan Lebanon terjadi konflik bersenjata lintas batas dengan Hezbollah.
Baca juga: Fatah-Hamas Bersatu, Tahap Paling Krusial Pembentukan Negara Palestina
Selama ini, Fatah yang dipimpin oleh Presiden Palestina Mahmoud Abbas berseteru dengan Hamas dalam politik Palestina. Hamas mengusir Fatah dari Jalur Gaza setelah bentrokan mematikan pada 2006. Saat itu, Hamas menang telak dari Fatah dalam pemilihan umum.
Saat ini, Fatah mengendalikan Otoritas Palestina yang mencakup sebagian Tepi Barat yang diduduki Israel. sementara Hamas mengendalikan Jalur Gaza. Dalam perkembangan terbaru, beberapa pekan sebelum serangan terhadap Maqdah, Hamas dan Fatah sepakat rekonsiliasi untuk melawan pendudukan Israel di Palestina. Perwakilan kedua faksi itu menandatangani Deklarasi Beijing di China pada akhir Juli 2024.
Menanggapi pembunuhan Maqdah, Fatah menuduh Israel berusaha memicu perang regional dengan pembunuhan tersebut. ”Pembunuhan seorang pejabat Fatah merupakan bukti lebih lanjut Israel ingin memicu perang skala penuh di kawasan,” kata Tawfiq Tirawy, anggota Komite Pusat Fatah di Ramallah.
Fatah mengatakan, pembunuhan Maqdah merupakan tindakan pengecut yang dilakukan oleh pesawat tempur Israel. Gerakan itu menyebut Maqdah sebagai salah satu pemimpin Brigade Syuhada Al-Aqsa di Lebanon, sayap bersenjata Fatah.
Pembunuhan seorang pejabat Fatah merupakan bukti lebih lanjut Israel ingin memicu perang skala penuh di kawasan.
Maqdah memiliki peran utama dalam mendukung rakyat Palestina dan perlawanannya selama perang Gaza. Ia juga berperan penting dalam mendukung sel-sel perlawanan terhadap Israel selama bertahun-tahun di Tepi Barat. Puluhan pendukung Fatah marah atas pembunuhan itu. Mereka berkumpul di kamp Ain al-Helweh dan melepaskan tembakan ke udara.
Pembunuhan itu telah dikonfirmasi Israel. Israel menuduh Maqdah mengatur serangan di Tepi Barat. Militer Israel mengatakan, sebuah pesawat angkatan udara menyerang Khalil Hussein Khalil Al-Maqdah di wilayah Sidon di Lebanon selatan.
Menurut militer Israel, Maqdah adalah saudara Mounir Maqdah, yang mengepalai cabang Lebanon dari sayap bersenjata Fatah, Brigade Syuhada Al-Aqsa. Israel menuduh mereka berdua mengarahkan serangan dan menyelundupkan senjata ke Tepi Barat yang diduduki Israel. Keduanya diduga bekerja sama dan terkait dengan Garda Revolusi Iran.
Di perbatasan Lebanon, Hezbollah dan sekutunya terus melontarkan tembakan ke wilayah Israel sebagai bentuk dukungan terhadap Hamas dalam perang Gaza. Saling baku tembak dengan Israel di perbatasan Lebanon itu telah menewaskan sekitar 593 orang di Lebanon sejak pecah perang di Gaza.
Sebagian besar korban tewas adalah anggota Hezbollah dan setidaknya 130 warga sipil di Lebanon. Di pihak Israel, termasuk di Dataran Tinggi Golan yang dianeksasi, 23 tentara dan 26 warga sipil tewas dalam kekerasan bersenjata itu.
Koridor Philadephi
Di tengah aksi Israel, Presiden AS Joe Biden terus berusaha menekan Israel agar gencatan senjata Gaza segera tercapai. Isu utama sekarang adalah Koridor Philadephi. Lewat panggilan telepon, Rabu (21/8/2024), Biden berbicara langsung dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Menurut pernyataan Gedung Putih, Biden menegaskan urgensi untuk mengamankan perjanjian gencatan senjata di Gaza dan pelepasan sandera. Biden juga membahas agar Israel menghilangkan hambatan yang tersisa dalam pembicaraan gencatan senjata mendatang yang rencananya digelar di Kairo, Mesir.
Negosiator AS, Mesir, dan Qatar diperkirakan akan bertemu dengan delegasi Israel di Kairo akhir pekan ini. Perundingan gencatan senjata Gaza telah berlangsung berbulan-bulan tanpa hasil.
Wakil Presiden AS Kamala Harris juga ikut dalam panggilan telepon itu. Pembicaraan telepon itu dilakukan setelah pejabat kesehatan Palestina melaporkan sedikitnya 50 warga Palestina tewas akibat serangan udara Israel selama periode 24 jam terakhir.
Namun, sejauh ini, Israel dan Hamas tetap teguh pada tuntutan mereka masing-masing sehingga kesepakatan semakin sulit tercapai. Israel masih berkeras pada agenda perang mereka, termasuk tak bersedia menarik pasukan dari Koridor Philadephi.
”Israel akan mengumumkan pencapaian semua tujuan perang, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Kabinet Keamanan, termasuk ketika Gaza tidak akan pernah lagi menjadi ancaman keamanan bagi Israel,” sebut pernyataan Kantor PM Netanyahu, Rabu.
Baca juga: Setelah Ismail Haniyeh Dibunuh di Teheran, Akankah Iran Menyerang Israel?
Kantor PM Netanyahu menyangkal laporan televisi Israel bahwa Israel telah setuju mencabut tuntutannya untuk mempertahankan pasukan di Koridor Philadelphi. Dalam pernyataan itu, Kantor PM justru kembali menegaskan tuntutannya tidak akan menarik pasukan dari koridor tersebut.
Tuntutan Israel ini menjadi hambatan terbaru dalam mencapai kesepakatan gencatan senjata di Gaza. Hamas dan Mesir menentang tuntutan tersebut. Hamas sebenarnya telah setuju pada proposal gencatan senjata tiga fase usulan Biden yang diumumkan pada 31 Mei 2024.
Namun, Israel meminta perubahan, termasuk menaruh pasukan di Koridor Philadelphi. Hamas tak setuju pada perubahan baru yang diminta Israel dan berkukuh menjalani kesepakatan yang telah disetujui sebelumnya pada 2 Juli 2024.
Hamas menyangkal menarik diri dari kesepakatan gencatan senjata. Sebaliknya, pejabat Hamas menuduh Israel berusaha menghalangi tercapainya kesepakatan dengan tuntutan-tuntutan baru dan pembicaraan-pembicaraan lanjutan.
”Usulan yang baru-baru ini diajukan kepada kami bertentangan dengan yang telah disepakati para pihak pada 2 Juli. Ini dianggap sebagai tanggapan dan persetujuan Amerika terhadap persyaratan baru teroris Netanyahu dan rencana kriminalnya terhadap Jalur Gaza,” demikian disebutkan dalam pernyataan Hamas.
Hamas telah bertemu dengan Jihad Islam Palestina untuk membahas gencatan senjata. Pejabat Hamas kembali menegaskan tuntutan utama. Tuntutan ini termasuk berakhirnya operasi Israel di Gaza, penarikan penuh pasukan Israel, dan kesepakatan untuk menukar sandera Israel dengan warga Palestina yang ditahan Israel. Mereka tak setuju proposal baru yang mengakomodasi sejumlah tuntutan baru Israel.
Baca juga: Hamas: Gencatan Senjata Hanyalah Ilusi
Koridor Philadelphi memisahkan Gaza utara dari selatan, yang dikenal juga sebagai Koridor Netzarim. Koridor Philadelphia adalah jalur sempit, hanya selebar sekitar 100 meter dan membentang sepanjang 14 kilometer di sisi Gaza yang berbatasan dengan Mesir.
Jalur ini meliputi Penyeberangan Rafah, yang hingga Mei 2024 merupakan satu-satunya pintu keluar Gaza ke dunia luar yang tidak dikuasai oleh Israel. Mesir mengatakan, operasi Israel di sepanjang perbatasan mengancam perjanjian perdamaian bersejarah tahun 1979 antara kedua negara. Mesir menolak untuk membuka sisi perbatasan Rafah sampai Israel mengembalikan sisi Gaza di bawah kendali Palestina.
Panggilan telepon antara Biden dan Netanyahu menyusul lawatan singkat Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken ke Timur Tengah awal pekan ini. Tak ada hasil nyata soal gencatan senjata dari lawatan Blinken tersebut.
Serangan di Gaza
Hingga Kamis (22/8/2024), serangan militer Israel telah menewaskan setidaknya 40.223 orang di Gaza. Pada Rabu, Dinas Darurat Sipil Gaza melaporkan, militer Israel menyerang sebuah sekolah dan sebuah rumah di sekitar Kota Gaza. Serangan itu menewaskan setidaknya empat orang dan melukai 15 lainnya, termasuk beberapa anak-anak.
Jet-jet tempur Israel menggempur sekitar 30 sasaran di Gaza, termasuk terowongan, lokasi peluncuran, dan pos pengamatan. Puluhan prajurit bersenjata Israel menyita senjata, termasuk bahan peledak, granat, dan senapan otomatis.
Israel mengatakan, serangan itu menyasar Hamas yang beroperasi di gedung yang sebelumnya digunakan sebagai sekolah. Mereka menuduh Hamas terus beroperasi dari fasilitas dan area sipil. Hamas membantahnya.
Komisaris Jenderal UNRWA Philippe Lazzarini mengatakan, anak-anak dilaporkan tewas dan terluka dalam serangan di gedung sekolah itu. Beberapa terbakar sampai mati.
Lazzarini mengatakan, Gaza bukan lagi tempat bagi anak-anak. Mereka adalah korban pertama dari perang ini. ”Gencatan senjata sudah sangat terlambat,” katanya dalam pernyataan yang diunggah di media sosial X.
Di kota Bani Suhaila dekat Khan Younis di Jalur Gaza selatan, serangan udara Israel menewaskan tujuh warga Palestina. Mereka tewas dalam serangan yang menyasar tenda pengungsi.
Militer Israel mengeluarkan perintah evakuasi baru agar pengungsi pergi dari daerah Deir Al-Balah. Padahal, kawasan di Gaza tengah itu yang sangat padat pengungsi dengan perkiraan ratusan ribu orang Palestina berlindung di sana.
Militer Israel mengatakan agar pengungsi sipil segera mengosongkan kawasan yang sekarang menjadi zona pertempuran berbahaya. Perintah evakuasi itu diikuti oleh tembakan tank dan senapan mesin yang menewaskan dan melukai warga. Pengungsi Palestina berlari ketakutan dari Deir al-Ballah.
Pengungsi Deir Al-Balah yang harus berpindah-pindah lagi karena berusaha menghindari pertempuran semakin putus asa. Mereka kehilangan harapan gencatan senjata akan tercapai dalam waktu dekat.
”Sayangnya, kami mungkin akan mati sebelum perang ini berakhir. Semua pembicaraan tentang gencatan senjata adalah kebohongan,” kata Aburakan (55) yang telah berpindah tempat tinggal lima kali sejak perang Gaza terjadi. (AFP/REUTERS/AP)