Rumitnya Sesi Makan di Pesawat Saat Turbulensi
Sajian panas yang rentan tumpah bisa meningkatkan cedera saat turbulensi menimpa pesawat.
TAIPEI, RABU — Sesi makan di pesawat menjadi rumit seiring meningkatnya turbulensi udara. Momen yang banyak ditunggu penumpang itu pun menjadi rawan saat terjadi turbulensi. Akibatnya, sejumlah maskapai membuat kebijakan khusus terkait penyajian makanan di pesawat guna mengantisipasi cedera.
Mulai Kamis (15/8/2024), maskapai Korean Air tidak lagi menyajikan mi instan pada penerbangan ekonomi jarak jauh. Ini bagian dari antisipasi meningkatnya turbulensi udara.
Sejak turbulensi parah yang menimpa salah satu pesawatnya pada Mei 2024, Singapore Airlines juga menghentikan semua layanan makan dan minuman di kabin saat pesawat mulai terguncang.
Insiden turbulensi saat makan di pesawat yang terbaru terjadi pada penerbangan dari Jakarta tujuan Taipei, Taiwan, Minggu (11/8/2024). Dikutip dari media Taiwan, Formosa News, enam pramugari dalam penerbangan maskapai Eva Air nomor EVA BR238 itu terluka ringan.
Turbulensi terjadi pukul 16.55 saat penyajian makanan ketika pesawat di ketinggian sekitar 37.000 kaki. Guncangan yang terjadi 2 jam setelah pesawat lepas landas itu membuat piring, cangkir, dan makanan berserakan di seluruh kabin.
Baca juga: Turbulensi Guncang Qatar Airways, 12 Orang Terluka
Tempat sampah bahkan ikut terlempar ke atas. Salah satu penumpang mengatakan, dia selamat dari benturan dengan langit-langit pesawat berkat penumpang lain yang memegangi lengannya.
Makanan yang setengah dimakan tumpah ke kabin. Penumpang basah dengan minuman yang tumpah. Seorang penumpang lain dengan nada bercanda di media sosial menuturkan, dia baru pertama kali merasakan rambut berkuah cola.
Menurut maskapai Eva Air, pesawat yang mengalami turbulensi itu jenis Boeing 777-300ER. Pesawat berangkat dari Jakarta pada Minggu pukul 14.48 WIB.
Meskipun terjadi kekacauan, tidak ada penumpang yang terluka. Pesawat mendarat dengan selamat di Bandara Internasional Taoyuan, Taiwan, pada pukul 21.16 waktu setempat pada hari yang sama.
Air panas
Guna mengurangi potensi cedera saat turbulensi udara pada sesi makan, maskapai Korean Air berhenti menyajikan mi instan dalam gelas pada penerbangan kelas ekonomi jarak jauh.
Alasannya, camilan populer di Korea Selatan yang dikenal sebagai ramyeon itu membutuhkan air panas mendidih saat penyajian. Sajian panas yang rentan tumpah itu bisa meningkatkan potensi luka bakar pada penumpang dan awak pesawat saat turbulensi terjadi.
Kebijakan ini tetap diambil meskipun selama ini mi instan di gelas merupakan sajian populer dalam layanan penerbangan maskapai Korsel itu. Sajian ini juga banyak diunggah penumpang di media sosial karena popularitasnya.
”Keputusan ini bagian dari langkah-langkah keselamatan proaktif dalam menanggapi meningkatnya turbulensi, yang bertujuan untuk mencegah kecelakaan luka bakar,” kata Korean Air dalam pernyataan pada awal Agustus.
Upaya antisipasi turbulensi lainnya, bulan lalu Korean Air menyatakan akan menyelesaikan layanan kabin jarak jauh dan menengah 20 menit lebih awal. Selain itu, layanan juga diselesaikan 40 menit sebelum mendarat.
Saat ini, mi instan masih menjadi bagian dari layanan makanan ringan dalam pesawat Korean Air. Makanan ini tersedia di bar swalayan di luar sajian yang disediakan untuk penumpang kelas ekonomi di penerbangan jarak jauh.
Sebagai gantinya, maskapai itu menambah pilihan makanan ringan tanpa kuah panas, yaitu roti isi (sandwich), sosis bersalut tepung jagung (corn dog), dan roti kantong (hot pocket).
Keputusan ini bagian dari langkah-langkah keselamatan proaktif dalam menanggapi meningkatnya turbulensi, yang bertujuan untuk mencegah kecelakaan luka bakar.
Berbeda dengan kelas ekonomi, mi instan tetap akan tersedia bagi penumpang kelas bisnis dan kelas satu Korean Air. Kepada media BBC, Korean Air mengatakan, mi itu akan dibawa secara terpisah untuk penumpang kelas atas tersebut sehingga risiko tumpah minim.
Pada 5 Agustus 2024, pesawat Korean Air menuju Ulaanbaatar, Mongolia, mengalami turbulensi. Sebanyak 14 orang terluka ringan. Turbulensi ini pun terjadi saat sesi makan.
Dikutip dari media Korea Selatan, Korean JoongAng Daily, sebanyak 281 penumpang berada dalam penerbangan bernomor KE197 itu. Pesawat mengalami turbulensi parah 1 jam setelah meninggalkan Bandara Incheon saat terbang di dekat Bandara Tianjin, China, pada ketinggian 34.100 kaki.
Korean Air salah satu dari 21 maskapai penerbangan yang telah bergabung dengan media pertukaran data turbulensi secara langsung (real-time). Media ini diluncurkan oleh badan penerbangan global Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) pada 2020.
Baca juga: Turbulensi Makin Sering Hantui Dunia Penerbangan, Dampak Perubahan Iklim
Kekhawatiran tentang turbulensi di pesawat meningkat sejak turbulensi parah yang menimpa penerbangan Singapore Airlines dari London, Inggris, pada Mei 2024. Insiden itu mengakibatkan satu penumpang tewas dan puluhan lainnya terluka, beberapa di antaranya cedera parah.
Dikutip dari media Singapura, The Straits Times, sejak kejadian tersebut, Singapore Airlines (SIA) menghentikan semua layanan makanan dalam pesawat saat tanda sabuk pengaman menyala. Awak kabin juga akan duduk dan mengencangkan sabuk pengaman saat tanda sabuk pengaman menyala.
Sebelumnya, hanya penyajian makanan dan minuman panas yang dihentikan saat lampu tanda sabuk pengaman dihidupkan. Kebijakan baru itu mengharuskan seluruh layanan makan dan minum dihentikan saat pesawat mulai berguncang.
”SIA akan terus meninjau proses kami karena keselamatan penumpang dan awak adalah hal yang paling penting,” kata seorang juru bicara SIA, sebagaimana dikutip The Straits Times.
Sasaran hukum
Kekhawatiran tentang bahaya menyajikan makanan dan cairan panas di pesawat bukanlah hal baru. Selama bertahun-tahun, sejumlah maskapai menghadapi tuntutan hukum dari penumang yang mengatakan mereka menderita luka bakar serius setelah tepercik makanan atau minuman panas.
Pada 2019, pengadilan tertinggi Uni Eropa memutuskan maskapai penerbangan dapat dimintai pertanggungjawaban jika ada penumpang terluka akibat sajian di pesawat. Turbulensi menambah risiko itu. Banyak cedera akibat turbulensi telah dilaporkan selama bertahun-tahun terakhir.
Insiden turbulensi semakin meningkat dan mengancam keselamatan penerbangan, termasuk saat makanan disajikan. Turbulensi biasa yaitu turbulensi yang mengandung partikel air dapat terdeteksi radar cuaca sehingga pilot bisa menghindari.
Namun, terdapat pula turbulensi udara jernih atau udara cerah (clear air turbulence/CAT) yang tak terdeteksi radar. Turbulensi jenis ini sangat sulit dihindari oleh pilot.
Baca juga: Tips Aman Saat Turbulensi Penerbangan, Jangan Pernah Lepas Sabuk Pengaman
Menurut sebuah studi tahun 2021 oleh Badan Keselamatan Transportasi Nasional Amerika Serikat, dari tahun 2009 hingga 2018, turbulensi menyumbang lebih dari 30 persen insiden yang mengakibatkan cedera tanpa kerusakan pesawat. Namun, turbulensi fatal dalam perjalanan udara masih sangat jarang terjadi.
”Tewasnya penumpang dalam turbulensi adalah kejadian yang sangat tidak biasa dan langka. Sejauh yang saya tahu, sudah lebih dari 25 tahun sejak terakhir ada penumpang tewas akibat turbulensi pesawat komersial,” kata Paul Hayes, Direktur Keselamatan Cirium Ascend, grup data penerbangan yang berbasis di Inggris.
Sebuah laporan dari Universitas Reading di Inggris tahun lalu menunjukkan, perubahan iklim dapat berkontribusi pada meningkatnya frekuensi dan tingkat keparahan turbulensi.
”Proyeksi masa depan terbaru kami menunjukkan peningkatan dua atau tiga kali lipat turbulensi parah di aliran jet dalam beberapa dekade mendatang jika iklim terus berubah seperti yang kita perkirakan,” kata Profesor Paul Williams, salah satu penulis laporan.
Namun, kata Williams kepada stasiun televisi Fox News, masih terlalu dini untuk menyimpulkan perubahan iklim yang menyebabkan peningkatan turbulensi. (AP/Reuters)