Mudah Menikah, Susah Bercerai di China
China mengubah aturan agar warganya mau menikah. Pencatatan nikah dimudahkan. Permohonan cerai dipersulit.
Dalam beberapa tahun terakhir, angka kelahiran di China terus menurun seiring dengan penurunan angka pernikahan. Pemerintah China pun mengusulkan, pencatatan pernikahan akan dimudahkan. Sebaliknya, proses perceraian akan lebih susah.
Inisiatif itu datang dari Kementerian Urusan Sipil China. Revisi atas peraturan pendaftaran pernikahan ini ditujukan untuk membangun masyarakat yang ramah keluarga.
Baca juga: Populasi Menua, Beban Pensiun China Menggelembung
Kementerian ini, dalam laporan China Daily pada Jumat (16/8/2024), telah menyiarkan naskah rancangan peraturan baru tersebut. Masyarakat China diberi waktu hingga 11 September 2024 untuk menanggapi.
Revisi peraturan ini menjadi cara Pemerintah China untuk menyederhanakan proses pendaftaran pernikahan. Dalam aturan sebelumnya, untuk mendaftarkan pernikahan, warga China diharuskan menyerahkan hukou atau dokumen pendaftaran rumah tangga. Pernikahan juga hanya boleh diproses di lokasi rumah tangga pasangan didaftarkan.
Sekarang, pencatatan nikah hanya bisa dilakukan di kantor catatan sipil sesuai kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) mempelai. Beijing menilai, ketentuan itu salah satu penghambat orang menikah. Repot harus pulang kampung hanya demi mencatatkan pernikahan. Padahal, bisa jadi mempelai tidak mau pulang kampung demi urusan itu.
Tanpa memeriksa hukou, bagaimana saya dapat memverifikasi status perkawinan dan orangtua tunangan saya.
Di China, masalahnya lebih rumit dari sekadar penyerahan hukou ke kantor catatan sipil. Kadang, orangtua menolak menyerahkan hukou jika tidak setuju pada calon istri atau suami pilihan anaknya. Tanpa hukou orangtua, tidak bisa mendaftarkan pernikahan.
Baca juga: China Menyulap TK Menjadi Pusat Kegiatan Warga Lansia
Ke depan, pencatatan bisa di kantor catatan sipil mana pun. Cukup menyerahkan KTP mempelai, yang alamatnya bisa di mana saja, meneken pernyataan belum menikah, maka permohonan pencatatan nikah bisa diproses.
Picu kegemparan
Lantaran sudah dilempar ke publik, usulan revisi ini menggemparkan warganet China. Di Weibo, pelantar media sosial China, orang-orang membahas usulan itu dari sudut pandang masing-masing. Ada yang setuju, tetapi banyak juga yang menolak.
Hingga Kamis (15/8/2024), tagar ”Pendaftaran pernikahan tidak lagi memerlukan hukou” menjadi salah satu topik yang paling banyak dicari di Sina Weibo. Tercatat sudah lebih dari 500 juta tampilan terjadi dengan hampir 280.000 komentar.
Mereka yang setuju dengan revisi peraturan memuji inisiatif pemerintah itu. Mereka menilai, pemerintah tengah mendorong kemudahan menikah dengan menyederhanakan proses pendaftaran pernikahan dan mengatasi penurunan angka pernikahan.
Baca juga: China yang Kian Menua, Penurunan Pertumbuhan Penduduknya Mencemaskan
Mereka yang kurang setuju dengan inisiatif itu menyampaikan kekhawatirannya. Satu warga menyampaikan kekhawatiran tentang potensi pencurian identitas dan bigami. ”Tanpa memeriksa hukou, bagaimana saya dapat memverifikasi status perkawinan dan orangtua tunangan saya?” tanya seorang warganet.
Mereka khawatir, karena tidak meneliti hukou, bisa saja menikah dengan seseorang yang masih terikat pernikahan lain. Lalu mereka yang kehilangan kartu identitas mereka, khawatir karena tanpa sadar bisa saja terdaftar sebagai pasangan yang sudah menikah secara curang.
Pemerintah berupaya meredam kekhawatiran itu. Menurut pemerintah, rancangan itu menekankan otoritas akan meningkatkan pembagian data di antara kementerian luar negeri dan keamanan publik. Dengan demikian, data pernikahan diperbarui tepat waktu dan akurat, lengkap, dan aman.
Yang Baoquan, mitra senior di Firma Hukum Zhongyin di Beijing, mengatakan, buku pendaftaran rumah tangga tidak dapat sepenuhnya mencegah situasi seperti bigami. Ia berpandangan, jika seseorang menikah, tetapi gagal memperbarui status perkawinan mereka dengan segera, hukou mereka mungkin masih menunjukkan mereka belum menikah.
Baca juga: China Tepis Tuduhan Jumlah Penduduknya Menurun
Jaringan data pernikahan nasional yang baru-baru ini diselesaikan, kata Yang, membuat seseorang tak bisa berbohong tentang status perkawinan. China menyusun jaringan data pendaftaran pernikahan nasional pada Juni lalu.
Jaringan data ini memungkinkan verifikasi status pernikahan secara daring. Yang mengatakan, jaringan data nasional ini dapat secara efektif mencegah bigami dan penipuan pernikahan. ”Nomor identitas berfungsi sebagai pengenal unik bagi seorang individu dan berisi informasi pribadi dasar,” kata Yang.
Jaringan data ini memungkinkan verifikasi status pernikahan secara daring. Yang mengatakan, jaringan data nasional ini dapat secara efektif mencegah bigami dan penipuan pernikahan. ”Nomor identitas berfungsi sebagai pengenal unik bagi seorang individu dan berisi informasi pribadi dasar,” ujar Yang.
Susah bercerai
Inisiatif lain yang juga disampaikan pemerintah adalah mengenai prosedur perceraian. Dalam rancangan tersebut, pemerintah memperkenalkan masa tenang selama 30 hari sejak seseorang mengajukan perceraian. Ini sejalan dengan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang mulai berlaku pada tahun 2021.
Selama masa tersebut, menurut rancangan revisi itu, salah satu pihak dapat menarik kembali permohonan perceraian sehingga proses perceraian dapat dihentikan.
Lagi-lagi, revisi aturan soal bercerai ini menjadi sorotan dalam perbincangan di media sosial. Hingga Jumat (16/8/2024) pagi, perbincangan itu menjadi yang teratas dalam daftar topik terhangat. Sebanyak 100 juta lebih mengikuti perbincangan itu. ”Apakah masa tenang untuk perceraian dihitung sebagai kebebasan perkawinan?” tulis warganet.
Dengan revisi ini, mengutip dari Bloomberg, media China menggembar-gemborkan perubahan tersebut sebagai upaya untuk mempromosikan kebebasan perkawinan. Itu karena perubahan tersebut berpotensi mengurangi campur tangan anggota keluarga sekaligus membuat keputusan perceraian menjadi lebih rasional.
Namun, dari sisi Pemerintah China, langkah ini menjadi upaya untuk mendorong pasangan muda untuk menikah dan memiliki anak. Tepatnya setelah populasi negara tersebut menurun selama bertahun-tahun.
Baca juga: China Beli Rumah untuk Disewakan kepada Warga
Sebagai gambaran, dari data yang dirilis Kementerian Urusan Sipil pada Agustus ini, terungkap hanya ada 3,43 juta pasangan yang menikah pada paruh pertama 2024. Menurut Bloomberg, angka ini tercatat sebagai angka pernikahan terendah sejak 1980.
Rekor pernikahan nasional terjadi pada 2013 dengan 13,47 pendaftaran pernikahan. Pada 2019 turun menjadi 10 juta, lalu angka pernikahan turun sekitar 1 juta pernikahan per tahun setelah 2019. Hingga pada 2022 angka pernikahan tercatat hanya 6,83 juta.
Di China, urusan pernikahan dipandang sebagai prasyarat untuk memiliki anak. Orangtua yang sudah menikah harus menunjukkan surat nikah untuk mendaftarkan bayi dan menerima tunjangan.
Namun, hari-hari ini banyak anak muda China memilih untuk tetap melajang atau menunda menikah karena khawatir terhadap keamanan pekerjaan dan prospek masa depan mereka seiring melambatnya pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut. (REUTERS)